Selamat membaca.
Gani bersedekap. Mencoba menghalau hawa dingin yang terasa menembus tulang, meski sebenarnya tak berefek apapun. Cuaca belakang ini cepat sekali berubah. Siangnya panas, malam dingin seperti sekarang. Salahnya tak membawa jaket, hingga harus merelakan tubuhnya kedinginan.
Harusnya malam ini dia habiskan dengan bersenang-senang bersama sang istri. Bukan malam berteman dengan malam dingin dan live music yang menampilkan lagu romantis, seakan tengah menyindir kegalauannya.
Dari tempatnya berdiri pun, terlihat jelas langit pekat tanpa bintang. Benar-benar mendukung suasana hatinya. Sepi dan menyedihkan.
Bagaimana tidak menyedihkan, meski dia Sekar telah menghabiskan banyak malam bersama tapi itu di dalam kamar kos sempit. Di mana mereka harus menahan diri sebaik mungkin agar tak ada yang mengetahuinya. Rasanya memang persis seperti maling.
Dan sekarang dikala mereka bisa bebas melakukan apapun, malah berakhir menyebalkan. Siapa sangka pertama kalinya bertengkar dalam suasana seperti ini?
"Muka lo kusut banget!"
Gani melirik sekilas pada laki-laki yang kini duduk di hadapannya. Lalu kembali fokus pada band di atas panggung, yang tak dia nikmati penampilannya.
"Hadiah dari gue kurang bagus? Padahal Bian sama Rendra sampai berterima kasih terus gara-gara hadiah ini. Katanya setelah sekian lama mereka bisa menikmati waktu bersama pasangan." Elang memindai sahabatnya dari atas sampai bawah. "Nah, lo yang pengantin baru justru terlihat mengenaskan."
"Mulut lo! Udah diem aja, temenin gue di sini."
"Wah, ngga bisa gitu dong. Mentang-mentang gue jomblo, jadi dimanfaatkan terus."
Kesal pada sahabatnya yang tak berhenti mengoceh, Gani melemparkan putung rokok yang baru saja ditekan di atas asbak. Tak peduli dengan Elang yang misuh-misuh hingga perhatian pengunjung lain, dia lantas mengisap batang kedua. Nikotin yang tadi dia dapatkan dari remaja yang duduk di paling pojok. Tak cuma-cuma, dia harus membayar tiga kali lipat dari harga umumnya. Dia sungguh dirampok!
Untung dia butuh, coba kalau tidak sudah habis bocah itu dengan nasehatnya. Ah, semoga saja setelah ini dia tak kembali kecanduan sesudah belakangan berhasil mengurangi benda mematikan ini.
"Bertengkar sama Sekar?" tanya Elang tak menyerah. Jika nanti dia kena lempar, bisa menghindar lagi. Lagipula dia telah merelakan waktu istirahatnya demi menemui Gani di rooftop hotel. Mana dingin sekali.
"Gimana kalau niat kita dianggap buruk sama orang?" Gani mengembuskan asap kuat-kuat. Kalimat Sekar terngiang. Bagaimana istrinya itu ragu pada masa depan mereka. "Kenapa, sih cewek itu mandiri banget?"
"Ya mungkin karena ngga mau nyusahin orang lain."
"Nah, itu masalahnya." Merasa saking seriusnya, Gani sampai mematikan rokoknya yang sisa separuh. "Memangnya harus bersikap demikian sama suami sendiri?"
Elang tak langsung menjawab. Dia sibuk menyesap kopi hitamnya yang baru datang. "Gini ... gue ngga tau apa masalah kalian. Tapi dari omongan lo barusan, menurut gue cewek mandiri itu pasti ada sebabnya. Apalagi kalau sifat itu udah mengakar, pasti latar belakang di balik itu adalah sesuatu yang besar."
Kesabaran Gani serasa diuji, karena harus menunggu lagi untuk mendengarkan asumsi sahabatnya. Baru juga beberapa kalimat dikeluarkan, sekarang malah fokus minum kopi.
Sayangnya, dia harus menerima kehadiran Elang. Sosok yang merupakan pilihan terakhirnya ketika dua sahabatnya tak bisa dihubungi.
"Kita ambil contah si Alma. Lo ingat cerita Bian, kan? Gimana mandirinya perempuan itu sampai buat si Bian kualahan. Padahal Alma berubah setelah perceraian, nah gimana sama Sekar yang berjuang dari remaja? Tentu lebih mandiri dan tangguh. Dan pasti susah untuk dipatahkan prinsipnya dalam waktu singkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung dan Bungsu
General FictionKetika Sekar si anak sulung dengan berbagai beban yang harus ditanggung menikah dengan anak bungsu yang selama hidup dipenuhi kasih sayang.