enam; masa lalu

411 25 0
                                    

Kala itu, tawa Javas dan Jericho masih saling bersahutan. Masih saling bertabrakan.

Tangan kecil keduanya saling bertubrukan, tanda puas atas apa yang mereka lakukan.

"Asik! Besok kita minta beli sosis bakar!" Javas kecil sudah membuat rencana apa yang akan di lakukan pada esok hari.

"Untung acaranya sesudah UAS masih ada! Kita bisa pergi deh!" Jericho terduduk di kursi teras. Javas mengikuti disampingnya.

"Semoga UAS kita bagus deh ric, udah mau kelas enam nih. Kata pak Iko, nilai UAS sebelum kelas enam jadi nilai tambahan di ijazah!"

Eric melotot, menghadap saudara kembarnya.

"Eh?? Yang bener aja deh Jav!" Javas manggut-manggut yakin.

"Aduh, kemaren ada yang aku isi asal. Gimana ya?" Eric terlihat lesu. Javas terkekeh, lalu menepuk pundak saudaranya.

"Aku juga kok, makanya berdoa aja!" Keduanya tertawa.

"Semoga besok ga hujan." Eric menatap langit sedikit berharap.

"Aah... Bener juga... Aamiin deh!"

Javas dan Jericho kecil baru saja berhasil membujuk sang Mama untuk pergi ke festival jajanan di alun-alun kota. Pada awalnya, mereka tidak tertarik untuk pergi kesana, namun beberapa temannya pergi kesana. Namanya anak kecil, pasti ingin seperti teman-temannya juga.

Mereka berdua sempat membujuk mama untuk pergi empat hari lalu, tapi karena masih dalam pelaksanaan UAS permintaan di tolak. Baru saja selesai tadi siang, keduanya langsung membujuk mama lagi di sore harinya. Dan akhirnya! Mereka bisa pergi. Walau membujuknya agak cepat karena mama mau pergi, tapi yang jelas mama meng'iya'kan permintaan mereka tadi!














Esoknya, mereka bangun dengan semangat yang berbeda. Dengan rasa tidak sabaran untuk segera pergi ke festival itu.

























Tapi, percayalah, itu menjadi festival terakhir yang mereka kunjungi bersama. Khusunya, festival terakhir yang di kunjungi Eric.























• •

"Besok-besok jangan ninggalin Eric kaya kemaren lagi Lih!" Tegur Arda.

"Maaf ih, panik gue kemaren, takut ada kuis beneran. Duh, mana sih kuncinya?" Galih menatap Eric sekilas untuk meminta maaf, lalu sibuk mencari kunci motornya. Tangannya sibuk mengacak-acak tas ransel yang ga seberapa isinya.

"Emang, kalo orang setres itu suka ga jelas." Eric menarik kunci di leher Galih. Ternyata kunci motornya sudah ia kalungi sejak tadi.

"Buset!" Galih tertawa.

"Lo mau ngebis atau sama gue da?" Galih melihat Arda yang kebingungan melihat jam tangan lalu gerbang sekolah.

"Bareng Lo aja deh. Kayanya ga bakal cukup kalo naik bis! Ayo ayo!" Loh, kok malah Arda yang buru-buru?

Eric tertawa, "Mau kemana si lu?" Eric menggunakan helmnya.

"Ngejar diskon alat dapur. Sumpah, Bunda nitip ke gue! Ayo lih!!" Arda mendorong Galih untuk segera menancapkan kunci ke lubang kunci.

"Sabar bego!"

"Terus helm Lo?" Arda menepuk jidatnya.

"Gue ambilin!" Eric berlari menuju tempat helm yang tidak agak jauh dikit dari tempat parkir motor mereka.

"Set lah!" Eric terengah di antara larinya. Membelah kerumunan, itu masalahnya.

"Nih!" Eric memberikan helm Arda. Arda memakainya, naik ke motor Galih, dan keduanya berpamitan secara cepat pada Eric. Pemuda itu hanya tertawa.

Eric merasakan getaran di sakunya.

"Haris?"

"Halo?"

"EH YANG BENER?! OKE OKE GUE KESANA! SUMPAH!" Eric mematikan ponselnya lalu menaiki motor untuk mengeluarkannya dari barisan motor.




Eric akan bertemu dengan teman kecilnya! Haris!

Ia begitu semangat saat ini.












"Heey!" Eric menepuk pundak Haris dari belakang. Temannya itu sedikit terlonjak dan segera berdiri, membalas gestur salaman dari Eric.

"Sumpah, Lo ngapain disini? Liburan?"

"Sedih. Pindah lagi ni gue, besok balik ke sekolah."

"Lah?! Mepet gini? Tapi masih semester satu kok, ya gapapa lah!"

"Haduh..."

"Oh iya, gimana? Ibu Lo udah sembuh?" Eric menyomot kentat goreng milik Haris.

"Syukurnya, udah. Tinggal obatnya aja sih..." Eric mengangguk lega.

"Btw, gimana Javas? Kabar dia baik?"

Eric terdiam... Keheningan menyelimuti meja itu.

"Ga tau, ga pernah merhatiin. Ga peduli." Haris menggeleng. Sikap Eric masih saja seperti itu kepada Javas.

"Tapi kan itu juga bukan sal-"

"Emang bukan. Itu emang bukan salah Javas. Gue yang salah! Emang dari awal itu gue yang salah!" Eric sedikit menaikkan nadanya.

"Tenang Eric. Iya, maaf ya, gue ga bermaksud."

"Iya... Sorry ris...."

"Tapi Ric, kayanya sekarang dia perlu tau."
















Mata Eric menatap Haris nanar. Kemudian, ia menundukkan kepalanya.





















"Gue, ga tau harus apa. Gue butuh waktu lagi."

Distance [JEJ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang