Bagian 3

98 17 1
                                    

Bagian 3

.

.

.


Berbulan-bulan kemudian Jovi putuskan untuk resign setelah mendapatkan pengalaman buruk di kantor; ia dijebak oleh rekan kerjanya. Ia dituduh menjadi selingkuhan sang manajer yang bahkan jarang Jovi temui maka demi kesehatan mental dan pikirannya, ia memilih pergi.

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Dengan koper di tangan, Jovi berjalan dengan semangat menuju rumah kecil di sisian tambak ikan milik juragan tanah. Rumahnya terlihat sepi dan dalam pikirannya mungkin saja mereka sedang bekerja. Ketika masuk ke rumah betapa kagetnya ia melihat sosok wanita berpakaian santai sedang menata makanan di meja makan.

"Maaf... Mbak ini siapa? Kok di rumah saya?" tanya Jovi kebingungan.

Wanita itu sedikit merapikan rambut dan mengulurkan tangan. "Saya istrinya Mas Yun, ehm—Mas Ian... betul?"

"Istrinya Yun? Sejak kapan Yun nikah?"

Pertanyaan hanya dibalas kerutan kedua alis dari sosok "istri" itu lalu terdengar suara langkah besar masuk ke rumah. "Loh Mas Ian pulang, toh?"

"Iki wadon siapa sih, Yun? Dia bilang istri kamu?"

Yun hanya tertawa kecil sembari menghampiri sosok wanita tadi dan merangkulnya. "Iya, Mas. Ini istriku, kami menikah sebulan lalu dan sekarang Naya tinggal bareng di sini."

Jovi beri anggukan tiga kali sebagai respon kemudian pamit masuk kamarnya begitu saja tanpa sepatah kata. Dirinya terlalu terkejut tahu kabar adiknya yang dulu sering minta diajarkan perkalian itu kini sudah menikah dan melangkahinya.

Lebih parahnya ia sama sekali tidak tahu.

Pria yang kini bergelar pengangguran itu beranjak menuju kamar mandi guna membersihkan diri sekaligus mengusir pikiran-pikiran jelek terhadap adiknya. Selesai dengan semuanya, ia kembali ke ruang makan melihat sudah tidak ada apa-apa di sana. Suara parau menahan lapar terpaksa keluar begitu saja saat melihat sosok wanita itu lagi—ah—namanya Naya.

"Tadi kamu kayaknya masak?"

"Oh! Iya, Mas! Mau makan? Nanti saya siapin—"

"Ndak, ndak usah,"

Cih.

Ingin sekali Jovi memukul wajah Yun sekarang juga. Entah menggunakan sihir apa adik bodohnya itu menikah dengan wanita seperti Naya. Setelah mengambil dompet di kamar, ia pergi bersama sepedanya mencari makanan. Ia lewati beberapa tambak ikan milik tetangganya sampai siluet familiar tertangkap pandangannya. Jovi tepikan sepeda dan hampiri siluet itu.

"Ibu," panggilnya.

Wanita setengah abad yang mengenakan kaus partai kumal berbalik dengan cepat, matanya melebar melihat siapa yang memanggilnya. Ia peluk erat Jovi sembari digoyangkan. "Kamu wis sampe tapi kok Ibu ndak dikabari?"

"Wis telfon, tapi ndak diangkat."

Keduanya berpamitan pada tetangga lain. Jovi bonceng ibunya menuju rumah yang mana perasaan aneh itu datang lagi ketika melihat Naya memeluk sang ibu, menyambut si tuan rumah dengan begitu ramah seakan sudah kenal lama sekali. Ia parkirkan sepeda seperti semula dan tarik pelan ibunya ke kamar.

"Bu, Jovi mau ngomong serius,"

"Opo, Mas?"

Helaan napas secara spontan keluar. "Ibu sengaja nggak ngabarin Jovi soal nikahannya Yun atau gimana?"

"Loh ibu sudah ngabarin kamu dari kapan tau, Mas."

"Kapan?" sadar suaranya meninggi, Jovi beri jeda sejenak. "Ibu sebenarnya masih anggap Jovi ini keluarga nggak sih? Masa Jovi nggak hadir di nikahan adik sendiri? Memang tetangga tuh nggak pada nanyain?"

"Bukan gitu, Mas. Ibu nggak maksud kayak gitu—"

"Terus gimana, Bu? Sengaja kasih kejutan gitu? Atau apa?"

"Mas, dengerin Ibu dulu,"

"Aku tuh dilangkahi loh, Bu! Aku bahkan nggak tau apa-apa soal pernikahan mereka! Aku juga nggak diikutsertakan dalam apa-apa!"

Ibunya menggebrak meja. "Kamu sibuk toh, Mas! Kamu yang selalu bilang hubungi kalau sedang senggang tapi kamu aja nggak ada waktu untuk keluargamu! Pulang juga nggak!"

"Bu! Jovi itu ke kota nyari duit! Buat Ibu juga akhirnya! Sekarang kalo aku nggak kerja siapa yang kasih duit?!"

"Jadi kamu perhitungan selama ini, Mas?!"

Jovi usap kasar wajahnya dan tatap ibunya tepat di mata. "Jovi rela kerja lembur, kadang nggak pulang dua hari demi orang rumah. Jovi juga nggak pacaran karena tau uangnya bakal habis sia-sia juga demi orang rumah. Demi Ibu, demi Yun. Tapi bahkan aku nggak tau tentang keluarga yang aku nafkahin,"

"Mas, Ibu nggak maksud gitu jujur—"

"Udah, Bu. Aku balik ke kamar."

Ucapan final akhirnya keluar. Dari segala opsi bertanya baik-baik atau mencari tahu sendiri mengenai alasan dirinya berada di posisi ini, ia malah bertengkar dengan Ibunya.

Sialan.


Bersambung...

.

.


Yun and Naya are original character. (you can imagine anyone you want).

Nothing to Lose || hyuninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang