XV. Cinta

10 4 0
                                    

Tuk ... tuk ... tuk

Rizan mengetuk pintu kamar Rengganis. Gadis itu tidak ikut bergabung latihan bersama mereka. Dia hanya ingin memastikan bahwa kondisi temannya baik-baik saja.

"Masuklah."

Rizan termangu. Bagaimana boleh seorang pria masuk ke dalam kamar wanita? Perbuatan tersebut terbilang tabu di negaranya.

"Permisi."

Pada akhirnya dia membuka pintu. Rizan menyaksikan Rengganis tengah terduduk di atas kasur.

"Duduklah di sampingku," ujar Rengganis tak keberatan sedikit pun.

Rizan menghela nafas. Dia tak punya pilihan lain, seseorang harus mengajak Rengganis berbicara.

"Rengganis, belakang ini kau terlihat murung." Rizan duduk di atas kursi jati yang terletak mendampingi kasur.

Rengganis tak menyahut. Sebenarnya banyak hal yang membebani pikirannya, akan tetapi dia sama sekali tidak mau mengutarakan kepada siapa pun. Mulai dari alasan mengapa mereka bisa berada di dunia ini, hingga misinya untuk membunuh sang bibi.

Rizan mulai mencari topik. Kebetulan dia mengingat pembahasan yang cukup penting. "Rengganis, ngomong-ngomong mengenai Tabung WP, bisakah kau memberitahu jenis senjatamu?"

Rengganis menggeleng.

"Mengapa?" Rizan terheran.

"Senjata itu tidak mencerminkan diriku yang feminim."

Rizan mengerutkan dahi tak mengerti. "Lalu mengapa kau menciptakannya?"

"Senjata itu adalah senjata yang aku sukai. Aku selalu memainkannya di dalam video game."

Rizan membenarkan posisi tegaknya. Tatapannya berubah serius. "Setidaknya beritahu kami senjatamu untuk keperluan strategi kita. Di saat seperti ini kau malah memikirkan sifat feminimmu?"

Sebenarnya Rizan ingin mengetahui senjata Rengganis karena dirinya risau terhadap Rengganis. Setidaknya dia dapat memahami senjata yang Rengganis gunakan agar tidak terjadi kekeliruan dalam pemakaiannya.

Rengganis tak tahan. Dia bangkit dari duduknya, menghadap Rizan.

Plak!!!

"Kamu selalu mengoceh! Memangnya tahu apa kamu tentang diriku, Rizan?! Kamu tidak pernah mengerti perasaanku!"

Tamparan telak mendarat di pipi Rizan, dia terkejut. Bahkan Rengganis tiba-tiba meninggikan intonasi bicaranya.

Gadis itu terdiam sejenak, juga tak tahu mengapa dia sendiri harus meluapkan emosi?

"Maaf." Dia beranjak keluar kamar dengan tergesa-gesa.

Sani dan Desya yang mendengar keributan barusan bergegas mendatangi sumber suara. Mereka berlari ke mulut pintu kamar dalam keadaan cemas, mendapati Rizan sedang menunduk di atas mebel jati.

"Rizan, ada apa? Dimana Rengganis?"

Rizan tak menjawab. Suasana begitu canggung. Dia malah sibuk memegangi pipi. "Sakit," lirihnya kesal.

"Rizan, kumohon jelaskan." Desya tak berhenti melempar pertanyaan. Barangkali dia bisa membantu memperbaiki suasana hati Rengganis sebagai sesama gadis.

"Diam! Bisakah kau menutup mulutmu, Desya?" Temannya terlalu banyak bicara. Rizan membentaknya karena muak. Matanya mulai amat mengintimidasi. Bayangan urat muncul di keningnya. Dia menekuk raut habis-habisan. Pada intinya, Rizan tak mampu menanggapi masalah ini dengan kepala dingin.

Imagination is Amazing: Promise of Stars in The Night Sky [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang