tujuh; kumpul

346 23 1
                                    

Javas baru saja sampai di rumah. Seperti biasa, ia langsung menuju lantai dua. Jaketnya ia lempar asal ke meja belajar, tasnya ia taruh di ujung kasur, dan kaos kakinya ia lepas sembarang.

Ga heran deh hampir tiap bulan Javas beli kaos kaki terus.

Bahkan Jericho sampai buka suara.

"Ilang lagi kaos kaki Lo?" Waktu itu Jericho yang menerima paket Javas. "Kaos kaki" begitu yang tertulis di resi.

"Ya. Sini." Javas mengambil paket itu.

"Kebiasaan."


Javas bengong di atas kasurnya. Ia melihat jam dinding dengan serius.

"Ini baru pulang... Jam 5 papa baru pulang, Jericho pasti main di tempat temennya. Ke makam jam 2 deh."

Dan sekarang, perutnya keroncongan minta makan.

Javas turun kebawah mencari makanan.

"Huh, berharap apa deh. Bujang, berdua, ga akur, berharap ada makanan? Cih" Javas menutup kulkas setelah mengambil soda. Sebentar.... Kepala Javas tiba-tiba sakit. Tangannya menggapai meja tanam bagian wastafel, menopang tubuhnya yang tak kuasa menahan kepalanya yang kesakitan.

Dalam ingatannya, ia... Melihat Jericho tertawa di sampingnya. Tidak, bukan Jericho, itu.... Jericho kecil.

"Ini, kapan?" Batinnya.

"Mama sama Javas tunggu sini aja ya. Jericho aja yang kesana." Ia melihat Jericho pergi meninggalkannya. Javas melihat kerumunan orang yang berlalu-lalang, lalu ia menoleh ke kanan atas. Itu mamanya!

"Mah!"

"Akh!" Javas menjambak rambutnya, sakit kepala ini seolah meremas otaknya. Cowok itu masih linglung, masih posisi bertahan agar tidak jatuh, masih berusaha menahan sakit, dan disamping itu, ia semakin dilanda rasa rindu pada sang Mama.

"Javass!!" Suara itu membersamai suara ketukan. Javas berusaha berjalan dengan sakit yang masih ada, walau sudah tak se sakit tadi.

'tok tok'; "Javas!"

Tangan itu berhasil meraih gagang pintu. Dan disaat itu pula sakit kepalanya hilang. Ia menarik pintu.

"Karin?"

"Udah makan?" Cewe itu mengangkat kantok kresek hitam yang ia bawa. Javas melihat Karin dan kresek itu bergantian.

"Belom. Masuk." Javas menarik Karin. Antara antusias akan makan siang atau antusias dihampiri pacarnya.

"Jericho ga ada? Kok sepi?" Javas ikut melihat lantai atas. Bibir cowok itu menyunggingkan seulas senyum sedikit kecut. Tangannya menarik Karin ke sofa depan televisi.

"Mau ada dia mau ga ada dia, sepinya kaya gini Rin." Karin ikut tersenyum kecut. Ia menaruh kresek di meja pendek depan televisi. Karin menunjuk dapur, sebagai tanda izin untuk ke dapur.

"Masuk aja, anggep aja rumah sendiri. Karena disini juga ga ada papa, ga akan." Javas mempersilakan Karin menuju dapur, ia membuka kresek yang di bawa pacarnya.

"Mi Aceh ini!!" Javas dengan semangat membuka kresek itu. Karin di dapur hanya berteriak 'iya' dan tertawa.

"Habis ini kamu ada agenda?" Tanya Karin sambil memberikan garpu.

"Nanti jam duaan ke makam." Dan baru hari ini Karin tahu, bahwa... Enam tahun yang lalu di tanggal yang sama, mama Javas dan Jericho meninggalkan mereka berdua di rumah ini.

•                                    •







"Mah, mama berdoa biar kita ke makam barengan?" Jagad mengelus nisan mamanya.

Ya, rupanya keempat Adam dalam keluarga itu ditakdirkan untuk mengunjugi Mama di waktu yang sama.

Gelas ego yang terisi sama tinggi, ketika mereka bertemu di makam mama, tidak ada yang saling sapa. Terkecuali Jagad dan Eric.

Psikologinya tenggelam oleh lautan malu dan egonya, papa pun tidak membuka mulutnya untuk memimpin doa. Ia hanya membuka mulutnya untuk bicara pada mama dan Jagad.

Desiran angin menuju hujan menjadi latar suara dari pertemuan tidak sengaja ini. Dengan angin yang sebanyak ini, tidak membuat kepala mereka dingin untuk menghadapi satu sama lain. Suara daun berterbangan masih lebih keras daripada suara berat mereka untuk saling bicara.

Mungkin mama sedih dengan melihat situasi ini. Tidak, pasti.

"Mah, liat deh. Adek ga bisa ngapa-ngapain," batin Jagad mengeluh soal situasi ini.

"Ma, Eric harus apa?" Kalimat terakhir yang Eric ucap di batin sebelum ia berdiri duluan dan melangkah.

"Gue duluan," pamitnya pada Jagad. Adiknya itu hanya mengangguk mengiyakan.

Tuan Ugahari itu memejamkan matanya. Menurunkan air ego di dalam dirinya. Ia... Ia ingin menceritakan sesuatu pada Javas, tapi, lewat Jericho. Bukan, ia ingin Javas mengetahui seseuatu tentang Jericho. Dan, Jericho harus mendengarnya.



Ayolah! Apakah egomu tetap paling tinggi tuan?

Jericho sudah semakin kecil dipandangan Papa. Pria paruh baya itu akhirnya berdiri dan mengejar Jericho, disusul Jagad di belakang.

Javas? Ia juga beranjak, namun mengambil jalan yang agak jauh.

"Jericho." Eric menoleh dan mendapati papanya yang berlari kecil.

Eric memberhentikan langkahnya. Ia berhenti karena mungkin papanya akan memberikan kebutuhan untuk di rumah.

Sayur, Chiki, atau mungkin stok laundryan.

"Javas, sebentar." Dahi Jagad dan Jericho mengerut. Javas mendekat.

Javas juga berpikir akan diberi fasilitas baru di rumah. Atau apalah.

"Sepertinya kamu hutang untuk bercerita Jericho." Papa memandang Jericho setelah melihat Javas. Hutang? Hutang apa?

Jericho jadi takut kalo beneran punya hutang, kan nanti di akhirat jadi seret!

"Mungkin saatnya Javas tau." Jericho sedikit melotot. Ia paham apa yang dimaksud papanya. Jericho menatap Javas dan Jagad bergantian.

"Pah?" Javas bertanya-tanya. Disisi lain, Jericho memejamkan matanya muak.

Jericho mendekati papanya. Bicara di depan wajah lelaki paruh baya itu, "Jangan pernah meminta saya menjelaskan hal itu!"

"Kalau begitu biar papa—" Jericho terperangah, tak percaya apa yang di katakan oleh papanya. Ia tertawa kecil.

"Buat apa? Buat apa anda yang menceritakannya? Supaya saya terlihat jelek di mata Javas dan Jagad? Iya?" Kali ini nadanya sedikit naik. Jericho mulai tersulut. Memori tentang hari itu terlintas begitu saja.

"Jericho, dijaga omo—"

"Anda juga perlu menjaga omongan ya Bapak Ugahari." Jericho semakin maju. Alisnya semakin menukik ke bawah. Napasnya semakin tersengal-sengal menahan suara untuk tidak berteriak.

"Bang!" Tegur Jagad, ia rasa itu sudah terlalu kasar.

"Jangan pernah! Jangan pernah anda yang menceritakan hal itu!" Jericho menegaskan setiap kata-katanya. Tanpa basa-basi, ia pergi meninggalkan ketiga keluarganya.

Javas kepalang bingung. Kenapa Jericho bisa se marah itu?


















Hujan pun perlahan turun setelah kejadian itu. Bersamaan dengan air mata Jericho yang lolos dari pelupuk matanya.






















-----

Hai hai! Selamat malam Jumat! Bintangnya jangan lupa yaah!

Stay tuned buat ketemu keluarga Ugahari!

Distance [JEJ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang