10. First Love Utara

123 7 1
                                    

Jangan lupa vote and comment ya manis, itu sumber semangat akuu!!

Happy Reading, Cintaku.

First Love Utara

Kejadian beberapa jam yang lalu membuat Shabira sedikit syok. Mereka memilih untuk bolos hari ini, sebenarnya ini ide dari Tenggara. Katanya percuma sekolah kalau tidak fokus.

Mereka kini berada di suatu tempat yang tak banyak orang tahu, di depan mereka terdapat danau. Tempat ini jarang diketahui oleh sebagian orang karena cukup tersembunyi.

Shabira menatap danau dengan diam, begitupun Tenggara. Namun, dering ponsel Tenggara cukup mengalihkan atensi mereka.

"Kenapa, Nan?" tanya Tenggara seraya menempelkan ponsel berlogo apel digigit itu di depan telinga.

"Jangan kira lo ngebolos bisa bebas dari tugas ya. Kita ada kerja kelompok, lo bagian searching, ntar gua kirim materinya," jawab orang disebrang sana dengan panjang lebar.

"Ck, ribet lo searching doang," gerutu Tenggara.

"Resiko satu kelompok sama gua. Pokoknya gua ga mau ada beban di kelompok gua, udah lah tar gua kirim," ucap Adnan, lalu memutuskan sambungannya sepihak.

"Kenapa?" tanya Shabira seraya menatap manik legam Tenggara.

"Tugas kelompok suruh searching. Batre gua low," jawab Tenggara seraya menatap ponselnya.

"Pake punya gua," ucap Shabira seraya menyerahkan ponselnya.

Tenggara menatap ponsel itu. Sebenarnya ia sangat malas, tapi Adnan si anak ambis pasti saja tidak akan menulis namanya di kerja kelompok itu jika ia tidak ikut serta membantu.

"Gua pinjem bentar," ucapnya seraya menerima ponsel Shabira. Ia mengirim ulang materinya lewat whatsapp.

Wanita itu masih menenangkan hati dan pikiran-pikiran buruknya yang terus menghantui. Ia selalu takut dengan kekerasan, teringat akan perlakuan papanya. Tapi tak sebanding dengan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut sang papa, lebih sakit dari ia dipukuli.

Flashback

"Shabira nilai kamu kebanyakan 87 sama 90, ini akibat kamu malas-malasan. Kalo aja kamu ga main basket terus, kamu bisa dapet nilai sempurna," ucap Adijaya seraya melihat-lihat isi raport Shabira.

"Papa, Bira udah berusaha belajar. Bira mati-matian belajar sampe kena tipes, tapi Papa selalu ga apresiasi usaha Bira," jawab Shabira bergetar. Kantung matanya hitam, bibirnya pucat, dan badannya semakin kurus.

"Itu hukuman buat kamu Shabira. Kalo aja masih ada Salsabilla, saya ga butuh usaha kamu yang ga seberapa itu," ketus Adijaya.

"Coba kamu pinter kaya Salsa, ga akan tuh saya ngeluarin tenaga buat marahin kamu. Buang-buang waktu aja," sambungnya.

"Pa, kita emang kembar. Tapi potensi kita beda. Please jangan selalu bandingin aku sama Salsa," mohon Shabira yang dadanya serasa sesak.

"Itu karena hobby mu Shabira. Kali ini saya ga akan biarin kamu bermain basket lagi!" ucap Adijaya tegas seraya berlalu dari sana.

Shabira mengekori papanya seraya menangis, ia tahu kemana arah tujuan papanya.

"Pa, please jangan barang-barang Shabira lagi!" mohon Shabira seraya berlutut memeluk kaki Adijaya, saat pria paruh baya itu membuka lemari bajunya.

The CaffeinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang