Dipta

27 5 0
                                    

Jderrrrr

Gemuruh petir memekakkan telinga. Ellie dan Iva berlari lari kecil menuju ke rumah. Hujan pun mulai turun berupa butiran butiran halus. Langit biru yang beberapa waktu lalu terlihat cantik , kini telah terganti gumpalan gumpalan kehitaman.

Ellie dan Iva berhasil mencapai teras rumah, saat butir butir air yang lebih besar jatuh ke tanah. Iva tiba tiba saja tertawa cukup kencang.

" Kesambet kamu? Tiba tiba tertawa sendiri " Ellie menepuk pundak iva.

" He he he , bukaaan. Lucu aja sih , aku tiba tiba teringat masa kecil dulu. Saat hujan datang , lari lari di halaman rumah. Masa dimana hal sepele dan sederhana bisa membuat bahagia. Masa dimana aku gak perlu ambil pusing dengan beberapa jumlah saldo rekening yang tersisa " Iva bergumam , matanya menatap pada mendung hitam di kejauhan.

" Ada benarnya juga sih. Manusia itu memang makhluk yang aneh. Saat masih kecil, pengen dewasa. Pengen dewasa bisa nyari duit sendiri. Nyatanya begitu sudah dewasa, kita akan bernostalgia dan sadar bahwa lebih mudah menjadi anak kecil " Ellie duduk dilantai teras rumah.

" Emmm, ngomong ngomong, aku pernah menonton pementasan drama mu. Kupikir kamu sangat berbakat. Kenapa nggak coba ikut casting untuk film, sinetron dan semacamnya " Ellie bertanya di tengah rintik hujan yang semakin lebat.

" Bermimpi itu mudah ell. Mewujudkan nya itu yang susah . Aku pernah memiliki mimpi itu, namun akhirnya aku menyerah untuk menggapainya " Iva menghela nafas.

" Kenapa? "

" Ya karena aku tinggal jauh dari pusat perusahaan perfilman ell. Kalau aku berniat mengikuti casting, aku harus pergi jauh, aku harus merantau. Untuk memulai sesuatu dari nol itu butuh kemauan dan tekad yang besar. Dan aku tidak punya itu. Bahkan aku sering insecure dengan parasku yang biasa biasa saja. Dalam pementasan drama saja aku tak pernah menjadi tokoh utama " Iva menghela nafas. Ada amarah pada dirinya sendiri yang terasa tertahan.

" Tenanglah. Setiap orang punya rasa minder dan kurang pada dirinya sendiri. Itu manusiawi. Hanya saja saat kamu merasa rendah , jadikan itu pemantik semangat bahwa kamu harus berusaha untuk bisa menjadi tinggi. Tunggu tingginya karena kerendahan hati " Ellie tersenyum menatap Iva.

Tiba tiba dari kejauhan, di antara derasnya hujan nampak seseorang berlarian. Ellie dan Iva berdiri dari duduknya. Ellie menyipitkan matanya, berusaha melihat siapa gerangan yang sudi berlari larian di saat hujan , di tengah hutan pula.

" Apa mungkin Yodi? " Ucap Iva. Ellie diam saja tak menyahut.

Saat jarak semakin dekat barulah terlihat sosok yang berlari di tengah hutan itu adalah Bian. Petugas kepolisian itu tampak basah kuyup. Dia berhenti di halaman Ellie dan Iva dengan nafas tersengal.

" Sialan. Kupikir Yodi " Iva mendengus kesal.

" Ngapain sih Bii, joging di tengah hutan ?" Ellie memicingkan matanya, heran melihat kelakuan Bian.

Bian masih saja diam. Dia berusaha mengatur nafasnya. Dengan sekujur badan yang basah , dia bersandar pada tembok diteras rumah. Detik berikutnya dia duduk bersila di lantai, menimbulkan genangan air dari tubuhnya.

"Kalian sudah lama disini ? " Bian bertanya.

" Magsudmu ? " Ellie mengernyitkan dahi.

" Berapa lama kalian berada di teras rumah ini? " Bian mengulangi pertanyaannya.

" Ya lumayan bii. Sebelum hujan deras datang " Jawab Ellie

" Kalian lihat pak Mardoyo atau Galang kembali ke rumah ini ? Soalnya kita bertiga tadi ke bukit atas sana dan terpisah gara gara hujan turun " Bian kembali bertanya.

