Bab 4

247 63 0
                                    

Selamat membaca.








Warung tenda sebenarnya bukan tempat yang cocok untuk membicarakan hal serius, tapi berhubung Sekar ingin makan nasi goreng yang terletak di depan kosan maka mau tak mau Gani mengiyakan. Dan di sinilah mereka berakhir, duduk di pojok dengan beberapa orang yang juga tengah antri.

Sesungguhnya Sekar menyadari jika laki-laki di depannya tampak tak nyaman, tapi sekali lagi dia bukan orang yang suka rahasia. Jadi daripada dirinya kaget dengan omongan Gani dalam posisi sendirian, lebih baik seperti sekarang. Ramai dan terang.

Setengah gelas teh manisnya telah habis, tapi nasi gorengnya belum jadi. Pun dengan laki-laki yang katanya ingin mengajak bicara, tapi hanya diam saja.

Sampai kemudian dua piring nasi telah tersaji di hadapan mereka, bukannya makan Gani justru mengambil makanan tersebut keluar membuat Sekar pasrah mengikuti. Padahal perutnya sulit diajak kompromi, tapi laki-laki itu malah mengetes kesabarannya.

Duduk lesehan di atas trotoar, Sekar menatap sekeliling yang kosong. Ya, memang sebagain besar memilih di dalam sebab beberapa jam lalu hujan deras mengguyur dan cuaca cukup dingin.

Tak memedulikan kekesalan hatinya, Sekar mulai menyedok makanan favoritnya. Namun, tiba-tiba sebuah jaket terulur di depannya.

"Pakailah."

"Ngga usah, Mas." Sekar mendorong benda tersebut dan lanjut makan. Menunjukkan jika tak mau ada perdebatan mengenai jaket. Toh, dia masih memakai kardigan meski tipis karena niat awalnya hanya untuk menutupi kaos lengan pendeknya. Bukan memberi kehangatan untuk tubuh.

Sepuluh menit kemudian, dua piring kosong telah tertumpuk di atas meja. Sementara teh kedua mereka baru saja diantarkan oleh penjual. Ya, Gani memesan lagi demi mengulur waktu sebab Sekar tampak ingin bergegas pergi.

"Jadi sebenarnya apa yang mau Mas Gani bicarakan?"

Alih-alih menjawab, Gani justru mengulum bibir. Menahan senyum. Gadis yang di depannya, sungguh berbeda dengan yang lain. "Soal apa yang kamu katakan beberapa waktu lalu ... pernikahan."

"Lupakan!" Tak menunggu satu detik Gendis langsung berkata tegas. Dia masih membutuhkan uang. Sangat.

Apalagi beberapa hari ini adiknya sering mengabari jika penagih hutang setiap hari datang. Ya, adiknya sebab sang ibu tak berani lagi bercerita. Dia menebak perempuan yang semakin terlihat tua itu tak mau membebaninya.

Tapi menikah? Entahlah, mendadak dia merasa itu bukan solusi. Hanya pikiran spontannya yang berkata demikian.

Lagipula dia telah mengumpulkan uang meski dari meminjam pada beberapa teman. Namun, lumayanlah. Rencananya dia juga akan pulang dengan membawa uang tersebut dan melakukan negosiasi agar pembayarannya bisa ditunda. Walau kemungkinan besar hal itu sulit terealisasi.

"Kenapa? Kamu ngga tertarik sama aku?"

"Itu pertanyaan yang tak perlu aku jawab, Mas." Sekar memang tak dalam keinginan menjalin hubungan romansa. Tapi, dia tak menampik jika Gani adalah sosok menarik.

Tubuh tegap, mata tajam, rahang tegas, dan kulit sawo matang seakan menggambarkan betapa tangguh laki-laki itu. Fisik yang cocok untuk dijadikan sandaran dan tempat berlindung.

"Baiklah, aku ganti pertanyaannya. Apa masalahmu sudah selesai?"

"Mas Gani dapat pikiran dari mana tentang hal itu?"

Jujur Gani ingin bertepuk tangan menghadapi ketenangan Sekar. Raut tak suka akibat pertanyaan privasi tidak tergambar di wajah gadis itu. "Aku memang bukan ahli, tapi pengalaman hidup membuatku sedikit banyak bisa menebak beberapa hal. Jadi?"

Sulung dan BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang