9- Hidup dan Pilihan

54 13 43
                                    

- SUGENG MAOS -

____°°____

Menu utama ada dua, yaitu pahala dan dosa dengan varian beraneka. Terserah tinggal mau pilih yang mana.

~ Zayyan Zachery ~

____°°____

Hilma terpukul melihat Emiko yang berada di depannya. Dia mengajak perempuan keturunan Jepang—Indonesia tersebut bertemu di Kafe Honey karena ingin meminta penjelasan perihal story WhatsApp dua hari lalu. Sungguh disayangkan, orang yang sudah ia anggap layaknya saudara itu benar-benar menanggalkan hijab yang semula membungkus rambut gelombangnya yang indah.

Perempuan itu kembali berpakaian yang menampilkan lekuk tubuh. Tak hanya itu, Emiko juga kembali terjun dalam kebiasaan buruknya di masa lalu, seperti mengunjungi tempat hiburan malam. Apakah semua usahanya untuk mengajak Emiko berubah akan berujung sia-sia?

"Emi ...." Air mata Hilma hampir lolos.

Kedua sudut bibir gadis itu tertarik paksa tatkala teringat dengan segala usaha Emiko untuk meng-upgrade diri menjadi pribadi yang lebih baik semenjak mengenalnya. Hilma merasa bahagia karena bisa menemani Emiko di fase itu. Namun, rasa bahagia itu dipatahkan oleh suatu hal yang menjadi alasan dasar Emiko mau berubah, yaitu hanya karena Anza. Hilma kira niatnya lillahi ta'ala, ternyata hanya karena mengharap perhatian seorang manusia semata.

"Udahlah, Hil lo nggak usah sedih gitu," ucap Emiko disertai kekehan kecil, seakan tidak ada rasa sesal dalam dirinya.

"Gimana aku nggak sedih lihat kamu kayak gini lagi," lontar Hilma lirih. Dia tersenyum pilu melihat pakaian Emiko yang pas membungkus badan serta rok di atas lutut sehingga sebagian pahanya terlihat.

Emiko menghela napas. Dia paham pasti Hilma kecewa padanya. Namun, rasa kecewanya lebih besar karena semua usahanya tidak bernilai di mata Anza. "Gue nggak mau terus-terusan munafik, Hil. Gue pura-pura seakan udah tobat, padahal hati gue masih ngambang. Jujur, nih, ya. Sebenarnya gue nggak nyaman kalau pakai yang panjang-panjang, gue lebih nyaman kayak gini."

"Karena niat kamu udah salah dari awal sehingga kamu nggak bisa menemukan kenyamanan di dalamnya," tukas Hilma.

"Iya tahu gue salah, Hil," ucapnya lirih. Emiko mengangkat pandang dan menciptakan kontak mata dengan Hilma. "Tapi, lo masih mau temenan sama gue, kan?"

Emiko meraih tangan Hilma dan mengenggamnya. "Gue mohon jangan pecat gue jadi teman lo, ya, Hil. Gue nyaman temenan sama lo." Ada harap yang terpancar dari sepasang manik monolid tersebut.

Hilma tertegun mendengar pengakuan Emiko. Perempuan itu terlihat tulus tatkala mengatakannya. Perlahan, senyum sang putri Ustaz Mahmudin mengembang. "Kamu akan tetap jadi teman aku, Emi."

Jawaban itu membuat Emiko lega. "Makasih, Hil karena udah mau temenan sama gue."

Hilma melepas tangan kanannya dari genggaman Emiko. Posisinya beralih menggenggam tangan perempuan tersebut sambil mengangguk pelan. Hilma berkata lirih, "Tanganku akan selalu terbuka lebar buat kamu, Emi."

"Sekali lagi makasih," balas Emiko hampir berbisik. Suaranya seakan tertahan karena dipeluk haru.

Hilma melepas genggamannya. "Walaupun keputusan dan alasan kamu buat aku kecewa, tapi aku berusaha husnuzon. Mungkin ini adalah perantara kamu untuk menghapus perasaan itu terhadap Bang Anza, Emi."

Emiko cukup tertegun mendengar asumsi yang Hilma kemukakan. Namun sayangnya, harapan itu kembali dipatahkan dengan gelengan yang Emiko berikan. "Enggak, Hil, sampai kapan pun perasaan ini nggak akan terhapus. Gue emang kecewa karena usaha gue nggak bernilai di mata Anza, tapi perasaan itu masih tetap ada buat dia."

Zaymiko || Pindah ke Fizzo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang