Prolog

332 23 0
                                    


"Luna, kita putus aja, ya?"

Luna mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna ucapan pria di hadapannya. Gerakannya menyendok makanan mendadak berhenti begitu saja. Matanya masih menatap tak percaya kepada pria yang kini malah asik melahap makanannya seolah kalimat itu tak ubahnya seperti tengah membicarakan cuaca.

Eduard, nama pria yang sudah menemaninya enam tahun terakhir, dan kini meminta untuk pergi. Luna selalu memuja pria ini, bahkan dia bersedia jika disebut bulol—bucin tolol—hanya karena pria berwajah mirip oppa Korea itu. Sudah banyak yang mengingatkan Luna untuk menjauhi pria ini, namun tidak satu pun digubris oleh perempuan itu. Baginya seluruh kelebihan dan kekurangan Eduard adalah paket lengkap yang membuatnya jatuh cinta. Titik. Tidak ada yang boleh protes.

Otak Luna berputar cepat, berusaha mengingat apa yang dia dan Eduard alami belakangan ini. Seingatnya kemarin lusa mereka masih kencan berdua. Bahkan mereka sempat makan gelato di kedai yang cukup terkenal di Jogja. Sudah dua minggu terakhir mereka tidak bertengkar. Bahkan beberapa bulan ini pria itu menjadi lebih royal dari biasanya. Lalu kenapa tiba-tiba kekasihnya meminta mengakhiri hubungan ini?

"Ini memangnya April MOP ya, Mas? Setahuku ini masih Bulan Februari?" balas Luna ragu.

"Aku nggak bercanda, Luna," balas laki-laki itu geram. Kedua tangannya mengepal erat, menunjukan emosinya yang tertahan. "Aku sudah dijodohkan sama anak sahabat mamaku. Minggu depan aku akan ke Jakarta untuk lamaran. Kamu nggak mau kan, jadi pengganggu di rumah tanggaku?"

"Tapi Mas selama ini nggak pernah ngomong kalau dijodohin sama orang lain," balas Luna masih tidak terima. Perempuan itu mulai merasakan wajahnya memanas. Pandangannya pun memburam oleh air mata yang siap tumpah kapan saja.

"Apa yang kamu harapin sih, Lun? Aku mau nikah sama kamu? Kamu sudah kapan wisuda, tapi cari kerja aja nggak dapat-dapat. Bakal dapat apa aku kalau nikah sama kamu?"

Luna tersenyum nanar. Setetes air mata akhirnya mengalir melewati pipinya. Jadi sekarang pernikahan dipandang selayaknya bisnis yang punya untung rugi, ya? Seingat Luna, sebelum ini dialah yang lebih banyak mengeluarkan uang saat mereka berkencan. Sebutkan saja aktivitas yang biasa dilakukan saat kencan. Makan malam? Pergi ke bioskop? Pergi ke tempat wisata? Dari semua aktivitas, dapat dipastikan hanya satu yang Eduard bayar sendiri. Membeli bensin untuk mobilnya. Lalu sekarang dia dianggap tidak bermanfaat karena belum berhasil mendapat pekerjaan?

Dengan sisa kesabaran yang dimiliki, Luna menyetujui permintaan Eduard sebelum melangkah keluar dari restoran. Tak dihiraukan panggilan pria tak tahu diri itu. Pegawai restoran yang menghentikannya untuk menagih pembayaran pun tidak dia gubris. Katakanlah perempuan itu kekanakan, tetapi siapa yang bisa menahan rasa sakit hati seperti ini?

***

"Bangun, Lun! Keluar sana, lari pagi!"

Seorang pria menarik gorden, membiarkan matahari memasuki kamar yang sudah beberapa hari ini dibiarkan gelap. Tanpa menghentikan omelan dia mulai membuka jendela serta mengibas debu yang mulai menempel di berbagai sudut. Mulutnya berdecak ketika menyadari tumpukan tisu bekas yang menggunung di samping kasur. "Gini nih kalau bikin rumah yang ada kamar mandi dalam. Punya adik kok jorok setengah mampus."

Menyadari tidak ada tanggapan apapun dari si pemilik kamar, pria itu melangkah mendekati kasur. Matanya menyipit melihat sosok yang dia cari masih bersembunyi di balik kepompong yang terbuat dari selimut. "Bukannya tambah pinter, kenapa setelah diputusin malah tambah tolol sih. Cari kerja sana, jangan malah hibernasi." Ditariknya perlahan kepompong di hadapannya. Sial, ternyata sudah bangun, ya? Dengan sekuat tenaga pria itu menarik, memaksa kepompong itu terbuka, menampilkan isinya. Oh tentu saja dengan susulan pekikan dan tendangan maut si pemilik rumah.

"MAS RONALD NGGAK SOPAN!"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang