BAB III

138 16 3
                                    

Jangan lupa vote dan comment, ya. Selamat membaca!

"Makan-makan, woi! Makan-makan!"

"Jangan pelit lo. Traktir lah, buat perkenalan ke pendahulu-pendahulu lo ini!"

Luna menggelengkan kepala heran mendengar keributan di hadapannya. Lima orang pria tengah mengelilingi Andra untuk meminta traktiran kepadanya. Andra sendiri hanya terkekeh melihat tingkah rekan-rekannya. Luna? Tentu dia hanya memandang mereka semua dengan senyuman di bibirnya.

"Lo senyum-senyum doang, Lun," sapa Rio yang baru datang. Dia menarik kursi di samping Luna karena tempat duduknya kini masih berada di antara rekannya yang tengah ribut.

"Nggak usah mahal-mahal. Di warteg seberang kantor juga nggak pa-pa kok. Lumayan kan bagi dua, lo sama Luna."

Luna berdecak mendengar ucapan Rio yang mengundang tatapan semua orang kepadanya. Sudah bagus dari tadi dia tidak dapat perhatian, kenapa sekarang jadi dirinya ikut kena imbas?

"Iya, nggak pa-pa, Mas," balas Luna pasrah. Ya begini jadi anak baru—sekaligus anak termuda—di divisi. Dia cuma berani mengiyakan, tanpa berani menawar apalagi menolak.

"Nah, sudah dapat satu tuh yang mau bayar!"

Kehebohan semakin menjadi setelah celetukan itu terdengar. Semua orang kini berusaha merayu Andra untuk turut dalam acara "perkenala" itu. Andra yang dalam kondisi terpojok pun dengan terpaksa mengiyakan permintaan itu. Pria itu hanya memberikan satu syarat, dirinyalah yang menentukan tempat makan nanti siang. Siapa pun yang menolak berarti tidak termasuk dalam acara makan-makan ini. Tentu saja persyaratan itu disanggupi dengan mudah oleh semua orang yang ada di sana.

Kerumunan bubar begitu saja setelah mendapatkan apa yang mereka mau. Andra pun akhirnya bisa beranjak ke kursinya. Luna meringis melihat penampilan pria itu yang cukup berantakan. Entah apa yang dilakukan rekan-rekannya tadi, karena rambut pria itu kini lebih mirip seperti sarang burung.

"Maaf Mas, aku beneran nggak bermaksud bikin Mas ikutan disuruh traktir." Luna menatap Andra penuh permohonan maaf, sementara Andra mengeluarkan botol minum dan headset dari dalam tas.

"Nggak pa-pa kok, Luna. Saya sudah biasa, kok. Dulu awal-awal kerja juga saya selalu diminta traktir gini."

Andra mengacak puncak kepala Luna lembut sebelum menghadap komputernya, bersiap bekerja. Pria itu tidak sadar telah membuat pipi perempuan di sampingnya memerah. Dengan gerakan kaku—sembari menahan senyum yang diam-diam terbit—perempuan itu memutar tubuh, menghadap komputernya sendiri.

***

Luna menatap barisan kode yang ada di hadapannya. Luna hari ini telah mendapat beberapa tugas yang menurut leader-nya cukup sederhana. Salah satunya yang sedang dikerjakan saat ini, mengubah layout daftar cerita di halaman pencarian. Meskipun terdengar sederhana, nyatanya Luna kini tetap mendapat kesulitan. Dia bahkan sudah mencoba berbagai cara yang dia tahu untuk membuat perubahan itu. Sayangnya sampai sekarang perubahannya masih belum tampil, walau Luna yakin telah tersimpan.

Diam-diam Luna melirik pria di sampingnya, berniat meminta tolong. Namun detik itu juga dia menggelengkan kepala, mengurungkan niat. Tidak! Luna sudah bertekad untuk mengerjakan ini sendiri tanpa merepotkan orang lain. Dia kembali menatap layar di hadapannya, mencoba menerka-nerka apa yang terjadi. Sayangnya baru lima menit, Luna sudah meletakkan kepalanya di atas meja, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

"Luna install berapa browser di situ?" Luna menoleh dan menemukan Andra tengah tersenyum menatapnya, tampak terhibur dengan tingkah Luna.

"Ada Chrome, Mozilla, sama Safari sih, Mas. Kenapa memang?"

"Sudah coba run di browser lain? Kadang ada kejadian cache-nya nyantol, jadi meskipun kodenya sudah diubah, tampilan browser-nya belum berubah."

Luna menatap Andra takjub. Mas Andra kok bisa tahu aku kenapa? Luna tersadar bahwa dia tanpa sengaja menyuarakan pikirannya kala mendengar kekehan Andra.

"Lihat monitor Luna aja sudah kelihatan."

Merasa kembali bersemangat, Luna segera memutar tubuh kembali menghadap monitor. Dia membuka peramban lain dan mencoba menjalankan aplikasinya di sana. Kedua mata setika terbelalak mendapati perubahan yang dia buat telah teraplikasikan dengan baik di situ. "Eh.. Kok bisa sih? Kok aneh, sih?"

"Gitu aja nggak tahu!"

Deg!

Luna merasakan jantungnya berhenti berdetak sejenak. Wajahnya perlahan terasa memanas diiringi air mata yang mengenang di pelupuk matanya. Meja divisi yang sebelumnya dihiasi celetukan-celetukan ringan pun mendadak hening.

"Parah, Yon. Anak baru sudah kamu ketusin aja. Kasihan, lah."

Luna merekam nama itu dalam benaknya. Dion. Seseorang yang mendapat tempat duduk tepat di belakangnya. Kenapa dari semua orang, dia mendapat tempat duduk di dekat orang seperti ini? Merasa tidak mampu menahan air mata, Luna pun bangkit, berjalan cepat ke kamar mandi.

***

Luna menepuk-nepuk pipinya, berharap dapat mengurangi sembap pada wajahnya. Setelah hampir lima belas menit di kamar mandi, dia akhirnya keluar. Dia belum puas menangis, tentu saja. Tetapi semakin lama dia di sana, semakin susah dirinya menyembunyikan bengkak pada wajahnya nantinya.

Luna mengangkat sebelah alisnya ketika menyadari meja divisi IT kosong, hanya menyisakan Nathan yang sibuk bermain game di ponselnya. "Yang lain pada ke mana, Mas?" tanya Luna takut-takut.

"Masih salat sama ada yang nyebat," jawab Nathan tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. "Lo kelamaan nangisnya."

"Maaf," cicit Luna.

Tanpa disangka pria itu mengangkat kepala, menatap Luna dengan tatapan menusuk. "Lo ngapain sok-sokan masuk sini? Dengar omongannya Dion aja baper." Dengan kasar dia memasukan ponsel ke saku celana dan beranjak dari kursinya. Tepat ketika melewati Luna pria itu berbisik, "Makanya gue nggak suka member cewek."

***

Luna menatap sekelilingnya sendu. Setelah lima menit yang lalu sampai di rumah makan padang ternama, kini semua rekannya tengah berebut memesan lauk yang mereka inginkan. Tentu saja, sebagian besar menargetkan lauk paling mahal yang tersedia. Luna sendiri memilih berdiri paling akhir, enggan berebut dengan rekan-rekannya.

"Lo kenapa, