Prolog

89 15 32
                                    

"Astagfirullah." Zayyan langsung memalingkan muka tatkala melihat Emiko berjalan keluar rumah. Pasalnya, perempuan itu hanya menggunakan tank top dengan bawahan celana jeans di atas lutut yang memperlihatkan sebagian paha mulusnya.

Zayyan segera berbalik arah untuk kembali ke majelis saja. Niatnya untuk pulang dan melepas lelah sirna sudah karena perempuan itu masih saja betah menetap di rumahnya. Zayyan tidak ingin buku Malaikat Atid bertambah jilid karena dirinya tidak bisa menjaga pandangan dari perempuan yang bukan mahramnya, apalagi dengan kondisi aurat terbuka.

Hal semacam itu acapkali Zayyan dapati semenjak mengenal perempuan bernama Emiko. Dirinya sering dibuat kalang kabut dengan hal ini. Karena tidak ingin terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan, Zayyan pun mengambil sebuah keputusan besar. Hatinya telah yakin untuk mengucapkan kalimat sakral atas nama Emiko Mazaya Diandra.

"Maaf, Yan. Walaupun lo udah jadi suami gue, tapi Anza masih jadi pemenang di hati gue." Emiko menatap nanar punggung Zayyan yang semakin jauh dari pelupuk mata. "Maaf karena gue belum bisa jatuh cinta sama lo."

Perasaan memang tidak bisa dipaksa. Namun, waktu tidak pernah berhenti menggiring agar setiap inci kehidupan tidak selalu berada di titik yang sama. Semua berjalan pada garis takdir yang telah tertata dengan berbagai kejutan tak terduga di dalamnya. Ada satu hal abstrak yang mampu merubah segalanya jika sudah menemukan dermaganya, yaitu evolusi rasa.

"Makasih, Mas karena sudah menjadi salah satu takdir terindah walaupun awalnya sempat kusanggah."

Hidup memang menyuguhkan menu dengan berbagai varian dan rasa. Dengan segenap ikhtiar dan doa, manusia dapat memesan menu yang tersedia pada sang pencipta untuk kelangsungan hidupnya. Namun, tidak jarang pula ada menu yang datang tanpa dipesan. Sungguh tak terduga bukan? Ada kalanya pula badai menerpa saat manusia berada di kuncup bahagia. Walaupun demikian, semua itu tetap bisa dinikmati karena sudah tertakar sesuai kadar kemampuan manusia sebagai penerimanya.

"Itu ...," manik monolid Emiko menyipit tatkala melihat sosok laki-laki yang tak asing baginya, "kayak Mas Zayyan."

Emiko mempertajam indra penglihatannya untuk memastikan bahwa laki-laki itu merupakan sang suami yang selama ini ia rindukan. Setelah mengamati lebih dalam, sebuah jawaban pun dia dapatkan sebagai titik terang. Emiko menutup mulutnya bersama air mata haru yang luruh. Laki-laki itu memang sang imam dalam hidupnya yang namanya selalu ia sebut dalam doa.

Kaki jenjang Emiko pun mematri langkah cepat untuk menghampiri. Hatinya dibanjiri rasa syukur karena Allah telah menjawab doa-doanya selama ini. Emiko rindu dengan pelukan Zayyan, tutur lembutnya, perhatiannya, dan semua hal yang berada dalam diri Zayyan.

Namun, langkah riangnya terhenti ketika ada seorang perempuan yang menghampiri Zayyan terlebih dahulu. Rasa bahagia yang membuncah di hatinya seketika redup tatkala kecupan hangat dan penuh kasih sayang yang biasa Emiko dapatkan dari Zayyan juga didapatkan oleh perempuan tersebut.

Pasokan oksigen seakan menipis detik itu juga. Dada Emiko terasa sesak bagai dihimpit dua batu besar. Air mata haru yang semula menggenang di matanya tergantikan dengan air mata kepedihan yang turun deras membasahi pipinya.

"I-itu siapa, Mas?" lirihnya dengan suara pilu.

_______________••_______________

Jangan lupa tinggalin jejak ya, Readers yang budiman karena satu vote dan komen dari kalian sangat berarti buat aku :)

- SUGENG MAOS -

Zaymiko || Pindah ke Fizzo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang