Jawaban [10]

654 30 7
                                    

Lama berpelukan hingga anak dan ayah itu lupa area sekitarnya. Hah, memang seperti itulah saat seseorang tengah melepas rindu, jangankan ingat area sekitar, ingat tujuan utamanya saja pasti-tidak.

"Ini pelukannya sudah bisa di lerai? " tanya Maryam, bukan ia jengah melihat pemandangan se-haru ini. Namun, ada hal yang lebih penting dari pelukan ini, kalau terus-terusan berpelukan lantas kapan mereka bisa menuntaskan tujuan utamanya.

Mendengar kalimat yang di lontarkan Maryam, saat itu juga pelukan sudah ter-lerai dengan diiringi cengiran tak bersalah dari dua empu itu.

Setelah semua sudah terduduk di sofa, dengan segera abbah Hizam menyenggol lengan gus Alzam, guna memberi kode kepada anaknya itu. Namun bukan sebuah anggukkan, malah mendapatkan senggolan balik dari gus Alzam.

Helaan napas berat abbah Hizam hembuskan, memang dasar anaknya ini. "Jadi, kami memanggil Ghazalli dan keluarganya untuk kemari untuk menyampaikan niat baik kami kepada kalian, terutama Vania-, "

"Ah, aku sudah tau, tidak perlu di lanjutkan. " arah pandang yang semula menghadap ke depan, kini menatap penuh harap pada anak putrinya. "Nak, kamu mau menikah dengan gus Alzam? " tanyanya lembut. Sangat lembut, melebihi lembutnya kain sutra.

Deg!

Detak jantung Vania saat itu juga berdetak lebih cepat, bagaimana tidak? Lontarkan pertanyaan ini sama seperti petir yang sedang menyambar hebat di siang bolong.

Ia ingin menolak sekeras mungkin, namun ia tahu betul makna raut wajah dari abi-nya. Tolong bantu Vania, dirinya sedang mengagumi seseorang, tapi kenapa takdir seolah-olah dirinya tidak boleh mengagumi lelaki itu, mengapa juga ia harus terjerat dalam hubungan yang sama sekali tidak ia duga bahkan sampai sekarang.

Dengan lemah Vania menunduk takut, ia tak ingin memberi harapan gus Alzam. Ia juga tak ingin memberi jawaban yang ia sendiri tidak tahu jawaban itu hal terbaik atau tidak. "Vania boleh minta izin ulur waktu satu minggu untuk memberi jawaban? " lirih gadis itu.

Senyuman yang tadinya sebuah harapan, kini sirna menjadi senyuman hangat seperti biasa. "Baiklah nduk, kamu salat istikharah dulu ya. Kalau-pun jawaban itu berkata 'tidak' maka katakan sejujurnya, jangan memaksa hatimu untuk menerima lamaran ini. Kami tidak mau jika kamu harus ber-sakit hati karna harus mencoba mencintai Alzam-anak umi. "

Lagi dan lagi, Vania merasa tidak enak hati, padahal hal ini bukan hal pertama yang ia lalui. Sebelum-sebelumnya ia juga pernah melewati hal ini, tapi kenapa saat ini ia merasa ikut sakit hati mendengar jawabannya sendiri? Ada yang salah-kah dalam hatinya? Atau memang benar ia sedikit menyimpan rasa kepada gusnya, namun tidak mungkin. Bahkan bisa ia jamin, hal itu tidak mungkin.

"Maaf nyai... "

"Bukan salahmu nduk, jangan meminta maaf. Keputusan ada pada kamu, dan jawaban apapun itu pasti umi dan abbah hargai. " anggukkan kecil Vania lakukan sebagai jawaban yang tepat untuk perkataan nyai Rasyidah.

Usai dengan hal itu, keluarga Vania beserta Vania sendiri izin untuk pulang. Jika bertanya mengapa Vania ikut pulang, ia hanya ingin menenangkan diri saja. Setelah merasa tenang dan menemukan jawaban, ia akan kembali ke pondok ini.

"Kami izin pulang dulu ya, " ucap Maryam dan Ghazalli pada keluarga ndalem.

"Iya, hati-hati ya. Dan makasih sudah menyempatkan waktu datang kemari. Untuk kamu Vania, jaga diri baik-baik ya, jangan lupa balik lagi ke pondok, " sahut nyai Rasyidah.

"Baik nyai, insyaallah Nia bakal balik lebih cepat. "

Perbincangan sementara itu berakhir dengan mobil Ghazalli telah pergi menjauh dari pekarangan pondok Al-Zahida.

