"Nyatanya emang gak bakal bisa buat lupain kamu, Ser"
Matanya menatap dedaunan yang basah diguyur hujan, pikirannya tidak berisikan daun yang sedang ditatapnya. Sera lagi dan akan terus Sera yang selalu ia pikirkan, tidak akan tergantikan.
"Dam, Sera kapan main ke sini lagi?" tanya wanita itu.
Sadam berdecak mendengar pertanyaan Mamanya itu. Mengapa ia selalu menanyakan Sera di saat Sadam sedang memikirkan Sera. Kadang, Sadam juga merasa cemburu pada Sera yang selalu saja dipertanyakan oleh Mamanya, sebenarnya anaknya itu Sadam atau Sera?
"Gak tau, Ma. Mama juga nanyain Sera mulu, anaknya Mama itu aku atau Sera?"
Wanita paruh baya itu hanya tertawa mendengar Sadam berbicara seperti itu. Anaknya belum besar, masih sama seperti dulu. Selalu manja pada dirinya dan suaminya. Jika ia merindukan Sadam yang kecil, ia tidak perlu repot-repot membuka kembali album foto milik Sadam karena pada dasarnya Sadam bertingkah manja padanya setiap hari.
"Kan Sera juga udah Mama anggap sebagai anak, Dam. Makanya kapan mau balikan, biar cepat-cepat dihalalin"
Sadam merasa bulu kuduknya berdiri seperti sedang ada makhluk tak kasat mata yang menghampirinya. Kalimat itu tampak horor di telinga Sadam. Ia tidak tahu kenapa Mamanya berbicara seperti itu dengan sangat tiba-tiba.
"Apaan sih Ma. Nih ya kalau juga aku halalin Sera, Sera mau aku kasih makan apa? Batu?"
Lagi-lagi wanita paruh baya itu tertawa, lalu didekapnya tubuh anaknya itu. Sembari mengelus lembut rambut milik Sadam dan berakhir mengecupnya. "Mama bercanda, Dam. Kalau mau serius juga boleh, Mama setuju banget kalau kamu sama Sera lagi. Dari semua mantan kamu yang pernah kamu bawa ke rumah, cuma Sera yang srek sama Mama"
—
"Tumben ketikannya bener, gak kayak ngajak orang berantem lagi"
Mendapati pesan itu sudah pasti Sadam bingung. Ada tujuan apa Bara meminta Sadam untuk bertemu. Ingin mengajaknya berkelahi, atau ada tujuan lain?
"Ma, aku ke luar sebentar ya"
"Hati-hati sayang"
Cup
Sadam mengendarai motornya menuju tempat yang Bara berikan. Walaupun hubungan pertemanannya sedang tidak baik-baik saja, Sadam masih mau meladeni Bara. Bara tetaplah sahabatnya, merasa khawatir kalau ternyata Bara sedang butuh bantuannya.
Angin sore menyelimuti pasar. Tampak pedagang kaki lima mulai memposisikan meja-meja untuk kembali berjualan setelah di guyur hujan. "Sera kalau dibawa ke sini pasti senang, banyak jajanan"
Meninju pahanya saat menyadari apa yang ia sebut dalam hatinya, kemudian kembali melajukan motornya agar sampai lebih awal.
Melepas helmnya dan di letakkan di atas jok motornya. Bara memintanya untuk datang ke warung yang biasa mereka berdua datangi dulu. Dilihat tidak terlalu banyak motor yang terparkir di sana mungkin sekitar enam motor saja.
"Sorry kalau lama" ucap Sadam menghampiri Bara yang tengah duduk bersama Dika.
"Oh Dika juga di sini?"
"Biasa lah Bara gak bisa gak ada gua" jawab Dika.
Sadam berdiri menatap Bara yang sedari tadi diam tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Hanya disibukkan dengan menyeruput segelas kopi hitam panas.
"Ada urusan apa minta gua ke sini?"
"Duduk aja dulu, Dam" kata Dika.
Mendudukkan dirinya di hadapan Bara dan menatapnya lekat. Ia bingung pada Bara yang terus saja terdiam padahal Bara sendiri yang memintanya untuk bertemu.
"Penting gak? Kalau gak gua pulang kasian Mama gua sendirian di rumah"
"Dam" kali ini Bara bersuara.
"Ayo ngumpul sama-sama lagi. Gua minta maaf atas semua yang udah gua perbuat ke lo. Dari dulu ini pure salah gua. Gua gak expect kalau kita jadi se begini nya. Let's be friends again"
"Berarti selama ini lo anggap kita berhenti temanan gitu?" tanya Sadam.
Bara panik, bingung bagaimana menjawab pertanyaan Sadam tadi. Yang Bara maksud adalah untuk akrab kembali karena sedari dulu tidak ada yang memutuskan untuk berhenti berteman, baik itu Sadam maupun Bara.
"Gak gitu, maksud gua akrab kayak dulu lagi"
"Bikin bingung aja, push up lo lima puluh kali" perintah Sadam.
"Anjing, gak ada berubahnya lo dari dulu, Dam"
"Cepat, mau gua maafin gak?"
Dengan cepat Bara melakukan apa yang Sadam perintah. Tidak peduli pada orang sekitarnya yang tengah menertawakan dirinya.
Merasa kasihan pada sang sahabat, ia menyuruhnya untuk berhenti melakukannya. Apa yang ia katakan hanya sebagai bahan candaan agar tidak terlalu canggung.
"Gua becanda doang, Bar. Gak harus push up kok buat dimaafin. Intinya sekarang lo udah sadar di mana letak kesalahan lo. Makasih udah inisiatif ngajak ketemu, kalau gak lo yang ajak gak bakalan kelar ini semua"
"Tapi lo gak trauma kan sama gua?"
"Enggak, udah santai sih"
Bara bangkit dari duduknya ia mendekat pada Sadam dan merangkulnya. Mengelus pelan punggung milik Sadam.
"Dik fotoin Dik gua sama Sadam"
—