sembilan; pertanyaan dan akhir

349 23 1
                                    

Votenya jangan lupa ya! Comment juga boleh hehehe. Share share juga cerita ini yA! Makasii yang udah baca!

---

'plak'

Jericho menarik napasnya dalam. Hidungnya sudah mulai geli, ia rasa ia akan menangis.

Gak.

Gak akan. Mana sudi ia mengeluarkan air matanya di depan orang yang mengakunya sebagai 'kepala keluarga' namun berperilaku tak adil seperti ini. Jericho menggigit bibir dalamnya sebagai pengalih rasa sakit di pipi.

"Kamu itu! Saya pikir saya sudah bisa memaafkan kamu! Tapi ternyata apa? Malah ngelunjak!" Zafran mengusap dahinya lelah. Ia menarik napas, berusaha mengendalikan diri.

"Kamu ga mau jelasin apa-apa?" Tanyanya pada Jericho. Pemuda itu masih tertunduk. Terlihat tak berani, tapi di dalam dirinya, darah sudah berdesir hebat berisi amarah.

"Kalo saya jelasin juga cuma bakal masuk telinga kanan keluar-"

"JERICHO!"

"Tuh kan! Saya bilang juga apa!" Jericho mengangkat kepalanya. Matanya sudah merah akibat menahan tangis. Pemuda itu menatap papanya yang sedikit lebih tinggi. Napasnya semakin berderu ketika ia melihat pantulan dirinya di dalam manik hitam papanya.

"Kamu berani sama papa kamu??" Suaranya lumayan keras, namun stabil.

"Sebaiknya anda berkaca, sifat anakmu ini didapatkan dari mana." Jericho menjauhkan wajahnya.

"Saya pamit." Kali ini ia pergi meninggalkan ruangan rumah sakit itu.

Jericho membuka kamar inap Javas. Adik kembarnya itu masih terbaring di ranjang rumah sakit, tangannya ditusuk jarum perantara cairan infus, dan wajahnya terlihat tenang bertumpu di bantal itu.

"Javas Barnes Ugahari." Jericho menatap Javas dengan wajah datar. Ia tak tahu harus khawatir, marah, sedih, kecewa, atau apa.

Tak ingin lama-lama menatap adik kembarannya, ia segera mengambil tasnya dan pergi dari sana.

"Mau kemana bang?" Saat keluar Jericho berpapasan dengan Jagad yang membawa tiga susu kotak.

"Ga perlu tau." Jericho melengos melewati Jagad begitu saja. Jagad mengerutkan dahinya.

"Kok gitu?"








• •

Lagi-lagi hujan turun.

Javas membuka matanya dan melihat air hujan mengenai jendela. Kepalanya terasa pusing.

"Bang?" Suara Jagad memasuki telinganya. Javas menoleh perlahan. Tak sampai 10 detik, ia memalingkan pandangannya lagi ke arah jendela.

"Je-" Jagad yang sedang memainkan ponsel jadi agak mengangkat kepalanya.

"Gimana bang?"

Javas mengulum bibirnya. Hampir saja ia keceplosan.

"Ngapain Lo disini?" Jagad memutar bola matanya ke atas.

"Disuruh papa." Jagad menjatuhkan dirinya, merubah posisi menjadi tiduran. Seperti biasa, Jagad melanjutkan scroll media sosialnya. Tak lama ia tertawa cekikikan sendiri.

"Ah! Berisik!" Batin Javas.











"Papa mana?" Nadanya datar

"Ga tau." Jagad menjawab sambil masih sedikit cekikikan.

"Lo ga sekolah?"

Mulut Jagad terkatup, kesal, kesenangannya di ganggu. "Kan libur. Cih, apa sih?" Remaja itu memutar tubuhnya menjadi menghadap sandaran sofa-supaya tidak melihat kakaknya.

Distance [JEJ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang