The Parseltongue

85 11 0
                                    

Tahun kedua di Hogwarts berjalan dengan buruk. Terjadi teror dimana- mana mengenai The Chamber of Secrets. Seorang Matthew Thomas Riddle dan Harry James Potter menjadi buah bibir yang panas saat ini, dua hari yang lalu saat professor Snape dan professor Lockhart mengadakan pelatihan mengenai pertahanan terhadap ilmu hitam. Sebuah peristiwa terjadi, Matthew dan Harry seolah melakukan komunikasi melalu desisan yang hanya mereka berdua yang memahaminya.

Matthew merupakan satu dari banyaknya siswa yang mengalami dampak betapa kacaunya tahun ini. Tapi ia mencoba biasa saja, karna pada dasarnya hidupnya memang sudah kacau sejak lama.

Tak hanya para murid, para hantu pun silih berganti masuk melewati pintu besar The Great Hall, tak terkecuali seorang Matthew bersama antek - anteknya- Draro, Blaise, Theo, dan Pansy. Mereka memasuki The Great Hall dengan suara tertawa terbahak - bahak. "Sekarang giliranku! Dia codet, memiliki mata empat, dan tangannya tuing - tuing, tebak!" Sekarang adalah giliran Matthew yang menjadi pemandu permainan tebak - tebakan konyol yang mereka mainkan sejak langkah mereka keluar dari dangeon.

"What the fuck?" Pansy mengerutkan alisnya merasa apa yang dijabarkan Matthew adalah hal yang tak masuk akal. Bersamaan dengan apa yang dikatakan oleh Pansy- Draco, Blaise, dan Theo berseru dengan gaduh.
"Galleon menjadi taruhannya jika aku menang!" Blaise berseru.
"POTTER!" Draco berseru tak mau kalah. "Hey- kenapa kau langsung menyebutkan jawabannya!" Theo mendorong Draco tak terima. Matthew tertawa sampai air matanya sedikit keluar dari bola matanya itu.

"10point for slytherin, Draco!" Ucap Matthew masih diselingi dengan tawanya. "WAIT! What's the tuing - tuing thing?" Pansy menjeda gelak tawa empat anak laki - laki yang ada di dekatnya. Blaise memutar bola matanya malas melihat jalan pikir Pansy yang selambat keong. "Kau tak ingat saat pertandingan quidditch beberapa waktu lalu dia mengalami patah tulang dan bukan menyembuhkan Lockhart malah menghilangkan tulang tangannya? Dan itu membuat tangannya seperti ini-" Blaise berujar sambil memperagakan tangan Harry tempo hari di arena quidditch. "Tuing - tuing! HAHAHAHAHA"  lantas mereka semua kembali tertawa.

"Oh please- bisakah kalian membuka jalan? This floor is not even made by your great-grandfather." Suara perempuan terdengar dengan nada yang kurang mengenakkan di belakang mereka. Draco berbalik diikuti dengan semua teman - temannya yang saat ini sudah berhenti tergelak.

"Luna, Cho, Follow me. If you guys don't mind-" Renese memimpin jalan yang diikuti dengan Luna dan Cho di belakangnya. "Kau menyingkir sedikit dan kau juga" Renese mendorong pelan tubuh Matthew dan Blasie agar membuka jalan untuknya dan kedua temannya. Setelah berhasil melewati sekumpulan anak slytherin itu ia menepukkan kedua telapak tangannya seolah telapak itu dipenuhi dengan debu.

"My turn- mereka aneh, mengenakan laut, sekali lagi mereka aneh, tebak!" Pansy berujar dengan wajah datar sambil menatap tidak suka ke arah Renese, Cho, dan Luna. "Them." Theo dan Draco berujar bersamaan.

"Nessie, let's just go." Pinta Cho sambil mencoba menggapai tangan Renese yang kini tengah berjalan mendekati sekumpulan anak slytherin itu. "Mengolok orang lain tidak membuat kalian terlihat keren atau semacamnya. It makes you guys look so fucking silly." Ucap Renese sambil menatap ke arah Matthew seolah - olah kata - kata itu hanya tertuju padanya. "And if in you guys point of view me and my friends are freak, then you guys the freakiest, understood? Thanks for the wasting time talk." Ucap Renese sambil menatap tajam ke arah Pansy, Draco, Theo, dan tak terkecuali Blaise. Lalu berlalu dengan santai bersama dua temannya menuju meja makan panjang asrama Ravenclaw.

"That girl needs to decide where to put her courage." Pansy berujar sembari tak henti - hentinya  menatap tajam ke arah Renese yang sudah duduk bersama teman - temannya.

The Curse of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang