Khitbah [08]

741 34 5
                                    

Mata yang kini masih terlelap sempurna, seketika terlonjak kaget kala tetesan air menyapu kasar di wajahnya. "Astagfirullah! " gus Alzam terbangun dari tidurnya, ia segera menyempurnakan penglihatannya agar tidak pening saat berdiri.

Sementara sang pelaku terkikik geli melihat wajah kaget gus Alzam, siapa suruh sehabis subuhan malah tertidur. "Bangun kamu, ngga baik habis salat subuh malah tidur. " ning Hida menasihati gus Alzam dengan lembut. Lalu meletakkan kembali botol mineral yang ia gunakan tadi di atas meja sampingnya.

"Iya teh, Al hanya kepikiran. " gus Alzam meraup wajahnya guna membersihkan sisa-sisa percikan air yang ada. "Yasudah, Al mandi dulu teh, " pamitnya, lalu melenggang masuk dalam kamar mandi.

"Ada apa dengan anak itu, tidak biasanya seperti ini. Bahkan kantung matanya terlihat jelas, apa dia tidak tidur semalam? Ah, sudahlah! " pertanyaan bertubi-tubi itu memenuhi otaknya, sehingga ning Hida menepisnya dengan kasar. Daripada ia harus merasakan setres di pagi hari? Lebih baik ia menepis prasangka buruk itu.

Pintu kamar mandi yang semula tertutup rapat, kini telah terbuka lebar menampakkan sosok laki-laki berpakaian layaknya seorang gus. Baju koko hitam dengan di padukan sarung, serta peci yang selalu menempel pada kepalanya.

Diruang tamu, ternyata sudah ada banyak orang. Tanpa gus Alzam duga, keluarga ndalem pondok Al-Salfiahz. Gema suara berbincang sangatlah meramaikan keadaan yang biasanya pagi hari hanya ada suara ummu Rasyidah dan ning Hida memasak.

"Baik semua sudah berada disini, kita langsung pada intinya saja ya? " abi Ziddan memulai pembicaraan itu dengan serius, mereka ingin segera mengatakan niat meng–khitbah anak mereka, yang tak lain dan tidak bukan adalah ning Hida.

Dengan satu tarikan napas. "Saya, selaku ayah dari putra saya bernama Rafahmi Ziddan Zakariya. Ingin meng–khitbah putri anda, Azahida Razkiyna Tuzahra. " rasa was-was meluruh di benak abi Ziddan, ia takut jika niat khitbah anaknya tidak di terima. Yah, walaupun jawabannya nanti pasti di terima. Karna memang sebelumnya kedua insan itu telah di jodoh–kan sewaktu masih belajar di Kairo.

Hening beberapa detik, hingga suara berat menggema pada gendang telinga semua orang. "Saya terima niat khitbah ini, namun semua jawaban persetujuan berada di genggaman putri saya. " netra mata yang semula menghadap depan, kini menoleh menatap sang gadis di sampingnya.

Ning Hida seakan tahu arti tatapan itu, dengan mental yang sudah mantap serta ke ikhlasan batinnya. Ia mengangguk sebagai jawaban. Saat itu juga ucapan syukur memenuhi ruangan itu, senyuman pun merekah pada bibir mereka.

Gus Fahmi yang sedari tadi tertunduk takut seketika bersorak bahagia. Tidak sia-sia perjuangan jalur langitnya selama empat tahun ini, ternyata membuahkan hasil yang sangat indah. Terkadang manusia merasa segala hal sulit untuk di gapai walaupun seseorang itu telah berusaha semaksimal mungkin, namun Allah lebih tahu waktu kapan yang tepat untuk memberimu sebuah jawaban. Yang menurutmu mustahil, maka dunia akan berkata 'tidak ada yang mustahil dalam diriku, semua takdir dan milikmu telah di tentukan oleh-Nya, tak perlu risau' begitulah kira-kira.

"Jadi kapan tanggal pernikahannya? Lalu di tempat–kan dimana acara itu? " bukan abbah Hizam, melainkan gus Alzam–lah yang mempertanyakan itu.

"Kita adakan secara sederhana di pondok Al-Zahida saja bagaimana? " usul umi Melia.

"Saya setuju-setuju saja, bagaimana ning? "

"Insyaallah, Hida setuju abbah–umi. " sebelumnya memang sempat terbesit di pikiran ning Hida, jikalau dirinya menikah. Ia akan melaksanakannya secara sederhana, namun terkesan meriah dengan berdatangnya santri maupun tamu undangan yang berjumlah tidak banyak–tidak pula sedikit. Sederhana memaknai sebagaimana kehidupan yang memiliki hisab sedikit di akhirat kelak, dan sederhana mengajarkan banyak hal untuk umat manusia, begitu hebatnya bukan makna kata 'Sederhana'?

Hi! Gus Galak! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang