"Kenapa dia tidak langsung membunuhku saja? Kenapa dia membuatku hidup tapi rasanya seperti sudah mati?"
Kepala laki-laki itu mengadah, menatap langit-langit kamarnya. Tidak seperti kamar yang ditempatinya dulu, tidak ada kemewahan di kamarnya sekarang. Sunyi, tidak ada suara terdengar. Bibirnya terkatup rapat, tak lagi bisa menggertak apalagi memaki. Mungkin ini karma dari perbuatan jahatnya.
Duduk terdiam sambil merenungkan perbuatannya di masalalu di atas kursi roda, hanya itu yang kini bisa ia lakukan.
"Taeyong, waktunya makan."
Taeyong melirik wanita paruhbaya dengan ekor matanya, sang Mommy. Rasa bersalah mengusik ulu hatinya. Baru kemarin, dirinya memperlakukan sosok yang melahirkannya itu begitu kejam. Dan sekarang sosok itu dengan ikhlas merawatnya tanpa memiliki dendam sedikitpun padanya.
"Je-no ...."
Berulangkali, nama itu yang hanya bisa ia ucapkan. Taeyong hanya ingin mempertanyakan tentang Jeno. Perasaannya terhadap sang adik tidak pernah hilang. Walau ia kehilangan kuasa untuk mengikat laki-laki manis itu.
Irene tersenyum tipis, "Jeno baik-baik saja. Dia dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Kamu tidak perlu khawatir, Taeyong." jelasnya.
Bukan itu yang Taeyong khawatirkan, ia tahu sang adik selalu dikelilingi orang-orang yang mencintainya dengan tulus. Tapi, apa yang ia perbuat pada Jeno sebelum semuanya berantakan seperti saat ini, itulah yang ia khawatirkan.
"Kamu harus sembuh, Taeyong. Ada dosa yang harus kamu tebus dan pertanggungjawabkan. Mommy tidak mau kamu lari begitu saja."
Matanya terpejam, ucapan Irene yang menyudutkannya itu sepenuhnya benar. Ia harus membayar semua dosa yang dirinya perbuat, terutama pada Jeno. Selama ini ia begitu jahat, sangat jahat.
"Jj-Je-no."
Tidak bisa selancar dulu, Taeyong kesulitan mengatakan deretan kalimat pendek itu. Seluruh tubuhnya lumpuh, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. Sedangkan bibirnya terkatup, sulit untuk digerakkan.
Irene menundukkan kepalanya, ia merasa gagal mendidik putra sulungnya. Juga gagal menjaga putra bungsunya. Ia gagal menepati janjinya pada sahabatnya untuk merawat dan menjaga Jeno layaknya putra kandung. Nyatanya, penyebab rasa sakit Jeno saat ini berasal dari Taeyong, darah dagingnya sendiri.
"Seharusnya kamu malu mengatakan kalimat itu, Taeyong. Setelah apa yang kamu perbuat selama ini pada Jeno. Mommy, tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikiran kamu." Sakit, ia sakit melihat kondisi kedua putranya saat ini.
"Irene, biarkan ART yang mengurusnya. Kita harus menemui Tiffany sekarang."
Irene berbalik, matanya menatap sang suami sayu. Mata Donghae menatap dingin pada putra sulungnya dan istrinya itu. Tidak ada rasa belas kasih sedikitpun ia tunjukkan untuk Taeyong. Di matanya perbuatan Taeyong yang sudah melewati kadar kemanusiaan, tidak bisa di maafkan sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Marriage
Fanfiction"I want fly free, hyung." "Don't expect!" ● "Want to go with me? I promise you freedom." "Really? I'm coming with you." ● "Sorry, I disappointed you again. Just hate me." "Don't worry, babe. I still love you. I can't hate you." ● M-Preg, BxB, Jeno b...