Selamat membaca.
Hari-hari Sekar berjalan seperti biasa. Tak ada perubahan apapun setelah pertemuan dengan ibu Gani tiga hari lalu. Justru dia merasa laki-laki tersebut seperti menjaga jarak. Buktinya belum ada pembicaraan lebih lanjut tentang pernikahan. Mereka pun juga belum bertemu lagi.
Dia memahaminya, ibu Gani yang mempermasalahkan kehidupannya pasti menjadi bahan pertimbangan sosok jangkung itu. Tak ada kemarahan atau kekecewaan yang dialaminya sebab dari awal telah mempersiapkan diri, mengingat perbedaan di antara dia dan Gani.
Satu yang menjadi beban pikirannya, jika Gani benar mundur, bagaimana dia menjelaskan masalah ini pada keluarganya?
Pasti mereka sedih dan merasa bersalah karena nasibnya yang seperti ini. Apalagi ibunya jelas terpukul dan dia takut hal itu mempengaruhi kesehatan perempuan kesayangannya tersebut.
Dia tak mau kejadian saat ayah dan iparnya meninggal terjadi lagi. Sang ibu drop hingga masuk rumah sakit. Pertama karena kehilangan orang terkasih, kedua karena memikirkan anak dan cucu yang ditinggal kepala keluarga.
Sekar nyaris berteriak akibat pikiran yang berkela ke mana-mana menyebabkan tangannya hampir terkena ujung setrika. Untung saja lamunannya tak mengakibatkan baju milik pelanggannya gosong.
Cukup sekali dia mengganti kaos yang harganya cukup menguras kantong, dan siapa lagi pemilik baju mahal jika bukan Gani. Ah, lagi-lagi pria itu yang dari dulu sudah menunjukkan karakter baiknya dengan penolakan ketika dia akan mengganti dengan uang. Namun, sebagai orang yang tak mau terikat balas budi jelas dia memilih membeli yang sama merk-nya.
Pukul sebelas malam ketika pekerjaan telah selesai dan akhirnya bisa merebahkan diri di kasur. Seperti biasa, dia mengecek ponsel sebelum tidur takutnya ada sesuatu yang penting. Karena saat menggosok baju dia tidak pernah menyambi bermain ponsel.
Ada beberapa pesan dari grup pekerja, teman sekolah, dan juga Gendis. Untuk yang terakhir dia bisa menebak kalau itu adalah hal random. Lalu fokusnya beralih pada satu pesan dari orang yang tadi sempat menggangu pikirannya.
Mas Gani : [Besok kamu masuk pagi apa siang?]
Sekar Ayu : [Siang, Mas.]
Hanya dalam lima detik pesan Sekar telah mendapat balasan. Padahal dia menebak jawaban akan dibalas besok pagi, sebab Gani mengiriminya dua jam lalu.
Mas Gani : [Kita sarapan bersama, ya besok pagi. Ada yang mau aku bicarakan.]
Sekar : [Iya.]
Menatap ponsel yang layarnya sudah mati, Sekar menyiapkan hati dan pikirannya menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi esok. Dia bahkan telah mempertimbangan siapa saja yang bisa dimintai tolong mengenai uang. Sebab jika pria itu mundur, maka dia akan berusaha secepatnya mengembalikan uang senilai seratus juta itu. Jumlah yang sangat banyak menurutnya, jikalau Gani menolak pun rasanya tak etis untuk menerima.
***
Warung nasi campur yang terletak di pinggir jalan utama, menjadi pilihan Sekar. Perempuan yang menolak dengan keras saat diajak berangkat bersama itu, duduk tenang di pojok ditemani segelas teh panas dan juga aneka gorengan. Dan demi menghindari Gani, dia sampai berangkat setengah jam lebih awal.
Hubungan yang kemungkinan berakhir, menjadikan dia tak mau ketahuan orang lain lagi jika tengah berjalan bersama Gani. Lelah membayangkan jika harus meladeni pertanyaan seputar kedekatannya dengan pria itu. Sekarang saja, mulai banyak tetangga sebelah yang notabenenya kos putri sering memandangnya sinis.
Dia tahu Gani adalah idaman banyak orang, tapi masih tak meyangkan jika penggemarnya begitu banyak. Kemarin saja ada yang tanpa sungkan bertanya apakah dia pacar Gani, padahal mereka tak saling kenal. Rasanya perlahan ketenangannya mulai terusik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung dan Bungsu
General FictionKetika Sekar si anak sulung dengan berbagai beban yang harus ditanggung menikah dengan anak bungsu yang selama hidup dipenuhi kasih sayang.