Bab 12

253 74 5
                                    

Selamat membaca.













Sekar mengerang kesal, dia baru memejamkan mata sebentar tapi ketukan pintu membuatnya mau tak mau mengakhiri tidurnya yang belum lelap. Menyeret kaki malas-malasan, dia menyambar bergo yang terletak di karpet. Lalu bergerak membuka pintu untuk menemui sosok yang menyebabkan kekesalannya memuncak.

Dia tak punya bayangan tentang siapa yang berdiri di depan kamarnya. Namun, begitu melihat laki-laki jangkung yang hanya menggunakan celana pendek selutut dan kaos hitam keningnya sontak mengernyit. Baru saja bibirnya akan terbuka untuk menanyakan maksud kedatangannya sang tamu, sebuah ingatan menghantam kepalanya.

"Mas Gani," ujarnya serak. Bisa-bisanya dia lupa statusnya dengan Gani. Bersyukur pertanyaan yang bercokol di otaknya tak jadi keluar, coba kalau dia keceplosan apa tidak tersinggung suaminya. "Apa apa, mas?"

"Boleh aku masuk?"

Tidak langsung menjawab, Sekar justru memiringkan sedikit tubuhnya guna melihat kondisi kamar. Ada tas dan kantong plasti yang berisi oleh-oleh berserakan di lantai, karena setelah sampai tadi dia langsung istirahat, tanpa beres-beres.

Merasa terlalu lama membiarkan sang suami berdiri di depan, dia mengela napas panjang lalu menarik kenop hingga pintu terbuka lebar. Mempersilakan Gani yang entah apa tujuannya malam-malam ke sini untuk masuk.

"Aku ngga bisa tidur," ucap Gani begitu mendudukkan diri di kasur milik sang istri. Pandangannya tertuju pada sosok yang betah berdiri di balik pintu. Lalu pada setiap sudut kamar yang belum pernah dimasukinya.

Kamar yang sungguh menggambarkan sosok pemiliknya. Sederhana tanpa banyak barang. Tak ada televisi dan kulkas kecil seperti di kamarnya.

"Lalu kenapa Mas Gani ke sini? Mau ngajak makan apa sekedar ngobrol?"

Gani mengembalikan atensi pada istrinya lalu menggeleng pelan, kemudian tubuhnya dia rebahkan di kasur mempunyai ukuran sama seperti di kamarnya. "Mau tidur sini."

"Apa?"

"Ngga boleh?" tanya Gani yang telah memiringkan tubuh dan menopang kepala menggunakan tangan, hingga bisa melihat jelas ekspresi kaget istrinya.

Dengan alasan kamar sempit dan tempat tidur yang hanya bisa digunakan satu orang, Sekar mengusulkan mereka tidur di kamar masing-masing. Padahal sejak dalam perjalanan pulang dia membayangkan bisa berduaan dengan sang istri.

Pernikahannya baru berjalan dua hari, seharusnya masih anget-angetnya mengutip kata sahabatnya. Bukan malah berjarak layaknya orang asing. Perempuan yang baru menjadi istrinya itu kentara jelas tengah menghindar.

Ini bukan kecurigaan semata, sebab kemarin Sekar mengatakan kasihan pada Kamila—adik bungsu Sekar—kalau harus tidur di luar. Hal yang menyebabkan dia mengalah dan terpaksa tidur bersama Riski di ruang tengah.

Merelakan malam pertamanya tidak berjalan lancar. Dan tidur ditemani guling juga dengkuran pelan adik iparnya. Sejujurnya dia tak masalah tidur dimanapun, asal bersama sang istri.

"Kenapa masih berdiri? Ayo tidur! Bukankah besok masuk pagi?" Gani melambai sepertinya seseorang yang sedang mengajak temannya main. "Kamu ngga ngantuk?"

"Aku siapkan dulu kasur lantainya."

Gani berdecak, tak suka. "Buat apa? Kamu ngga lagi mikir buat tidur di bawah, kan? Kalau iya aku marah."

"Tapi kasurnya ngga muat untuk dua orang."

"Kata siapa? Ini masih bisa kok." Gani menggeser tubuh, sampai punggungnya menempel sempurna pada tembok. Posisi miring menjadikan masih ada ruang yang bisa dijadikan tidur. Dan kini dia tengah menepukanya, guna membuktikan ucapan Sekar itu salah.

Sulung dan BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang