Bagian 17

158 22 7
                                    


Bagian 17

.

.

.



Pagi menyapa dengan dinginnya angin yang masuk lewat ventilasi kamar, Andri lebih dulu bangun karena itu. Pandangan yang awalnya bergerak liar akhirnya jatuh ke sosok di sampingnya, Andri menghela napas. Jovi tertidur dengan posisi tangan terlipat dan sedikit meringkuk yang dapat dipastikan saat bangun nanti pria itu akan mengeluh pegal-pegal. Ia usap perlahan punggung berusaha tidak membangunkan Jovi dan membuatnya kaget.

"Hng... jam berapa?"

"Jam setengah enam. Kita ke bantuin ibu jam berapa?"

Jovi menghadap Andri. "Nanti jam sebelas... kamu ndak tidur lagi, Mas?"

"Memang kenapa?"

Jovi tarik pria yang lebih tua untuk kembali berbaring di sampingnya, memeluk lengannya dan sandarkan kepala di bahu itu. "Tidur lagi saja, capek kan? Nanti bakal lebih capek lagi loh..."

Tidak pernah terbesit di pikirannya untuk bisa merasakan hal yang sering diceritakan teman-temannya, bangun tidur ditemani seseorang seperti sekarang. Rasanya asing tapi di saat yang bersamaan cukup menyenangkan sebab sisi yang diisi Jovi menjadi lebih hangat. Andri mengembuskan napas entah karena terlalu gugup atau terlampau bahagia berada di posisi begini.

Belum ada setengah jam mereka kembali tidur, pintu kamar diketuk bersamaan dengan panggilan nama Jovi dari luar. Keduanya terbangun lalu segera Jovi hampiri pintu, "Ada apa, Nay?"

Naya yang berdiri di depan pintu tersenyum. "Tadi Mas Yun minta tolong panggilkan Mas Ian, diminta bantu bersihkan sampah yang ada di tambak soalnya nanti siang Pak Narto mau ke sini lihat ikannya."

"Yo wes, nanti aku ke situ. Makasih ya, Nay."

Andri yang tak sengaja curi dengar obrolan sepasang ipar itu hanya bisa diam—nyawanya belum terkumpul sepenuhnya—dan ia memandang Jovi kini sibuk berkeliling kamarnya entah mencari apa.

"Kamu disuruh bantuin di belakang, Jo? Aku ikut saja ya? Aku bisa bantu," ucapnya.

"Tapi nanti siang bakal bantuin ibu juga loh, Mas... istirahat aja dulu di sini." Jovi tepuk kedua bahu calon suaminya.

Andri menggeleng. "Aku ikut bantuin saja, nggak enak."

Dengan rambut yang dikuncir satu, Andri bersama Jovi pergi ke tambak belakang rumah. Sudah terlihat Iyon dan Yun sedang bergotong royong menyapu, memungut, dan mengangkut sampah dedaunan yang cukup banyak dari kolam. Tanpa basa-basi keduanya langsung membantu membersihkan sisa daun dan dahan yang masih ada.

Oh.

Andri baru menyadari jika ketiga kakak beradik itu sungguh tidak banyak bicara selama bekerja bersama, bagai langit dan bumi kalau dibandingkan dengan keluarganya yang berisik. Sembari menyapu ia teringat satu kejadian lucu tentang keluarganya yang heboh dengan kemunculan ular di halaman belakang saat berlagak gotong royong membersihkan. Ia terkekeh kecil waktu memori singkat itu terbesit lalu tak lama punggungnya ditepuk dari belakang.

"Mas Ari? ndak apa-apa toh, Mas?" ini Yun yang bertanya.

"Oh ya, oke kok, Yun. Kenapa?"

Yun menghela napas. "Kirain kesambet yo ngguyu dewek ngono*."

"Cuma keingat memori lucu saja, Yun. Saya nggak apa-apa kok!" disusul tawa Andri juga pukulan main-main di lengan Yun.

Setelah semuanya selesai dibersihkan, mereka kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap melakukan kegiatan masing-masing. Jovi izin pada Andri untuk mandi lebih dulu, dirinya yang merasa bingung karena tak ada kegiatan lagi lalu pergi ke depan rumah memandang sekitar dari jalanan. Beberapa orang yang lewat tersenyum padanya yang dibalas senyuman juga, Andri pikir orang sini memang ramah-ramah sampai sesosok wanita menghampirinya dengan wajah ketus dan alis berkerut.

Nothing to Lose || hyuninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang