Langit malam kini telah menyapu alam semesta, dan waktu tahajjud hanya berkisaran sepuluh menit lagi. Di balik dinding asrama, menampakan sosok lelaki yang tengah berdoa sejadi-jadinya kepada yang kuasa.
"Ya Allah, jika sekiranya cinta ini adalah anugrah, maka tolong jaga cinta suci ini. Namun, jika sekiranya cinta ini adalah musibah, maka hilangkan selayaknya–Engkau menghilangkan kesedihanku. Aku mencintainya, akan tetapi aku tidak mau jika rasa cinta ku padanya lebih besar dari cinta ku pada–Mu dan kekasih–Mu. Tolong beri jalan yang baik untuk rasa yang tumbuh dalam hatiku, aamiin. " lelaki itu ber–lirih, ia mengharapkan doa yang terbaik dari salat istikharah yang telah ia lakukan semenjak tiga bulan yang lalu.
Mencintai seorang santri memang bukan hal yang mudah, apalagi santri itu sangat terkenal di kalangan pesantren. Bukan hanya itu, setiap santri berkemungkinan besar di kagumi oleh banyak lawan jenisnya. Bahkan tak segan-segan banyak orang membawa nama seseorang yang dicintai–ke dalam jalur langit.
Seseorang yang mencintai lewat jalur langit, layaknya seseorang yang tengah berperang dengan orang lain. Kita tidak akan tahu, sebanyak apa seseorang yang mengaguminya. Dan kita tidak akan tahu, sebanyak apa namanya sudah di sebut oleh orang lain dalam doanya. Hanya Allah dan malaikat saja–lah yang tahu.
Usai melakukan salat Istikharah, lelaki berpeci hitam itu melenggang pergi menuju masjid. Lantaran, panggilan salat tahajjud telah tiba.
Seperti biasa, para santri akan slalu berdesak-desakan untuk mengambil air wudhu. Tak jarang jika ada yang ribut karna banyak yang tidak tertib, sangat merepotkan.
"Vania, nanti temani aku ke perpustakaan ya! " ucap Ghia.
Vania yang tengah memandang ke ramaian tempat itu seketika menoleh kala namanya di panggil, "ngapain ke perpus? " tanyanya, jarang sekali temannya ini mmengajak ke perpustakaan. Walaupun Ghia di kenal sebagai perempuan yang kalem dan pintar, namun disisi lain Ghia tidak suka membaca, dirinya lebih menyukai mendengarkan dan menceritakan–bukan membaca.
"Ambil buku buat ujian besok, soalnya Fira udah duluan ambil. Ngga ngajak aku, padahal tempo hari aku udah bilang kalau nanti bareng, "
"Lho, memang ada ujian? Aku kok engga tau? "
"Kamu–kan udah lolos hafalan kemarin Van, yang ngga lolos hukumannya ujian. Kamu lupa ya? "
"Oalah. Hafalannya ustadz Fariz ya! Iya–aku ingat, hehe. " cengiran ala khasnya–Vania lontarkan, memang begitulah Vania. Pelupa.
"Ngobrol terus, sampai ngga wudhu. Tahajjud udah mulai! " celetuk Fira yang tiba-tiba saja berada di dekatnya.
Saat itu juga ke dua sejoli itu sadar, tanpa menggubris perkataan Fira. Mereka segera mengambil wudhu.
Satu langkah lagi mereka dapat memasuki masjid, penjaga di sana sudah terlebih dahulu menghentikan mereka. "Setelah salat, bersih–kan toilet guru! " penjaga, yang tak lain adalah ustadz Fariz–itu pun gegas melenggang pergi tanpa mendengar sepatah kata jawaban dari ke tiga gadis itu.
"Ya Allah, " lirih mereka bersamaan.
Tak berselang lama, azan tahajjud sudah berkumandang dan menggema di seluruh penjuru pesantren. Salat di mulai tanpa adanya gangguan, dan berakhir muraja'ah bersama.
Ayat terakhir di baca oleh Ghia, "shadaqallah hul'adzim. " perlahan bibir mereka mengecup singkat al-qur'an itu, dan segera meletakkan–nya di tempat yang seharusnya.
Di dalam kelas, seperti biasa mereka melakukan kegiatan ajar–mengajar. Termasuk juga kelas yang di duduki oleh Vania dan ke dua sahabatnya, saat melihat separuh teman-temannya kebingungan menjawab soal, ia malah tersenyum bahagia. Bukan bahagia karna kegagalan mereka dalam hafalan kemarin, namun bahagia karna dirinya mampu melangkahkan diri lebih satu jangkah dengan temannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/339184145-288-k152744.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi! Gus Galak! [On Going]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM BACA❗] Al-Zahida, sebuah pondok pesantren yang dihuni ratusan santri. Siapa sangka, dari banyak nya santri, hanya ada satu santriwati yang dapat mengalihkan perhatian seorang gus galak. Dia, Muhammad Alzam Razka Zavier, seorang...