Abdul Hasyim ayah Neina Maheen yang seorang prajurit baru saja pulang dari peperangan. Ia tak pernah tahu jika anaknya pernah ditusuk hingga koma. Pria itu juga tak tahu bahwa sebenarnya yang sedang berpelukan dengan dirinya adalah Mahin, gadis dari Indonesia yang tanpa sengaja jiwanya terjebak di raga Neina.
"Apakah kau serindu itu pada ayahmu, Nak?" tanya Hasyim keheranan karena melihat reaksi Mahin.
Gadis itu masih tetap memeluk Hasyim dengan erat. Bahkan tangisannya belum juga usai dan sempat terdengar oleh beberapa orang di asrama tersebut.
"Aku sangat merindukanmu, Ayah. Banyak hal yang aku lalui tanpa Ayah... dan itu terasa lebih berat." Mahin sesenggukan dalam dekapan Hasyim.
Perlahan Hasyim melepas pelukan Mahin. Pria itu menatap gadis di hadapannya.
"Ayah sudah izin pada khalifah, kau boleh libur selama Ayah libur dan ada di sini. Kita pulang ke rumah... kemasi barang-barangmu."
Mahin mengerutkan keningnya. Gadis itu baru tahu jika ia juga ternyata memiliki rumah. Tak ingin Hasyim curiga, ia pun bersikap biasa saja layaknya Neina.
"Baik Ayah, aku ke kamar dulu." Gadis itu berlalu dan menghilang dari hadapan Hasyim.
Sampai di kamar, Mahin menyampaikan pada Habibeh bahwa orangtua Neina persis seperti ayahnya. Ia juga mencurahkan kebahagiaan tersebut pada teman sekamarnya.
"Aku turut bahagia mendengarnya, Mahin." Habibeh melempar senyuman.
"Tapi aku diajak pulang... memangnya orang-orang yang tinggal di sini punya rumah?"
"Tentu saja punya! Tapi kalau yatim piatu seperti aku, lebih baik tinggal di istana saja."
"Rumahku di mana?"
"Masih di lingkungan istana. Kerjaan ini besar sekali Mahin... di sini bukan hanya ada asrama untuk para pelayan. Tapi ada juga rumah bagi para prajurit, perdana menteri, kepala sipir, koki... dan masih banyak lagi."
"Apa aku bisa menerima tamu? Dan apa kau tahu rumah Neina?"
Habibeh mengangguk. "Tentu saja bisa... di rumah lebih bebas dari asrama. Kau bisa menerima tamu sebanyak mungkin. Tapi syarat yang tinggal satu rumah itu harus mahram, misal ayah dan anak, kakak dan adik, keluarga, atau sendirian."
Mahin menghela napas. "Baiklah." Gadis itu pergi ke lemari sambil mengemasi barang-barangnya.
"Sampai kapan kau akan tinggal di rumah?" tanya Habibeh.
"Entahlah... aku sendiri tidak tahu. Katanya sampai ayah Neina ada disini." Mahin mengalihkan pandangan pada temannya. "Ngomong-ngomong, siapa nama ayah Neina?"
"Aku lupa... sepertinya Abdul Hasyim atau Hasyim Abdul. Ah aku benar-benar lupa!"
Sambil memindahkan baju-baju, Mahin tersenyum. "Entahlah sekarang aku sedang bermimpi atau benar-benar ada di zaman kekhalifahan. Kau tahu Habibeh... ayahku bernama Abdullah Hasyim. Ibu dan keluarganya menyebut dengan panggilan Hasyim, sedangkan orang-orang di Indonesia memanggilnya Abdul."
Bukannya menanggapi tentang nama ayah Neina dan Mahin, Habibeh justru berkata, "Hei Mahin... kalau pulang, bagaimana jika nanti Felix mencari kau?"
"Memangnya ada urusan apa sampai dia mencari aku?"
"Urusan percintaan! Kau sendiri yang bilang semalam Felix mengatakan cinta padamu!"
Mahin menggaruk-garuk kepalanya yang terbalut hijab. "Ya ampun... aku ini bukan Neina, Habibeh! Aku yakin Felix itu mencintai Neina Maheen, bukan aku!" Gadis itu menghela napas. "Kau bilang saja aku sudah kembali ke duniaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahin Dalam Jeruji Kota Baghdad [END]
Historical FictionBenarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi University of Baghdad masuk ke tubuh pelayan kerajaan di zaman kekhalifahan Harun Ar-Rasyid. Pelayan it...