Bab XVIII

96 8 10
                                    

Hola, saya kembali setelah satu bulan vakum. Ternyata cuti lebarannya lebih panjang dari dugaan wkwkwk

Sebelumnya, mohon maaf lahir batin, ya

Happry reading everyone. Enjoy!

***

Nathan berjalan santai keluar dari kantor. Tas dan semua barang bawaannya sengaja dia tinggal di dalam. Toh kalau nanti dia tidak kembali, Aryo dan Rama bisa membawakan. Di otaknya sekarang hanya ada Luna. Wajah pucat Luna tadi pagi tidak bisa hilang dari bayangannya. Laki-laki itu berniat memasuki parkiran khusus karyawan ketika pundaknya ditarik cepat diikuti bogeman di rahangnya.

"Bangsat!" umpat Nathan begitu melihat siapa orang di hadapannya.

"Dimana Anda sembunyikan Luna?"

Nathan menyeringai mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang ini cukup bersikeras untuk bertemu Luna. Apa mungkin ada yang belum selesai dari hubungan mereka di masa lalu?

"Kalau gue nggak tahu Luna di mana, gimana?" tantang Nathan.

"Bohong!" sentak pria itu. Tangannya meraih kerah kemeja Nathan, sementara wajahnya memerah penuh emosi.

"Lo goblok banget sih jadi orang. Sudah gue bilang cari tempat yang nggak ada CCTV, juga," ucap Nathan masih tetap santai. "Lagian gue leader IT. Lo kira susah buat gue nyari tahu identitas lo?"

Nathan terkekeh menyadari wajah pria di hadapannya berubah ragu sesaat. Namun tak lama kemudian wajah itu kembali mengeras. "Anda pasti bohong. Anda cuma mau gertak saya, kan?"

Nathan mengangkat sebelah alis. Jawaban ini ... Dia tahu bagaimana pekerjaan IT sebenarnya? Atau mau menggertak balik?

"Bohong dari mananya? Bukan hal susah buat gue cari tahu semua itu. Lo tahu, tinggal masukin ciri-ciri wajah lo, ntar face detector bisa nyari semua info tentang lo di internet." Nathan terus mengoceh, memamerkan hal-hal yang bisa dilakukan dengan identitas pria di hadapannya ini. Seringainya kian melebar ketika menyadari pria di hadapannya kian memucat.

Nathan mengakhiri ocehannya dengan tersenyum santai. Sebelah alisnya terangkat, seolah menantang pria di hadapannya untuk membalas semua ucapannya. Dia melirik ketika menyadari tangan yang tengah mencengkeram kerahnya kini bergetar hebat.

"Anda... Anda pasti bercanda, kan?" gagap pria itu tidak percaya.

"Lo masih nanya?"

Pria itu mundur beberapa langkah sementara Nathan terkekeh pelan. Jadi pria macam ini yang menjadi saingannya? Bahkan masih lebih menantang Andra daripada dia. Lagipula menyedihkan sekali. Bisa-bisanya dia percaya begitu saja dengan semua ucapan asal Nathan. Setidaknya face detector akan membutuhkan foto pria itu, bukan hanya ciri-ciri fisik!

Senyum Nathan meluntur, kembali menjadi tatapan siaganya saat menyadari tatapan pria di hadapannya. Alih-alih tampak putus asa, pria di hadapannya justru menatapnya dengan penuh tekad.

"Saya tidak akan mundur begitu saja."

***

Nathan mengertukan dahi mendengar ucapan perawat di hadapannya. Dia tidak salah mengingat nama lengkap Luna, kan?

"Luna Wijaya Putri. Masa nggak ada, sih? Dia tadi pagi masuk IGD sini!" sergah Nathan tidak sabar.

"Saya cek sekali lagi, ya. Luna Wijaya Putri." perawat itu kembali mengoperasikan komputernya sebelum kembali mengangkat kepala dan menggeleng. "Tidak ada, Mas."

Nathan mengacak rambutnya kesal. Dalam hati dia sibuk menyumpahi pria yang menahannya tadi. Pasti karena orang itu dia jadi kehilangan Luna! Padahal kalau dia tidak perlu menghadapi orang sialan itu, dia bisa jadi tidak kehilangan jejak Luna.

Pria itu mengucap terima kasih sebelum membalikan badan. Dengan cepat dia merogoh kantungnya dan mengambil ponsel untuk menghubungi Luna. Mulutnya mengeluarkan decakan keras ketika teleponnya tersambung ke nada statis yang menandakan bahwa dia tengah bertelepon dengan orang lain.

Tak kehabisan akal, Nathan menghubungi Rama. Bukankah perempuan itu mencantumkan alamat pada fail data diri perusahaan? Siapa tahu Rama mendapat akses fail itu.

"Lo batal kencan?" todong Rama tanpa menyapa sama sekali.

"Gue nggak punya pacar," balas Nathan kesal. Tanpa sadar dia memutar bola matanya ketika mendengar Rama terbahak di seberang sana. "Lo punya alamatnya Luna nggak?"

"Lo kira gue bokapnya Luna? Gue masih muda, anjir!"

"Lo nggak bisa buka fail administrasinya Luna?"

Sesuai dugaan Nathan, Rama menjawab dengan decakan dramatis. "Lo ngajakin gue jadi kriminal? Wah, bontot udah kepengaruh pergaulan bebas nih, Yo!"

Nathan lagi-lagi menggeram mendengar keisengan Rama yang keluar di saat yang tidak tepat. Dia yakin tawa yang sayup-sayup terdengar itu berasal dari Rio. Sepertinya kedua laki-laki kesepian itu sedang bekerja di area outdoor kantor.

"Gue matiin, ya?" ujar Nathan jengah.

"Idih idih, ngambekan lo!" balas Rama. "Lagian lo jengukin Luna kan? Napa nggak nanya orangnya langsung?"

"Ya ngapain gue telepon kalian kalau orangnya ada di sini?"

"Lah?" terdengar suara Rama terkejut diikuti suara kursi ditarik. "Gebetannya bontot ilang."

Nathan berdecak mendengar ucapan Rama. "Bukan gebetan ..."

"Nggak bisa dihubungi nomornya?"

"Ini si bontot nanyain gue. Katanya nggak ada di sana."

"Ngenes banget sih. Gue teleponin aja kali ya, ceweknya bontot?"

"Bukan cewek gue!" pekik Nathan yang tentu saja diabaikan kedua sahabatnya. Tentu saja sebagian isinya menggoda Nathan, meskipun tersirat kekhawatiran di dalamnya.

Merasa putus asa, pria berwajah sinis itu memilih mematikan telepon. Dengan cepat dia menggulir layar ponselnya, mencari nomor satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Luna.

Andra!

***

Andra menoleh mendengar desahan lelah di sampingnya. Luna yang telah tampak sedikit lebih segar tengah memijat dahinya. Ada apa? Bukankah mereka baru saja pulang dari rumah sakit? Apa suruhannya lupa mengabari bahwa biaya rumah sakit sepenuhnya dia tanggung?

"Kenapa, Lun?"

Luna menoleh dan tersenyum kepada Andra yang tengah memandangnya khawatir. "Nggak pa-pa, kok. Cuma heran aja kok Mas Nathan telepon. Apa ada kerjaan yang belum beres, ya?"

Andra mengerutkan kening sesaat sebelum terkekeh. "Emang kudu ngomongin kerjaan dulu baru boleh telepon, Lun?"

Gantian Luna yang kini mengerutkan kening. "Mas Nathan biasanya ngontak cuma buat ngomongin kerjaan."

Andra terbahak mendengar jawaban Luna sebelum menggumam pelan, "Pantes jomlo."

"Kenapa, Mas?"

"Nggak pa-pa."

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah sederhana. Tampak beberapa mobil tengah diparkir di halaman rumah. Pintu rumah tampak terbuka. Namun Andra mendadak memasang sorot tajam ketika menyadari dua orang pria yang tengah bersitegang di teras rumah.

"Itu siapa, Lun?"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang