Menerima Lamaran [13]

160 8 2
                                    

Happy Reading
_____________

Hari-hari telah berlalu, Vania sudah kembali lagi dipesantren. "Alhamdulillah, sudah sampai, " gumamnya.

"Nak, kamu sudah siapkan jawaban yang terbaik-kan? " tanya Ghazalli dengan lembut.

"Iya abi. "

Mereka sekeluarga serentak berjalan ke arah ndalem, disana sudah ada kyai, nyai, beserta ning dan gus sekeluarga. Dengan raut wajah kaku, Vania mencoba tetap tersenyum tipis dihadapan mereka.

"Jadi bagaimana jawabanmu nduk? " ucap Rasyidah memulai pembicaraan, karna sedari tadi hanya keheningan saja yang menyertai suasana itu.

Vania yang semula menunduk perlahan kepalanya terangkat tak lupa dengan senyuman manisnya, "umi, sebelum Nia menjawabnya, bolehkah Nia berta'aruf dahulu? Agar kami bisa lebih mengenal lebih dari seorang santri dengan gusnya. " Vania kembali merasa canggung setelah mengatakan hal itu, namun apa boleh buat? Dirinya dan gus Alzam sama sekali tidak mengenal, bahkan pertemuan pertama dengan gus Alzam juga tidak sebaik itu.

Rasyidah tersenyum hangat, "tentu saja boleh nak. Kalau begitu kalian berdua silahkan keluar dengan di dampingi ning Hida dari kejauhan ya, silahkan saling mengenal dengan baik agar sama-sama menginginkannya bukan karna kepaksaan, " sahutnya lembut.

Gus Alzam dan Vania pun keluar dari sana, termasuk juga ning Hida. Mereka menuju taman yang ada dipesantren itu, dan segera menuju kursi yang sudah ada disana.

"Ehkm! " deham gus Alzam sedikit kencang. "Jadi, apa yang ingin kamu kenali dari saya? " lanjutnya sedikit datar.

Vania yang semula gugup kini tambah gugup, dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk memberanikan diri, "a-apa alasan gus mau menikahi saya? Apa yang anda lihat dari diri saya? Dan mengapa anda secara tiba-tiba memilih saya menjadi pasangan anda? "

"Tidak perlu alasan, karna pada dasarnya jika telah berjodoh maka akan bersama. Sekalipun kita tidak pernah bertemu dan saling sapa, jikalau sudah berjodoh akan tetap dipersatukan. Lagi pula, saya sudah berjanji pada diri saya, bahwa saya akan menikahi gadis yang saya sentuh secara sengaja, waktu itu saya yang buat kamu jatuh pingsan dan saya mau tidak mau harus menggendongmu. Maka dari itu saya merasa bahwa saat ini sudah saatnya saya menepati janji saya, " jelasnya panjang lebar, yang bahkan ekspresinya sangat tidak berubah dari sebelumnya, tetap datar.

Vania yang merasa sudah paham hanya mengangguk dan berdoa di dalam hatinya, agar ini menjadi pilihan terbaik yang ia pilih. Walaupun dihatinya ada secuil rasa ragu, akan tetapi ia terus menyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan terbaik yang ia pilih. Bahkan semua keluarganya sangat berharap dirinya menerima lamaran ini.

"Hah, baiklah gus, saya hanya ingin memastikan hal itu saja, " sahutnya pelan dengan kepala menunduk menatap kakinya.

"Saya sudah mempersiapkan pernikahan kita, dan juga sudah disetujui oleh kedua belah pihak bahwa pernikahan kita hanya dihadiri orang penting saja. Tidak perlu banyak-banyak. "

"Baiklah, kalau boleh tau kapan itu dilangsungkan gus? "

"Jika dari kesepakatan keluarga ndalem dan keluarga mu, mereka meminta dua minggu depan, atau lebih tepatnya bulan depan. "

Lagi dan lagi hanya anggukan menyetujui saja yang Vania lontarkan, sebab ia tak tahu harus berbuat apa selain itu. Bahkan saat ini semua tubuhnya bergetar karna gugup, dan termasuk hatinya. Entahlah sedari tadi tidak bisa bersikap netral.