Melihat kepergian mobil itu, membuat keluarga ndalem juga ikut kembali masuk ke dalam rumah. Diruang tamu hanya tersisa nyai Rasyidah dan abbah Hizam yang kembali membincangkan persoalan pernikahan anak pertama mereka, yang tak lain pernikahan ning Hida.

Sementara itu, di kamar-gus Alzam merenung memikirkan akan hal tadi. "Kenapa aku harus memikirkan hal itu? Sementara aku menikahinya hanya karna janjiku waktu di Khairo. Ah, seharusnya waktu itu aku tidak menghukumnya agar aku tidak perlu menikahinya! " gumamnya menyesal.

Gus Alzam mengacak rambutnya frustasi, jika waktu boleh di putar kembali. Ah, rasa penyesalan itu pasti akan terus memenuhi pikirannya, hanya satu harapan yang bisa gus Alzam harapkan. Ia berharap Vania menolak lamaran itu, dengan itu ia akan terbebas dari janjinya dan terbebas dari cinta yang tak ia ingin-kan.

"Semoga saja seperti itu, " gumamnya lagi disertai dengan seringaian kecil pada sudut bibirnya. Jengah memikirkan hal itu, gus Alzam memenuhi waktunya dengan muraja'ah al-qur'an.

⧼ AL - IL

Masih di perjalanan, keadaan mobil itu hening tak bersuara. Seperti hanya makhluk tak kasat mata saja yang menghuninya.

"Apa yang kamu ragukan tentang Alzam nak? Dia baik, paham agama, tinggi akhlak dan attitudenya, bahkan anak seorang pemilik pesantren. Lalu apa yang harus kamu ragukan lagi? "

Rentetan pertanyaan yang Ghazalli lontarkan membuat Vania semakin kelimpungan tak berdaya. Ia bukan menolak, hanya saja ia masih ragu dengan jawabannya. Vania tau, bahwa sosok gus Alzam adalah lelaki yang banyak wanita idamkan. Tapi, tidak bisakah ia di beri waktu untuk memutuskan hal yang terbaik untuknya.

Maryam yang mengetahui diamnya Vania, lantas menghela napas panjang. "Abi, apakah salah kalau putriku memilih untuk memikirkan jawaban yang pasti? Jika salah, lantas apa gunanya Allah menciptakan doa dan salat istikharah? Seseorang tentu akan merasa bimbang jika di beri pertanyaan seperti ini, apa abi dulu tidak merasakannya? Pasti pernah bukan, waktu kita di jodohkan. Abi juga meminta izin untuk memikirkan jawaban yang pasti, lalu mengapa sekarang Vania melakukan itu, abi seolah-olah tidak suka? Aku uma-nya, aku juga punya hak untuk membela anakku. Aku yang melahirkannya, aku yang merawatnya ketika kau bekerja, aku yang mengetahui segala perasaan dan tingkah lakunya di banding abi. Jadi, jangan pernah memaksa putriku untuk slalu mengikuti kehendakmu abi, putriku memiliki jalannya sendiri, dia bukan anak kecil yang akan menangis jika tidak di beri permen, " tutur Maryam dengan halus.

"Aku tidak memaksanya uma, salahkah jika aku melontarkan pertanyaan itu? Aku hanya heran saja, bukan memaksa. "

"Salah, kamu membuat putriku berada dalam kebimbangan. Kau seharusnya tau jika putriku sangat takut jika tidak menuruti permintaanmu, dan dengan kamu melontarkan pertanyaan itu. Itu membuat putriku harus melakukan sesuatu dengan terpaksa. "

"Tapi itu demi kebaikannya, "

"Tidak ada yang bernama kebaikan jika di lakukan dengan terpaksa. Allah saja tidak akan menyuruh malaikat mencacat pahala seorang hamba, jika hamba tersebut melakukan kebaikan itu hanya karna terpaksa, "

Huft!

"Baiklah, baiklah. Semuanya kita serahkan kepada Vania saja, toh dia yang akan berumah tangga. Aku sebagai abinya, hanya ingin yang terbaik untuk putriku, dan kalau-pun nanti jawaban dia di luar ekspetasiku. Aku tidak masalah, aku akan slalu mendoakan hal yang terbaik untuk putriku. "

Tak terasa setelah perdebatan ringan itu. Mobil yang Ghazalli kendarai telah masuk ke dalam latar rumah mereka.

"Alhamdulillah sampai, yuk kita keluar sayang. Nanti uma masakin kesukaan kamu. " Vania mengangguk setuju. Kedua perempuan itu meninggalkan Ghazalli sendirian di sana. Hah, sudahlah memang begini nasibnya.

⧼ AL - IL

Barakallah fiikum, terimakasih sudah membaca◠◡◠

Hi! Gus Galak! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang