Selamat membaca.
"Mas Gani belum balik?"
"Apa?" Sekar yang sedang fokus menjalankan sepeda motornya sedikit berteriak sebab suara sahabatnya tak begitu jelas. Baru setelah Gendis mengulangi pertanyaannya dia refleks menoleh ke arah kanan. Pada sebuah bangunan luas yang merupakan tempat kerja Gani. "Belum."
Sudah tiga hari pria itu pulang ke rumahnya, dan entah kapan akan kembali. Dia pun tak bertanya sebab mereka memang tidak ada komunikasi sama sekali. Dia tidak tahu ini baik apa tidak, tapi rasanya nyaman-nyaman saja.
Memang setelah di pikir-pikir, tak ada komunikasi yang berarti setelah dia memberikan jawaban pada Gani. Laki-laki itu pun memberitahunya secara langung ketika akan pulang, tidak melalui pesan singkat.
Jujur terkadang ada rasa khawatir tentang kepulangan Gani. Dia takut semuanya tidak berjalan lancar dan laki-laki itu tidak mendapatkan restu.
Jika hal itu menjadi kenyataan, apa yang akan dilakukannya?
Dia tahu Gani adalah lelaki baik, dan kecil kemungkinan meminta uangnya kembali dalam waktu singkat atau bahkan merelakan. Namun, tentu dia tak akan bisa tenang.
"Kamu udah ngasih tau ibu?"
"Udah, kemarin." Sekar memarkirkan sepedanya di halaman kosan. Badannya yang lengket membuat dia ingin segera ke kamar untuk membersihkan diri. Namun, sang sahabat seakan tak mau mengakhiri pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan berikutnya.
"Terus responnya, gimana?"
Sekar menceritakan apa yang terjadi sembari membuka memorinya pada kejadian semalam. Di mana akhirnya dia mengatakan telah berhasil mendapatkan uang untuk membayar hutang. Ya, tepat sebelum pergi Gani telah mentransfer uang yang dibutuhkannya. Saat itu dia seolah kembali di titik terendah sampai menganggap harga dirinya tak ada lagi.
"Ibu sudah mau tidur?" tanya Sekar yang bingung harus mulai darimana menjelaskan semuanya.
"Belum. Ini baru selesai buat pesanan untuk besok. Kamu sendiri kenapa belum tidur, Nak?"
Suara lembut yang menyapa gendang telinga Sekar itu, menyebabkan keinginan untuk pulang. Menangis dalam pelukan sang ibu, hal yang telah lama tak dilakukannya. Semata-mata agar perempuan yang telah melahirkannya itu tak bersedih, dia hanya ingin dipandang sebagai sosok yang kuat.
"Riski kemarin telpon. Dia bilang Hana bersedia menikah dengan Juragan Seno," ujarnya memulai pembicaraan. Helaan napas panjang sang ibu terdengar jelas sebelum menceritakan apa yang terjadi.
"Benar. Tapi ibu mohon kamu jangan merasa bersalah dan menjadikan beban pikiran. Hana sendiri yang mau, lagipula Juragan Seno bersedia membiayai anak-anak Hana."
"Ibu percaya?" Tak adanya jawaban selama beberapa detik membuat Sekar bisa mengambil kesimpulan sendiri. Siapa orang waras yang mempercayai omongan pria tua itu?
Tak ada satu pun janji yang ditepati manusia sombong tersebut. Darimana dia tahu? Karena itu adalah rahasia umum. Tak terhitung jumlah korban juragan yang mempunyai pekerjaan lain sebagai renternir tersebut.
"Tolong bilang sama Hana, bu untuk membatalkannya."
"Tapi ... kamu? Ibu tak rela kamu menikah dengan Juragan Seno, bukan berarti rela jika Hana yang melakukannya. Namun, ini yang terbaik. Kamu sudah banyak berkorban untuk keluarga kita."
"Tidak ada anak ibu yang akan menikah dengan bandot tua itu."
"Maksud kamu?"
Sekar menatap langit-langit kamarnya. Mudah bagi orang lain berkata agar dia egois, tidak perlu susah-susah ikut mengurus keluarga. Namun, prakteknya sulit dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung dan Bungsu
General FictionKetika Sekar si anak sulung dengan berbagai beban yang harus ditanggung menikah dengan anak bungsu yang selama hidup dipenuhi kasih sayang.