"Apa pertanyaan yang ingin kamu tanyakan sudah cukup? Atau masih ingin bertanya lagi? "

"Sudah cukup gus. Mari balik lagi ke ndalem, monggo, "

Kedua sejoli itu pun kembali ke ndalem dengan berjalan beriringan. Ingin rasanya menyamai langkah gus Alzam tetapi apalah daya kakinya ini sangat pendek dan sekarang pun dirinya memakai gamis. Jadi agak susah baginya untuk menyamai langkah gus Alzam.

Sesampainya di ndalem, mereka melihat keharmonisan kedua keluarga yang saling bertukar obrolan diiringi dengan canda tawa.

"Assalamu'alaikum, " ucap kedua sejoli itu bersamaan.

"Wa'alaikumussalam, eh kalian udah bicaranya? Trus Alzam kasih tau kamu tanggal nikahnya belum, kapan di adainnya, udah kasih tau kamu? " tanya Rasyidah bertubi-tubi.

"Umi, tanyanya satu-satu dong, kasian Vania nanti tertekan, " peringat kyai Hizam.

Sementara yang diperingati hanya bisa cengengesan tanpa dosa, "hehehe, iya maafin umi ya sayang, "

"Iya umi. Kita sudah selesai bicara, dan gus Alzam juga sudah kasih tau semuanya, jadi sedikit-sedikit Nia paham. Hehehe, "

"Alhamdulillah kalau begitu, betah-betah ya nanti sama sikapnya Alzam, " gurau wanita paruh baya itu.

Gus Alzam yang merasa diledek itu hanya bisa diam tak berkata-kata, namun tatapannya tetap tidak bisa diajak kerja sama. Seolah mengatakan "umi!! ".

Lama kedua belah pihak itu berbincang, hingga tak terasa adzan dzuhur telah berkumandang. Dan saat itulah mereka bergegas untuk menunaikan kewajibannya, sama halnya untuk santri-santri, mereka juga bergegas lari menuju masjid.

Di dalam masjid Vania memilih berada di shaf belakang dekat dengan sahabat-sahabatnya.

"Ihh, kita kangen banget sama kamu Nia! " ucap Ghia dan Fira bersamaan, dengan posisi yang masih saling berpelukan erat.

Karna sudah merasakan sesak, Vania segera melerai pelukan tersebut. "Kalian kalau peluk ngga main-main, sesek tau. Lagian baru juga beberapa hari aku tinggal, masa udah kangen aja, "

"Beberapa hari itu lama bagi kita, apalagi ngga ada lagi yang suka cerita random sebelum tidur. Kan kamu biasanya paling suka ceritain pengalaman aneh, jadi kita kangen tiap malem ngga ada yang antusias cerita, " sahut Fira, bahkan bibirnya ikut ditekuk separuh.

Ghia yang merasa perkataan Fira pun mengangguk dan menimbali setuju, "bener itu, pokoknya kalau ngga ada kamu itu rasanya sepi banget. "

"Iya deh, percaya. Yaudah ayo salat, imamnya udah berdiri itu lho. "

Sejam lamanya seluruh penghuni pondok berada di dalam masjid, melaksanakan sunnah serta pembelajaran hafalan, ada juga yang sekedar berdzikir sejenak. Itu—lah pemandangan yang selalu Vania lihat, rasanya dirinya sangat bersyukur dapat masuk ke dalam pondok ini. Selain memegang teguh kewajiban dan sunnah, di pondok ini selalu bersikap adil dan jujur, jikalau ada seseorang yang bersalah maupun tertuduh bersalah mereka tetap mencari tahu terlebih dahulu.

Lingkungan sekitar yang asri juga sangat mendukung kenyamanan matanya. Terutama taman di bagian belakang pondok, itu adalah tempat favoritnya, entah saat dirinya bersedih, senang, maupun saat sedang dilanda kebosanan.

"Aku ucapkan rasa syukurku yang paling serius disini ya Allah. Selain mendapatkan ilmu, aku juga bisa mendapatkan pembimbing terbaik untuk kehidupan ku kelak. Semoga, segala pilihan yang telah aku pilih, itulah yang terbaik untuk hidupku dan kehidupan orang lain. Tidak merugikan, dan juga sangat menguntungkan dalam segala kebaikan. " batin Vania disertai senyuman tipis.

AL - IL

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi! Gus Galak! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang