Ellie dan Iva memutuskan untuk melihat lihat sungai samping rumah. Mereka berdua berjalan menyusuri sungai dan langsung dibuat kagum dengan indahnya lukisan alam. Bebatuan yang begitu besar dengan aliran air yang bersih, jernih dan cukup deras. Sementara Mella memilih untuk tidak ikut ke sungai. Dia kembali kerumah melalui pintu belakang.
" Ell, sebenarnya daerah tempat tinggal kita itu tidak kekurangan sumber daya alam untuk digunakan sebagai sarana wisata ya " ujar Iva tiba tiba.
" Ya begitulah. Daerah hulu sungai yang natural seperti ini benar benar memanjakan mata. Hanya saja akses kesini yang sulit. Mungkin jika pemerintah setempat mau untuk membuatkan jalan, tempat ini akan sangat ramai dikunjungi warga kota yang sudah penat dengan kebisingan dan aktivitas hariannya " Ellie menimpali.
" Apa mungkin itu tujuan Zainul membuat rumah di tempat seperti ini ya, supaya ada orang yang mau berkunjung ke tempat indah meski terpencil " Iva mengernyitkan dahi.
" Bisa jadi sih, jalan pikiran Zainul susah ditebak " Ellie duduk si salah satu batu besar di tengah sungai.
" Ngomong ngomong Yodi kemana ya? Apa benar dia pulang sendirian dalam keadaan terluka? " Iva ikut duduk di atas batu, dekat dengan Ellie. Matahari terlihat sudah cukup tinggi di langit yang berwarna tosca hari ini.
" Entahlah. Aku sih berharap dia baik baik saja " Ellie menikmati hangatnya sinar matahari yang menerpa kulit putihnya.
" Yodi dulu anak yang paling bandel kan? Dia yang paling sering mengerjai Zainul. Aku jadi ingat, dulu dia pernah mengunci Zainul dalam lemari. Kalau ngga salah, Zainul baru ditemukan saat jam pulang sekolah dalam keadaan terikat dilemari gudang " Iva tampak mengingat ingat.
" Apa kita pantas disebut teman oleh Zainul? Apakah Zainul sudah memaafkan kita? " Ellie menutupi kelopak matanya menggunakan punggung tangan.
" Itukan masa lalu ell. Dengan segala kesuksesannya, aku yakin Zainul sudah move on. Kenakalan remaja terjadi ya karena pola pikir yang belum matang. Sekarang kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Bukankah begitu? " Iva tersenyum menatap Ellie.
" Tapi, sudahkah kita meminta maaf pada Zainul? " Ellie memejamkan matanya. Iva terdiam saja tak menyahut.
‡‡‡
Pak Mardoyo , Galang dan Bayu telah mencapai puncak bukit. Langkah pak Mardoyo benar benar cepat dan bertenaga. Bian dan Galang yang notabene berusia jauh lebih muda dari pak Mardoyo nyatanya tak mampu menyembunyikan rasa lelahnya.
" Pak , pak , ... Bisa ngga kita berhenti dulu " ucap Galang memelas.
" Kenapa mas? " Pak Mardoyo tersenyum yang terasa mengejek.
" Betisku rasanya mau meledak pak. Ini kalau dipaksain bisa kram ini " Galang memegangi kakinya.
" Mas nya kurang olahraga itu, bapak saja yang sudah sepuh kuat lho. Ya sudah kita istirahat sebentar " pak Mardoyo mengakah. Akhirnya mereka bertiga berhenti dibawah pohon sengon, terletak dibagian puncak bukit yang cukup lapang.
" Pak, saya mau tanya sesuatu " Ucap Bayu tiba tiba
" Silahkan " Sahut pak Mardoyo.
" Sejak kapan Zainul memakai kursi roda? Dan sebenarnya dia sakit apa? "
" Beberapa bulan belakangan ini tuan Zainul kurang sehat. Terkait sakitnya, bukankah anda berdua lebih tahu? " Pak Mardoyo balik bertanya. Bayu dan Galang saling bertukar pandang.
" Kami tidak mengerti maksud bapak " ucap Bian meyakinkan.
" Ya mungkin setelah anda semua tinggal dirumah tuan Zainul beberapa hari, anda akan teringat kembali. Terkadang orang yang bersalah akan berusaha menyangkal dan melupakan kesalahannya, sementara yang dirugikan tak sedikitpun bisa lupa " pak Mardoyo derdiri dari duduknya.
" Mari kita jalan lagi tuan " ucap pak Mardoyo. Bayu dan Galang masih terdiam.
Mereka bertiga kembali berjalan menyusuri perbukitan. Sesekali Bayu berteriak memanggil nama Yodi. Dia masih berharap temannya itu ada di satu sudut hutan atau mungkin sedang ' kalap' dan tersesat.
Waktu terus berjalan, mengelilingi perbukitan dari satu sudut ke sudut yang lain namun hasilnya nihil. Tak ada Yodi, tak ada tanda tanda dia melewati bukit ini.
" Dengan kaki yang terluka kemarin , seharusnya Yodi tak mampu berjalan jauh. Apa mungkin kita kurang teliti , kenapa kita tak mencarinya di dalam rumah saja " Galang berbicara sembari mengatur nafasnya yang tersengal.
" Atau mungkin , Yodi menjadi korban kejahatan " Galang mengucapkan kalimatnya yang sejak kemarin dia tahan.
" Kejahatan tidak bisa disebut kejahatan, jika tidak ada korban dan bukti. Bukankah begitu Pak polisi? " Pak Mardoyo tersenyum ke arah Bayu.
Lagi lagi dimata Bayu, penjaga rumah itu bersikap tidak wajar. Seingat Bayu, dia tidak pernah mengatakan kepada pak Mardoyo bahwa dia seorang petugas kepolisian. Namun, dari apa yang baru saja pak Mardoyo katakan, Bayu menduga laki laki tua itu tahu tentang pekerjaannya.
" Mungkin lebih baik kita segera kembali ke rumah " pak Mardoyo menunjuk awan hitam yang menggumpal di langit sebelah selatan.
Cuaca di akhir tahun memang sering tidak bisa diprediksi. Padahal baru saja langit terlihat cerah, seolah warna biru pastel di angkasa tak mungkin tergantikan. Namun nyatanya gumpalan awan yang begitu pekat, bergerak dengan sangat cepat.
Pak Mardoyo berjalan paling depan , disusul Bayu dan yang paling belakang adalah Galang. Jalanan setapak tak bisa dilewati dengan berjejer. Pak Mardoyo semakin mempercepat langkah saat jalan yang dilewati berupa turunan. Bayu sedikit kesulitan untuk menyusul. Galang juga semakin tertinggal di belakang.
Langit semakin gelap. Gelegar guntur terdengar bersahut sahutan. Mau tak mau pak Mardoyo terus menambah kecepatan langkah kakinya. Dia sedikit berlari melompat dari satu bebatuan ke bebatuan yang lain.
Dengan bersama rintik hujan , Bayu terus mencoba mengejar langkah pak Mardoyo. Bayu tidak mau tertinggal, apalagi hutan yang dilalui terasa asing baginya. Bayu melupakan Galang yang ada di belakang. Rintik hujan semakin besar, dan jarak pandang semakin terbatas.
Galang terengah engah. Dia kehilangan pak Mardoyo dan juga Bayu yang ada di depannya. Hujan membuat perbukitan sangat gelap dan berkabut. Pijakan pun semakin licin , salah langkah sedikit saja dia bisa jatuh terguling ke jurang.
" Biannnnn " Galang berteriak. Mencoba memanggil Bayu yang ada didepan. Namun , suaranya tertutup oleh derasnya air langit yang tumpah ke bumi.
Galang mulai gusar. Jalanan setapak yang dilewati mulai ada percabangan. Dia lupa ke arah mana dia harus melangkah. Hujan juga membuatnya bersin beberapa kali karena kedinginan.
" Jancok " Galang mengumpat, merasakan kakinya tergores duri.
" Tau kaya gini ngga sudi aku ikut "
Hujan bertambah deras, seakan menghukum Galang yang telah berkata kotor ditengah hutan. Mungkin benar kata orangtua, jangan berkata kotor saat kita berada ditempat asing sendirian.
Galang memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Lagipula dia yakin Bayu akan segera sadar kalau dirinya tertinggal. Pasti nanti Bian akan mencarinya. Galang mencari pohon besar yang bisa digunakan untuk berteduh.
Lain dicari lain pula yang ditemukan. Galang malah menemukan sebuah bangunan terbuat dari papan kayu dengan daun kelapa kering sebagai atapnya. Sebuah pondok tua. Terlihat tidak terawat dan menyeramkan.
Galang berfikir sejenak. Dengan sedikit keraguan di hatinya, dia berjalan mendekati pondok tua tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Judgment Day
Mystery / ThrillerPENYAKIT HATI AKAN TERUS MENETAP SAMPAI MATI Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu. Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lan...