Belum edit, kalau ada typo boleh banget ikut koreksi.
Selamat membaca.
Kata sah terucap setengah jam lalu, kini pasangan yang sudah terikat dalam pernikahan itu berdiri berdampingan sembari menerima ucapan selamat dari tamu. Sekar tersenyum lebar, meski sejujurnya masih tak mengira saat seperti ini akan tiba.
Antara lamaran dan pernikahan hanya berjarak satu bulan, dan semua itu adalah keinginan Gani yang berkata tak baik menunda niat baik. Sementara dia pun mau menolak rasanya tak enak. Inilah yang menyebabkan dia tak suka punya hutang budi, pikiran dan tindakannya seolah terkekang.
"Sekali lagi selamat, ya mbak."
Sekar merasakan hidungnya panas, tapi sekuat mungkin mencegah air matanya keluar. Cukup sudah dia tergugu saat akad tadi sampai riasannya perlu dirapikan. "Iya, sudah makan sana. Mbak tau dari kemarin kamu ngga doyan makan gara-gara panik," ujarnya menyindir kelakukan adiknya yang nomer tiga.
Ya, bocah yang baru berusia tujuh belas tahun itu menjadi wali nikahnya karena adiknya yang satu tak bisa datang karena ada ujian di kampusnya.
"Namanya juga deg-degan mbak." Riski mencebik, kesal. Bagaimana bisa dia tenang jika harus melakukan tugas seberat tadi. Lalu tatapannya kini beralih pada kakak iparnya. "Selamat, ya Mas. Tolong jaga Mbak Sekar, jangan disakiti."
"Riski!"
"Apa, sih mbak? Wajar, kan kalau aku bilang seperti itu? Aku sama yang lain itu ngga mau lihat mbak sedih. Pokoknya Mbak Sekar harus bahagia." Riski mengusap pipinya dengan kasar. Malu kedapatan menangis, tapi juga sulit membendung. Dia selalu terbayang perjuangan sang kakak demi membiayai hidup keluarganya.
"Turun sana! Jangan nangis di sini!"
Gani menggeleng pelan melihat interaksi kakak adik yang tak ada manis-manisnya itu. Namun, dia tahu betapa mereka saling menyayangi dan menjaga satu sama lain. "Mas bakal jaga mbak mu dan memastikan dia bahagia," ujarnya sambil memeluk pemuda yang kini juga menjadi adiknya. Lalu menepuk pelan punggung Riski sebagai dukungan.
"Terima kasih, Mas."
Kejadian mengharu biru itu tak berlangsung lama sebab Sekar terus memaksa adiknya turun. Takut air matanya tak bisa lagi dibendung. Riski memang yang paling dekat dengannya, karena dia ikut merawat anak itu ketika kecil. Walau semakin lama hubungan mereka berjarak akibat masalah bertubi-tubi yang terjadi di keluarganya.
"Itu teman-temanku." Gani menunjuk sekelompok orang yang berjalan ke arahnya. Sekaligus ingin mengalihkan perhatian Sekar agar tak lagi sedih.
Bisikan itu mengembalikan fokus Sekar, dan kini pandangannya beralih pada tiga pasangan yang sedang berjalan ke arah pelaminan. Sebenarnya tempatnya berdiri saat ini rasanya tak cocok dibilang pelaminan, karena hanya terdapat sebuah sofa untuk dua orang juga beberapa bunga yang ditempel pada kain di belakangnya.
Dekorasinya pun hanya dibuat oleh tetangganya, demi menghemat pengeluaran. Dia menolak saat Gani ingin membiayai seluruh acara pernikahan mereka. Jadi dia meminta untuk acara akad di rumahnya, biar itu menjadi urusan keluarganya. Toh, tak ada resepsi hanya syukurun kecil yang hanya mengundang saudara dan tetangga dekat.
Mengenai resepsi, nantinya akan diadakan oleh keluarga Gani. Dan tentunya bukan di kampung ini.
"Selamat, ya."
"Terima kasih, mbak." Sekar menyalami perempuan tiga perempuan di depannya. Sedangkan para laki-laki sedang mengerubungi suaminya. Ah, kenapa kata itu masih terasa asing di telinganya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung dan Bungsu
General FictionKetika Sekar si anak sulung dengan berbagai beban yang harus ditanggung menikah dengan anak bungsu yang selama hidup dipenuhi kasih sayang.