" Tidak ada siapapun yang berlari dari hutan, kecuali kamu bii " tutur ellie

Bian menggaruk garuk kepalanya yang tak gatal. Padahal dia berencana untuk mengawasi pak Mardoyo, namun malah kehilangan jejak. Bian ingat dengan jelas , tadi pak Mardoyo berada di depannya , namun nyatanya penjaga rumah itu belum sampai juga. Apalagi Galang juga tidak ada di belakangnya.

" Gawat " bian bergumam sendiri.

" Hei, ayo segera masuk ke dalam. Kamu kedinginan, nanti bisa masuk angin " Iva menarik lengan Bian , mengajaknya masuk kedalam rumah.

Bian menurut saja. Tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Mencari Galang di hutan dalam kondisi dan cuaca seperti sekarang sama saja dengan bunuh diri. Hujan deras dengan gemuruh petir yang bersahut sahut. Kabut kebal pekat juga sangat mengganggu penglihatan.

Bian, Ellie , dan Iva masuk ke dalam rumah menemukan Norita tengah asyik menonton tv.

" Hei, tv-nya mbok dimatiin " seloroh Iva.

" Lha kenapa ? " Tanya Norita dengan ekspresi tak berdosa.

" Hujan norii, kamu nggak dengar apa , itu petir bersahut sahutan " Iva melotot jengkel.

Norita tak menjawab. Dengan wajah masam dia mematikan televisi. Kemudian dia beralih menatap Bian yang basah kuyup. Norita hendak membuka mulutnya untuk bertanya, saat Denis berlari menuruni tangga lantai atas.

"Gawattt!" Teriak Denis. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan.

" Ada apa lagi ? " Iva bertanya setengah berteriak.

" Dipta. Dipta dikamarnya " Denis tergagap.

" Ngomong yang jelas semprul " Norita menimpali.

Bian tidak menunggu penjelasan dari Denis. Melihat wajah Denis yang begitu ketakutan. Bian yakin ada yang tidak beres. Masih dalam keadaan basah kuyup, dia berlari menuju lantai atas. Dan pada akhirnya, semua orang mengekor mengikuti Bian.

Sampai di lantai atas, terlihat pintu kamar Dipta terbuka lebar. Bian berlari menghambur ke dalam kamar. Dan akhirnya dia tahu, pantas saja tadi Denis nampak begitu ketakutan. Sosok Dipta ada di sudut ruangan tampak menakutkan.

Dipta terlihat terduduk di lantai dengan mulut menganga. Matanya memutih sementara tubuhnya tampak sangat kaku.

Bian mendekati sosok Dipta. Dia menyentuh pergelangan tangan, memeriksa denyut nadi Dipta, dan tidak menemukan apapun disana. Dipta telah tiada.

" Tolong semuanya tetap di luar " Bian memberi perintah saat gerombolan teman temannya itu sampai d ambang pintu.

Bian memperhatikan dengan seksama kondisi kamar Dipta. Kamar yang sama persis dengan yang Bian tempati. Dari segi ukuran , warna cat dan perlengkapan tidur, semua sama tak ada beda.

Bian menemukan sebuah asbak tergeletak di lantai kamar. Ada Putung rokok di dalam asbak. Dan Bian menemukan ada dua jenis rokok yang berbeda . Putung rokok di asbak menjelaskan bahwa selain Dipta , ada orang lain yang sempat ngerokok bareng d kamar ini.

Bian mengamati mayat Dipta ini. Apa gerangan yang telah membunuhnya ? Bian akhirnya menemukan, dalam pangkal tenggorokan Dipta nampak sebuah benda terjubel berwarna hijau. Benda itu adalah kue kukus pandan buatan Mak Ijah.

Setelah beberapa saat lamanya , Bian berdiri dan menghampiri teman temannya yang masih derdiam di ambang pintu kamar.

" Dipta sudah nggak ada. Menurut prediksiku sementara , dipta tewas karena kehabisan nafas. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Tapi yang jelas semua orang harap lebih hati hati dan waspada " Bian menatap satu persatu orang berjejer di depan pintu.

" Denis. Ikut denganku " ucap Bian tiba tiba.

Judgment DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang