Bab 3

247 57 0
                                    

Selamat membaca.








"Terima kasih, Mas." Sekar menerima uang yang disodorkan padanya. Mengumbar senyum ramah, dia berharap laki-laki di depannya tak merasakan kecanggungan yang menguar.

Dia baru bisa bernapas lega kala lawan bicaranya bersikap biasa, lalu tak lama kemudian pamit pergi dari depan kamarnya tanpa basa-basi. Ini kali kedua mereka bertemu setelah lamaran gila dirinya, yang pertama adalah saat Gani mengantar baju beberapa hari lalu. Hal yang menciptakan kekakuan luar biasa.

Bagaimana tidak, dia rasanya tak punya muka lagi. Namun, tak mungkin juga menolak kedatangan Gani yang telah membawa kantong plastik di depan kamarnya. Selain sayang karena rejeki, dirinya pasti lebih malu lagi jika mengusir.

Sementara itu, Gani yang berjalan lagi ke kamarnya menatap plastik di tangannya sembari tersenyum kecil. Rasa kaget saat mendapat lamaran mendadak masih membekas jelas di ingatannya.

Wajah Sekar yang awalnya penuh percaya diri lalu berganti malu, juga masih dia ingat. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu. Namun, dari keberanian beberapa hari lalu dia menebak ada hal berat yang terjadi. Mengingat Sekar yang biasanya menjaga jarak mendadak bersikap di luar nalar.

Meletakkan barang bawaannya di dekat almari, dia memutuskan menata pakaian itu nanti saja. Tubuhnya lelah dan butuh diistirahatkan.

Sayangnya, baru saja matanya terpejam suara dering ponsel memenuhi ruangan hingga menyebabkan dirinya mengerang pelan. Kesal karena waktu tidurnya diganggu. Namun, dia tak bisa meluapkan kejengkelan itu setelah tahu siapa yang menghubungi.

"Astaga, ini jam berapa Gani? Bisa-bisanya tidur jam segini! Ngga sholat kamu!"

"Udah, Ma," jawab Gani membela diri. Mengusap wajah, lalu menjulurkan tangan meraih botol air mineral yang terletak di lantai. Sembari mendengar ceramah sang mama, dia meneguk minuman untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.

Selama beberapa menit dia mendengarkan dengan khidmat, tanpa menyela ataupun membela diri. Yakin jika melakukan itu yang ada nasehat mamanya malah semakin panjang. Dan dia sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Rasa lelah dan kantuknya masih menguasai.

"Kapan kamu pulang?"

"Kayak biasanya, Ma. Hari Sabtu."

"Mama itu nyuruh kamu berhenti kerja di pelayaran supaya kita bisa kumpul. Bukan kayak gini, baru bisa ketemu pas akhir pekan. Itu pun kadang kamu ngga pulang."

Gani meringis. Topik yang sama sejak dua tahun lalu, tepatnya setelah dia memilih melamar kerja sebagai mekanik di sebuah pabrik daripada membantu bisnis bus pariwisata yang didirikan setelah ayahnya berhenti dari pabrik pertambangan. Dia tentunya punya niat ke arah sana, hanya saja tidak sekarang. "Mama lagi apa? Udah masak?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Berhasil. Sekarang perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu sibuk membicarakan apa yang sudah dimasak selama seminggu ini. Bahkan camilan yang dibuat pun diceritakan.

"Nanti mama kirim rendang, ya. Sama kering tempe."

"Iya, Ma. Aku tunggu. Udah kangen masakan mama." Gani mengusap wajah, menjaga matanya agar tetap terbuka. Tidak boleh tertidur kala ibu negara sedang bertitah.

Bukannya takut, hanya saja jika sang mama tahu kelelahannya yang ada dia akan diseret pulang. Perempuan yang berjasa dalam hidupnya tersebut selalu mengkhawatirkannya secara berlebihan. Apalagi jika masalah kesehatan, mamanya menjadi lebih cerewet.

"Kalau kangen pulang! Lagian ngapain kos segala, perjalanan ke rumah juga cuma satu jam-an"

"Kan aku udah bilang tadi, pulangnya hari sabtu. Udah dulu, ya Ma. Mau mandi."

Gani mengiyakan segala nasehat yang lagi-lagi diberikan sang mama. Dari mulai masalah kesehatan, makanan, pakaian, sampai pertemanan. "Siap, Ma."

"Tunggu dulu, sabtu harus beneran pulang. Pokoknya mama tunggu!"

Sambungan terputus dan meninggalkan perasaan tidak enak di hati Gani. Kalimat terakhir yang diucapkan mamanya jelas mengandung maksud terselubung. Apalagi jika bukan tentang perjodohan. Ini juga alasan dia malas pulang, bukannya bisa menikmati waktu di rumah dia malah ditarik sang mama ke berbagai acara yang didalamnya ada misi mencarikannya jodoh.

Berulang kali dia menolak, tapi tak membuat mamanya patah arang. Sebagai satu-satunya anak lelaki dan bungsu pula membuat hidupnya dilimpahi kasih sayang dan tidak ada trauma apapun di masa lalunya perihal perempuan. Namun, entah mengapa sampai sekarang dia belum menemukan seseorang yang bisa menyebabkan jantungnya berdebar kencang seolah akan keluar dari rongganya, kalau boleh meminjam kalimat para sahabatnya.

Keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang jauh lebih segar, Gani mengecek ponsel sebelum bersiap mencari makan malam. Dari banyaknya chat yang masuk, satu yang menarik perhatiannya. Status Sekar yang tidak biasa.

Dia memang bukan sosok yang aktif memeriksa satu per satu status orang-orang yang ada di kontaknya. Namun, pernah lah satu dua lali, dan kala itu apa yang ditulis Sekar hanya perkara jasa menggosok baju yang dijalankan perempuan itu. Lalu sekarang?

Habis gelap terbitlah terang, jangan menyerah pasti akan ada jalan.

Sebuah qoute penyemangat yang terlihat gadis itu ambil aplikasi lainnya. Hal yang membuat dia yakin jika tebakannya benar. Sekar sedang ada dalam masalah.

Tiba-tiba otaknya bekerja cepat menyambung kejadian beberapa hari ini hingga beberapa menit lalu, entah kenapa dia merasa seperti mendapat sebuah pertanda. Sebuah jawaban atas pertanyaan yang selama ini berlarian di pikirannya.

Lalu seperti mendapat angin segar, dia bergegas keluar kamar untuk melancarkan aksi yang telah terencana rapi dalam waktu singkat. Seakan semesta tengah berpihak padanya, tepat di ujung tangga lantai dua dia menemukan sosok yang akan dia cari berdiri beberapa meter darinya.

Ekspresi terkejut sempat dia tangkap sebelum wajah manis itu berubah menjadi datar kembali. Saat gadis di depannya berjalan, saat itulah dia melakukan hal yang sama. Bola mata gadis itu bergerak ke segala arah, tampak kebingungan dengan apa yang terjadi.

Bagaimana tidak, mereka layaknya pasangan yang telah lama berpisah lalu kini sedang menikmati pertemuan dengan lambat. Belum lagi, ketika keduanya telah berhadapan benar-benar seperti adegan drama yang mengharu biru dan romantis.

"Maaf, ya saya mau lewat." Ya, Sekar merusaknya hanya dalam dua detik sesudah aksi saling tatap. Bahkan kini mundur, mengambil dua langkah sebagai jarak.

Baru saja dia bergerak ke samping untuk melewati sosok yang di matanya tampak aneh, suara berat itu menghentikan langkahnya. Hanya sebuah panggilan nama, tapi mampu membuat tubuhnya membeku.

"Bisa kita bicara?" tanya Gani yang tak mendapat balasan dari Sekar. "Sebentar saja."

"Tentang?" Sekar menatap tepat di manik mata lawan bicaranya. Ketenangannya telah kembali, tak ada perasaan aneh yang membelenggu seperti beberapa saat lalu.

"Kita."

"Maaf?" Antara salah dengar dan tidak mengerti, Sekar dibuat kebingungan dengan satu kata yang keluar dari bibir Gani yang bagian bawahnya sedikit terbelah. Kalau kata para perempuan penghuni kost ini, hal yang memberi kesan seksi. Tanpa sadar Sekar langsung menggeleng akibat teringat bagaimana teman-temannya menggosipkan laki-laki di depannya.

"Kita bicara dulu, nanti kamu juga akan tau."

"Tapi maaf, Mas. Saya mau cari makan." Sekar jelas menolak, rahasia adalah sesuatu yang tidak disukainya selain kejutan. Dia hanya menyukai hal yang jelas agar tak menambahi beban pikirannya.

"Oh, kebetulan kalau begitu. Aku juga mau cari makan. Ayo kita pergi bersama, sambil bicara." Mendapat tanggapan yang tak sesuai keinginan sebab Sekar diam sembari menatap curiga, Gani pun mengela napas panjang. Memilih mengalah. "Aku mau membicarakan perkara lamaran kamu kemarin."




Jangan lupa, vomennya, ya.

Terima kasih.

Sulung dan BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang