Selamat membaca.
"Gimana rasanya?"
"Sekar ditanya itu!"
Perempuan yang mau menyeruput jus jeruknya sampai harus menghentikan niatnya akibat mendapat pukulan di lengan. "Apa mbak?" Dia memperhatikan sekeliling, pada meja panjang yang ditempati rekan-rekannya.
Makan siang selalu menjadi ajang berkumpul, dan begosip tentu saja. Dari membicarakan masalah pribadi sampai menyangkut orang yang ada di sekitar mereka. Sekar tau hal tersebut umum dilakukan, tapi sejauh ini dia hanya diam. Menjadi pendengar lalu menyimpan dan mengubur berita itu dalam otaknya.
Hidupnya terlampau rumit. Menambahi beban pikiran dengan kehidupan orang jelas bukan kesenangannya. Lebih baik waktunya dia buat untuk memetakan masalah dan mencari solusinya.
Dia sudah sering mendengar orang-orang menjulukinya sok alim atau apalah itu. Bukan hanya di belakang, tapi terang-terangan menyindir juga ada. Sekali lagi itu bukan hal besar, toh dia di sini niatnya bekerja. Selama uang gaji masih didapat, dia akan berusaha menulikan telinga mendengar pernyataan ini.
Ini tidak terjadi begitu saja. Jalan hidup yang berliku menempanya menjadi sosok yang bisa mematikan hatinya untuk kata-kata yang tak seharusnya di pikirkan. Cukup fokus pada diri sendiri dan semuanya akan baik-baik saja.
"Sekar mana mau cerita, mbak. Pasti dia golongan orang-orang yang menganggap urusan ranjang itu adalah privasi."
Nah, kan! Sekar memang tidak bisa menghindar dari kalimat seperti itu.
Oke, jika yang mengatakan itu menunjukkan raut bercanda pasti Sekar tidak akan berpikir negatif. Namun, salah satu bibir yang terangkat serta mata yang memincing cukup memberi kesimpulan jika dia tengah diejek.
Lagipula apa salahnya menganggap urusan rumah tangga itu privasi? Bukankah seharusnya memang demikian?
Saling menutupi kekurangan dan menjaga harga diri pasangan, adalah hal wajar kan? Dan juga dia pernah mendengar jika ada masalah pernikahan dan kesulitan menyelesaikannya lebih baik dibicarakan pada ahlinya. Sebab menceritakan pada banyak orang hanya akan memperumit masalah.
"Eh, Mbak Dina beneran sudah hamil?"
Sekar yang tak menanggapi pernyataan salah satu rekannya menyebabkan meja itu mengalami kecanggungan. Untung saja, Gendis melempar pertanyaan lain demi mengembalikan suasana menjadi kondusif.
"Iya. Padahal baru lepas KB bulan lalu, eh langsung isi juga."
"Kok bisa, ya? Katanya kalau belum pernah hamil terus KB jadi susah punya anak."
Sekar mencengkeram erat sendok di tangannya. Tidak membuat pergerakan sama sekali, takut rekannya tau jika dirinya tengah merekam baik-baik pembicaraan yang terjadi.
"Kalau kata Dina, sih itu ngga bener. Dia udah cari-cari infonya, tapi ya ngga tau lagi." Perempuan yang paling senior di antara mereka itu mengedikkan bahu. Lalu mengamati satu per satu rekan kerjanya. Dan berhenti pada wajah Gendis dan Reta. "Jangan macam-macam, ya kalian! Meski udah tau KB ngga bahaya, jangan sampai menggunakan itu sebelum nikah!"
"Enggak!"
"Mana pernah aku pakai begitu, mbak!"
Dua jawaban keluar bersamaan dari bibir dua gadis yang masih melajang itu. Sementara Sekar seperti yang lainnya. Menertawakan wajah masam Gendis dan Reta.
"Kalau Sekar gimana? Mau langsung gas apa pending dulu?"
Berbeda dengan tadi, sekarang Sekar menjawab suka rela pertanyaan tersebut. Mengingat si penanya merupakan sosok yang tulus membantunya selama ini. "Sedikasihnya aja, mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung dan Bungsu
General FictionKetika Sekar si anak sulung dengan berbagai beban yang harus ditanggung menikah dengan anak bungsu yang selama hidup dipenuhi kasih sayang.