6🕌 Neina Maheen

31 15 35
                                    

Neina masih tak bisa berkedip memandangi wajah Felix yang begitu tampan. Sebagai pelayan di kerajaan, ia sering bertemu orang-orang berkulit putih. Namun melihat wajah khas Romawi Timur, baru pertama dialaminya. Mata Felix berwarna biru keabu-abuan, gurat alis dan hidungnya jauh berbeda dengan orang-orang Arab. Bibir yang tipis begitu serasi dengan bentuk dagu yang oval sedikit runcing. Belum lagi rahangnya yang tegas, menambah kegagahan bagi pemuda itu.

"Baiklah, aku pergi dulu. Semoga kalian baik-baik saja." Felix pergi tanpa melakukan perkenalan dengan Neina ataupun Habibeh.

Setelah pemuda itu pergi dari kedua pelayan yang baru saja hendak dirampok, Habibeh mulai bersuara.

"Hai Neina! Kenapa kau melamun?"  Habibeh menyenggol sahabatnya.

Neina terperanjat dari lamunannya. Gadis itu melempar senyuman. "Tidakkah kau lihat betapa tampannya pemuda tadi?" Alisnya terangkat. "Kira-kira dia berasal dari mana? Mesir, Makkah, Madinah... atau dari mana?"

Habibeh menghela napas. "Ayo bangun! Kita berbicara sambil berjalan saja."

Habibeh mengajak Neina berjalan karena waktu terus berputar. Ia khawatir terlambat sampai ke istana.

"Neina... wajah pria tadi bukan dari bangsa Arab. Aku yakin dia orang Romawi. Mungkin Konstatinopel, Anatolia... aku tidak tahu. Yang pasti dia bukan orang Baghdad!" Habibeh menjelaskan.

"Kau tahu dari mana? Tapi dia memakai jubah seperti kaum muslimin... kain yang menutupi wajahnya pun seperti masyarakat Baghdad."

"Tapi aku yakin dia bukan bangsa Arab atau Persia sepertimu!" Habibeh menatap sahabatnya. "Kau lihat ini!" Gadis itu menunjukkan wajahnya. "Meski aku lahir sebagai bangsa Arab, tetapi ayahku dari Afrika, makanya kulitku tak seputih dirimu, Neina. Nah, pemuda tadi tidak ada tanda-tanda keturunan Arab atau Persia!"

Neina hanya mengangguk-angguk. Pasalnya ia tidak pernah melihat orang dari Bangsa Romawi. Para tahanan yang diberinya makanan pun kebanyakan orang-orang kulit hitam.

***

Di jalan utama bazar, Felix menyusuri tepian kios sambil menunggu rombongan khalifah lewat. Saat sedang melihat-lihat lukisan dan hasil seni yang sedang dipamerkan, pemuda itu melihat gerombolan orang tiba-tiba serempak menepi. Jalanan yang semula ramai, kini menjadi kosong. Saat mengedarkan pandangan, ia melihat gerombolan prajurit jalan santai sambil membawa senjata, kemudian di belakangnya ada pasukan berkuda.

Felix mengerutkan kening, dalam hatinya yakin bahwa itu adalah rombongan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pemuda itu tampak pesimis melihat betapa ketatnya pengawalan sang khalifah. Bagaimana ia bisa membunuh untuk membalaskan dendam?

Felix tak sabar ingin melihat kuda atau kereta yang ditunggangi khalifah. Pemuda itu berjalan perlahan agar jangkauan dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid lebih dekat. Dalam jarak lima meter, ia melihat ada seorang ibu-ibu membawa anak mendekati khalifah, kemudian mengulurkan tangannya ke atas berusaha menyentuh rajanya.

"Yang Mulia Harun Ar-Rasyid, sudikah engkau mendoakan anakku agar sembuh dari sakitnya," ujar ibu-ibu yang membawa balita.

Seorang ajudan pasang badan paling depan untuk melindungi khalifah. Ia tampak khawatir terjadi apa-apa dengan rajanya. Namun sang khalifah justru meminta sang penjaga untuk mundur. Khalifah Harun turun dari kuda, kemudian berdiri di depan rakyatnya. Pria itu dengan tulus mendoakan sang ibu pembawa balita. Kemudian ia memberikan beberapa keping emas.

Melihat adegan tersebut, Felix merasa itu adalah kesempatan baginya. Pemuda itu mengendap-endap. Tiap gerakannya dilakukan secara hati-hati agar tidak dicurigai. Satu, dua detik Felix melihat ke kanan dan kiri. Saat pandangan para ajudan tidak fokus pada sang khalifah, ia mulai mengeluarkan belati dari saku jubah kemudian dengan sigap menancapkan pada perut targetnya.

Mahin Dalam Jeruji Kota Baghdad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang