"Jadi, gimana hari pertama kuliah nya? Seru?" Tanya Ian exited, dia benar-benar sangat bersemangat mendengar cerita-cerita Rosé. Sekarang, mereka sedang berada di dalam mobil. Ian menyuruh Rosé untuk mengabarinya jika sudah pulang, agar Ian dapat menjemputnya.
Sebenarnya Rosé masih merasa semua yang ia alaminya tak ada arti apa-apa sampai saat ini, melihat Ian yang sangat bersemangat menanyakan hari pertama masuk kuliah, membuat Rosé dengan susah payah memaksakan senyumnya, yang dimana senyum itu sangat ketara di paksakan.
"Biasa aja Ian, tapi semua berjalan dengan lancar, kok"ucap Rosé. Ian terdiam sebentar, melihat senyum yang sangat di paksakan, serta jawaban yang tak sama semangat dengan dirinya membuat Ian lagi-lagi tersadar ucapan dokter psikiater.
Rosé ini memang sudah introvert, di tambah sehabis mengalami trauma besar yang belum lama terjadi menimpa dirinya, membuat Rosé semakin kehilangan banyak energi untuk memancarkan ekspresi.
Rosé masih dikatakan depresi, tetapi dokter menyarankan agar Rosé harus tetap menjalani hari seperti masuk kuliah, dan Ian harus terus mengajak Rosé mengobrol walaupun Rosé terlihat datar.
Itu membantu Rosé untuk semakin berpikir jernih dan semakin sehat. Mentalnya agar kembali membaik.
"Ada yang gangguin kamu?"tanya Ian yang sudah menjalankan mobil. Rosé menggelengkan kepalanya cepat
"Ian, kenapa gak pake motor aja jemput, nya?"tanya Rosé dengan suaranya yang sudah bergetar, Ian langsung menatap ke arah Rosé, yang dimana Rosé sudah terlihat sangat ketakutan, tangannya menggenggam erat sabuk pengaman, nafasnya mulai tergesa.
Ian menepuk kepalanya, lalu meminggirkan mobilnya.
"Astaga! Pake lupa segala lagi..."ucap Ian pada dirinya sendiri.
"Kamu tenang, oke? Tenang. Ini mobilnya udah berhenti kok. Tarik nafas dulu, tarik nafas pelan-pelan."ucap Ian, Rosé mengikuti arahan Ian, pun juga ia mulai tenang karena mobil sudah berhenti.
Ian menggenggam sebelah tangan Rosé guna untuk menenangkan Rosé, beberapa menit kemudian, Rosé benar-benar sudah tenang. Ian langsung menghubungi John untuk membawa motornya.
"Tunggu sebentar ya, aku udah ngabarin temen, biar dia datang bawa motor."ucap Ian, Rosé menganggukkan kepalanya.
"Maaf ya, ngerepotin. A-aku usahain kedepannya gak kaya gini lagi"ucap Rosé menatap Ian dengan rasa bersalah. Ian langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gapapa, gapapa kok. Kamu gak usah paksain, aku ngerti kamu masih trauma. Aku tadi lupa banget, karna lumayan sering pake mobil kemana-mana, paling kalo mau pake motor cuma pengen touring gitu. Maaf ya"ucap Ian
Rosé hanya menganggukkan kepalanya, menundukkan kepalanya tak melihat Ian.
*****
"Kenapa kita kesini?"tanya Rosé setelah mereka masuk ke salah satu resto favorit Ian.
"Kamu belum makan, kan?"tanya Ian, Rosé menggelengkan kepalanya.
"Yaudah, kita makan dulu"ucap Ian. Rosé menatap Ian sebentar, lalu hanya menganggukkan kepalanya. Mereka berdua berjalan ke arah meja yang kosong, mata Rosé tak sengaja menatap sesuatu yang membuatnya tertarik.
"Rosé? Sini"ucap Ian, karena Rosé sempat tak bergerak dari tempatnya. Rosé menoleh, lalu mengikuti Ian lagi.
Saat Ian tengah memesan, diam-diam Rosé mengambil ponsel nya lalu mengambil foto pada apa yang ia lihat tadi.
"Kamu ngapain?"tanya Ian, Rosé segera menggelengkan kepalanya. Ian menatap Rosé sebentar, lalu tak mengatakan apa-apa lagi.
Tak ada pembicaraan sama sekali diantara mereka sampai pesanan datang, padahal pesanan mereka diantar cukup lama. Ian yang biasanya mudah-mudah saja berbicara atau mencari topik tetapi malah ikut ciut hanya melihat tatapan kosong Rosé.