Bagian 11

82 18 0
                                    

Bagian 10

.

.

.


Pada dasarnya tidak ada seseorang yang hidup di waktu terbaiknya terus-terusan. Jika ada hari cerah dengan bunga-bunga yang mekar, maka akan ada hari dimana hujan turun disertai badai. Seperti situasi antara Andri dan Jovi yang tidak kunjung membaik setelah kembalinya mereka dari rumah keluarga Andri tempo hari.

Mulai hari itu mereka tidak mengobrol sama sekali; Jovi sudah tinggalkan apartemen pagi-pagi sekali dan Andri yang sengaja mengambil lembur setiap dua hari demi hindari sosok yang lebih muda. Harus Andri sadari bahwa pernikahan mudah yang ia impikan tidak bisa terjadi begitu saja, bahwa kebahagiaan dan hari-hari penuh cahaya itu bisa berubah total akibat ketakutan dalam diri masing-masing.

Hitungan hari ke-enam Andri lembur, ia sudah ingin sekali bicarakan semuanya bersama Jovi yang ditemani kopi panas buatan lelaki itu, hanya saja kepercayaan dirinya luntur ketika temukan Jovi tertidur di meja makan lengkap bersama masakan yang sudah dingin. Hatinya perih, ia tidak sanggup berhadapan dengan perasaan begini.

"...pak? Pak?! PAK SAM!!!"

"HAH?! Aduh—apa, Cit? ngomong apa kamu barusan?"

Sial. Ia benar-benar tidak fokus.

"Dih! Saya udah ngulang tiga kali ya, Pak! Kebanyakan lembur jadi begini nih!!!" seru Citra sambil memukul meja.

Andri memijit pelipisnya. "Sorry banget, Cit... saya lagi banyak pikiran. Jadi? Apa?"

"Ya, saya tadi ngomong soal Mbak Karina. Beliau bilang, Bapak tolong cek list anggaran buat proyek di draft Sky Wings udah lengkap atau belum. Misal belum nanti biar diperiksa kurangnya sama biar lapor ke atasan lebih enak."

"Kamu bisa tolong cek gak, Cit? yang Sky Wings ada di folder SPARTA paling bawah—paling baru. Saya kayaknya mau izin pulang cepat, sakit banget kepala saya."

Citra yang awalnya kesal kini berubah terkejut. Wanita yang menjabat jadi sekretaris itu segera mengangguk, tinggalkan Andri yang tengah bereskan beberapa barang bawaannya.

"Mau saya pesenin taksi, Pak? Mobilnya nanti titip asisten aja gimana?" tawar Citra.

Andri beri anggukan dua kali. "Makasih, Cit."

Setelah pamit dengan Citra, Andri pulang ke apartemen. Kepalanya sakit tidak tertahan sepertinya efek banyak pikiran dan dirinya yang memaksa bekerja berlebihan.

Ia buka pintu perlahan, lepas sepatu, dan ambruk di atas sofa sebab rasa sakit yang dialaminya. Terdengar suara pintu dari arah lain juga langkah kaki yang mendekatinya. "Mas... udah pulang jam segini?"

"Mas..." panggil Jovi.

Jovi hampiri lebih dekat tubuh jangkung milik Andri. "Mas? Kamu kenapa? Mas?!"

"Kepalaku sakit banget, Jo... tolong..."

Dibawanya tubuh Andri berbaring di sofa lalu Jovi lepaskan dasi yang masih menggantung, ia tempelkan tangannya pada dahi itu. "Badanmu nggak panas, Mas..."

"Tolong ambilkan obat, Jo.. di tempat biasa."

Jika bisa Jovi jujur, sebenarnya dirinya cukup linglung menghadapi hal-hal seperti ini. Bukan karena tidak pernah sakit atau apa, ia berpikir bahwa dirinya tidak mengalami rasa sakit yang sama jadi ia bingung harus apa. Setelah membawa kotak obat dan gelas berisi air, Jovi hanya diam melihat Andri dengan dahi berkerut menahan sakit juga tangan itu gemetaran mencari obat yang dimaksud.

Sial... suasananya canggung sekali.

"Makasih, Jo." Ucap Andri.

Tubuhnya direbahkan di atas sofa, berusaha pusatkan pandangan pada langit-langit ruang tamu apartemennya lalu ia tengok Jovi yang tengah menatapnya. Tidak butuh lama tiba-tiba saja pandangannya menggelap bersamaan dengan Jovi yang memanggil namanya.

Pertama kali Jovi memasuki kamar pria yang lebih tua adalah kali ini. Sekuat tenaga ia bawa tubuh jangkung itu untuk berbaring di kasur sehabis tinggalkan Andri di kamar, ia telepon Arras -salah satu teman SMA nya yang kini bekerja sebagai dokter.

"Yo, Yan? Ada apa? Jadi mau pasang behel lagi ke Dokter Anna?" sahut suara di sebrang telepon.

Jovi mengembus napas. "Ras, kamu bisa nggak ke tempatku sekarang? Mas Ari pingsan...aku nggak tau mesti ngapain... please..."

"Tadi gimana emang sebelum pingsan?"

"Ngeluh sakit kepala, Ras... please kamu ke sini ya?" dari telepon bisa Jovi dengar Arras mengobrol sebentar dengan seseorang -mungkin asistennya- lalu konfirmasi bahwa dirinya bisa datang.

Selang hampir lima belas menit, bel apartemennya berbunyi.

Itu Arras.

"Yan? Hey?"

"Langsung aja, Ras... aku bingung banget."

Jovi hanya berdiri di pintu saat Arras mulai memeriksa Andri yang terbaring lemah dan pucat di kasurnya. Beberapa kali Arras letakkan stetoskop dan keluarkan termometer guna ukur suhu badan pasiennya.

"Yan?" panggil Arras.

"Ya, Ras?"

Arras memandang Jovi bingung. "Ini udah berapa lama dia nggak tidur?"

"Aku nggak tau—tapi emang baru pulang ke sini dari nginap--kayaknya lembur...  tiga harian di kantornya." Jawab Jovi.

Sang dokter menghela napas lelah dan menggelengkan kepala heran. Arras ajak Jovi untuk bicara di meja makan, membicarakan kondisi Andri. "Dia kelelahan, Yan. Pacarmu kayaknya terlalu over kerjanya, mungkin juga udah cukup lama dia bertahan nggak tidur atau kualitas tidurnya juga nggak bagus," Arras menuliskan beberapa nama obat dalam secarik kertas, "Nih resep obatnya, kamu tebus sendiri bisa kan?"

"Ras, terus nanti aku harus gimana?"

"Santai aja. Nanti semisal dia bangun, kamu suruh makan dulu terus minum obat yang aku tulis di sini. Pesan antar online gitu juga bisa kalau kamu emang males ke apotek, pokoknya biarin aja dia tidur dan istirahat dulu, jauhin dari gadget atau hal-hal yang bisa macu dia beraktivitas pake kepalanya. Sampe sini gitu dulu ya..." jelas Arras.

Jovi mengusap wajahnya kasar. "Aku nggak tau kalau kamu nggak ke sini bakal gimana... makasih banyak ya, Ras."

"Sama-sama. By the way kamu tumben jam segini di rumah? Nggak kerja?"

"Aku pilih buat WFH, sengaja sih soalnya dari beberapa hari lalu aku lembur juga di kantor karena ada proyek kerja bareng perusahaan luar."

Arras tersenyum sembari melangkahkan kaki ke luar bersama Jovi yang mengantarkannya.

"Kalo gitu sukses deh buat kerjaanmu tapi jangan lupa jaga kesehatan. Aku pamit dulu ya? Ada janji temu sama pasien soalnya."

"Makasih banyak, Ras..."

Keduanya berpelukan tanda perpisahan dengan Arras yang menghilang setelah naiki lift. Jovi kembali ke dapur dan buatkan makanan untuknya juga Andri. Pikirannya kini hanya berputar pada Andri dan kesembuhan pria itu.

Semoga pria itu baik-baik saja.


Bersambung...

.

.

Seungmin as Segarras Dewangga (Arras, Angga)



Nothing to Lose || hyuninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang