16🕌 Riak Bazar Tahunan

21 9 40
                                    

Setelah pertemuan dengan ayahnya secara sembunyi-sembunyi, Felix kembali ke pameran lukisan untuk mencari Mahin. Sayangnya gadis itu tidak ditemukan. Anak Fazl pun mencari sang pelayan ke sana kemari hingga akhirnya mereka bertemu di kios-kios pedagang kain.

"Rupanya kau di sini, Mahin! Kenapa kau pergi tidak bilang-bilang?" protes Felix.

"Sebelum kau protes begitu, kau berkaca dulu, Felix! Apa tadi kau pamit pada kami saat pergi menemui ayahmu?" Habibeh pasang badan.

Mahin terkekeh melihat kelakuan dua temannya. Eh... teman? Apakah Felix itu temannya?

Felix terdiam mendengar ocehan Habibeh. Pandangannya beralih pada Mahin. Pemuda itu menatap gadis di dekatnya lekat-lekat.

"Mahin, terima kasih banyak kau telah membuka mata dan pikiranku. Terima kasih karena usahamu yang tak main-main itu aku bisa melihat bahwa Islam adalah agama yang baik dan Harun adalah pemimpin yang bijaksana."

Mahin tersenyum. "Sebutlah beliau dengan panggilan yang sopan, khalifah, raja, yang mulia... atau sejenisnya. Jangan kau panggil khalifahku hanya dengan nama saja."

Felix mengangguk. "Baiklah... aku akan memanggilnya dengan sebutan Khalifah Harun Ar-Rasyid."

Pemuda asal Romawi Timur itu melempar senyuman yang menawan, kemudian dibalas oleh senyum Mahin yang tak kalah manisnya.

Dalam keadaan seperti itu, seseorang dari kejauhan berteriak, "Rombongan Khalifah Harun akan segera lewat... dimohon untuk minggir dan memberikan jalan."

Mahin, Habibeh serta Felix mengikuti interupsi. Mereka menepi ke sisi kios membuat satu barisan bersama pengunjung lain yang ingin melihat khalifah.

Tidak seperti biasanya, kali ini rombongan yang berjalan paling depan adalah pengawal dan kereta tandu berisi istri dan beberapa selir khalifah. Dari balik tirai, seorang wanita keluar melihat ke arah pengunjung.

Anzilla dalam wujud Ratu Zubaidah melihat Mahin yang sedang berdiri di sisi jalan. Gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum. Kemudian Mahin pun membalasnya.

"Apakah itu Ratu Zubaidah?" tanya Felix.

"Ya... lebih tepatnya itu adalah temanku Anzilla... yang sedang berada dalam raga Ratu Zubaidah."

Felix tersenyum melihat ke arah kanan, menatap Mahin.

"Ternyata kau benar-benar tidak berbohong atau sedang dongeng belaka, Mahin." Pemuda itu bergumam tetapi tak terdengar oleh Mahin, karena gadis di sampingnya terlalu fokus melihat ke depan sambil membalas lambaian tangan.

Setelah rombongan Ratu Zubaidah beserta dayang-dayangnya lewat, tampaklah pasukan berkuda. Sedangkan di belakang ada rombongan penjaga bersenjata yang jalan kaki di depan kereta raja. Di atas sana tampak Khalifah Harun Ar-Rasyid duduk berdampingan dengan Fazl Bermezid. Seperti biasa, selalu ada saja rakyat yang meminta sang khalifah turun dari kereta untuk meminta doa atau sekadar sumbangan.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja salah seorang penjaga mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi. Rakyat yang melihatnya refleks berteriak karena terkejut.

"Apakah ada penyusup lagi?" Habibeh melihat ke arah Felix.

"Kenapa kau menatapku? Aku diam saja di sini!" protesnya.

Pria yang berpakaian layaknya penjaga mengarahkan pedangnya ke khalifah. Namun Fazl yang merasa bahwa gerak-gerik sang penjaga tidak beres, ia langsung berdiri di hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Pedang yang harusnya menusuk khalifah kini menancap pada perut Fazl Bermezid. Orang-orang refleks berteriak, sedangkan Felix syok melihat ayahnya tergeletak. Pemuda itu lari sambil mengambil salah satu pedang dari penjaga lain. Ia berusaha menusuk pria yang tega menyakiti ayahnya. Namun orang-orang melerainya.

Mahin Dalam Jeruji Kota Baghdad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang