Bagian 18

119 20 13
                                    


Bagian 18

.

.

.



Pagi hari menyapa dengan cahaya terik lewat jendela. Jovi lebih dulu bangun dari orang di sampingnya, ia hela napasnya lalu singkirkan lengan besar Andri dari tubuhnya. Pria itu tatap punggung lebar dengan kemerahan sehabis kerik semalam dan tertawa kecil sembari turun dari ranjang. Matanya mengelilingi seisi rumah tapi hanya sepi yang ia temukan, tubuhnya ia bawa ke dapur, mengecek makanan di atas meja yang tersisa dengan secarik kertas bertuliskan informasi bahwa orang rumah pergi ke pemakaman tetangga dan akan melanjutkan mengunjungi paman mereka.

Jovi memutuskan untuk mandi lebih dulu, membiarkan Andri beristirahat di kasurnya meski tahu mereka harus bersiap pulang nanti siang. Setelah keluar dari kamar mandi ia melihat sosok tinggi tanpa atasan berdiri sambil merokok di pinggir kolam, rambutnya yang berantakan dibiarkan begitu saja membuat Jovi tersenyum kecil. Ia hampiri pria itu dengan tepukan di bahu. "Kok sudah bangun?"

"Aku kira kamu ke mana, Jo. Rumah sepi banget aku kebingungan tadi," kata Andri.

Jovi lempar senyum pada lawan bicaranya. "Iya maaf sudah tinggalin kamu tadi, ya? Kamu mandi dulu saja terus kita packing."

"Tolong kuncirkan rambutku dulu, Jo."

Bukannya bermaksud manja atau apa, hanya saja Andri merasa tubuhnya remuk semua meski lebih baik dengan kerikan dari calon suaminya. Dengan telaten Jovi kuncir rambut gondrong itu mengikatnya satu cepolan dan biarkan rambut kecil sedikit berantakan di sekitar leher sebab tidak bisa ikut terikat.

"Aku baru tahu kamu ubanan, Mas..." ucapan itu keluar begitu saja tanpa sengaja dari mulut Jovi membuat Andri segera berbalik menghadapnya dengan bibir melengkung ke bawah.

"Aku sedih banget...."

"Bukan begitu maksudku—"

"Kamu masih mau menikah sama aku, Jo? Aku sudah ubanan gini."

Pria yang lebih muda tersadar bahwa memang permasalahan usia cukup buat Andri risau untuk menikah. Salah satu penyebab Andri hingga kini tidak menikah dan tidak punya hubungan dengan siapa-siapa selain ia sibuk bekerja adalah soal usia ini. Semalam ketika mereka bersiap menuju tidur Andri banyak bercerita tentang teman-teman seusianya yang sudah hidup bersama keluarga dan karyawan yang lebih muda jauh darinya memiliki kisah percintaan yang menarik, Jovi menangkap apa yang dirasakan pria itu dibalik obrolan mereka. Bahkan Andri tidak sengaja menyeplos mungkin saja jika dia tidak bertemu Jovi, tujuan pria itu bukanlah menikah melainkan mati secara natural karena usia.

Kekhawatiran itu nyata dan bisa Jovi rasakan.

Dari sekian detik-detik fokusnya hilang, Jovi usap wajah pria itu. "Mas, aku mau menikah sama kamu bukan karena kamu nggak ubanan atau apalah, aku juga mau nikah sama kamu itu nggak ada kaitannya dengan usia kamu, penampilan kamu. Kita sudah pernah ngobrol soal ini kan? Jangan khawatir ya?"

Bahu yang turun dan kepala yang menunduk itu kini bergerak memeluk Jovi. Persetan dengan bau minyak angin di sekujur tubuh atasnya, Andri butuh pelukan itu. Ia sudah cukup overthinking soal dirinya yang semakin menua setiap hari, melampaui calon suaminya yang masih terlihat muda dan manis. Satu waktu ia pernah membayangkan kalau akan ada komentar negatif mengenai dirinya yang menikahi orang yang lebih muda darinya, pikiran itu yang membawanya selalu bersedih hati ketika membahas usia.

Keduanya melepas pelukan setelah Jovi menepuk pelan punggung lawannya dan menyuruhnya segera mandi agar mereka bisa bersiap-siap lebih awal. "Aku sekalian beres-beres barang ya? Nanti habis itu kita makan bareng."

Tak perlu waktu lama yang dibutuhkan Andri untuk membersihkan diri, ia segera kembali ke kamar lalu membantu Jovi membereskan beberapa potong pakaiannya yang sebelumnya sudah dicuci. Mereka merapikan semuanya ke tas yang dibawa, memasukkannya ke bagasi bagian belakang mobil, dan memanaskan mobil sebentar. Setelah semuanya selesai calon pasangan itu makan bersama dengan lauk yang tersisa di atas meja—Andri tidak keberatan makan satu piring dengan Jovi karena menurutnya itu sangatlah romantis.

Oh.

Keduanya duduk di ruang tengah menonton televisi sambil menunggu keluarga kembali dan berpamitan pulang. Ketika mendengar suara motor terparkir di depan rumah, Jovi langsung bangkit dan menghampiri anggota keluarganya mengatakan bahwa dirinya bersama Andri akan pulang ke kota. Andri yang hanya bisa curi dengar sembari merapikan pakaiannya, entah karena gugup atau apa.

"Mas Ari," panggil Ibu sembari gapai lengannya dan membawa Andri ke dapur. "Sebelumnya saya minta maaf atas semua kekurangan di rumah ini, saya juga minta maaf atas sikap saya ke kamu,"

"Saya mau ucapkan terima kasih—karena kamu sudah temani Jovi dan banyak bantu dia selama di kota, kamu juga sudah baik ke dia lebih dari yang keluarganya lakukan. Saya percaya Mas ini orang yang bisa dipercaya maka dari itu saya titip Jovi ya? Tolong jaga dia, tolong biarkan dia bahagia ya, Mas? Saya nggak bisa kasih kebahagiaan apapun ke Jovi—dia sudah lama pendam banyak kesulitan sendirian. Saya mohon... tolong ya?" kalimat panjang itu diiringi kedua tangan dengan keriput menggenggam tangan kanan Andri.

Andri balas genggaman erat milik Ibu sesekali mengusapnya lembut. "Bu, terima kasih sudah percaya saya, terima kasih juga sudah titipkan Jovi ke saya tapi saya nggak bisa janjikan apapun soal kebahagiaan Jovi karena pada akhirnya semua hal itu Jovi yang rasakan. Saya cuma bisa lakukan yang terbaik untuk nggak sakiti hati dia dan Ibu sudah lebih dari cukup untuk Jovi, ibu sumber bahagianya dia saya tahu itu. Saya juga mohon tolong bimbing saya untuk jadi pasangan yang baik, saya mohon restu dari ibu."

Sehabis selesaikan perkataannya, Andri peluk sang calon mertua sambil usap punggung sempit itu. "Saya dan Jovi pamit dulu ya, Bu? nanti lain waktu saya mampir lagi."

Dengan hati lapang pasangan itu pergi meninggalkan desa demi kembali pada rutinitas pekerjaan dan kehidupan yang mereka miliki.



Bersambung...

.

.

.


"Terus kamu main kabur aja gitu, Mas? kasian Mas Ian loh udah kamu gangguin gitu," gumam Naya yang tengah makan nasi goreng di ruang makan.

Yun menggaruk lehernya canggung. "Ya, mau gimana lagi? masa aku mau nyuruh mereka berhenti atau aku nontonin gitu? Nggilani...."

Naya hanya bisa tertawa mendengar cerita suaminya yang memergoki kakaknya sendiri sedang bermesraan dengan calon kakak ipar. Semoga di lain kesempatan pasangan itu dapat bermesraan lagi.

Tentu saja dengan lebih mesra.

.

.

.

Nothing to Lose || hyuninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang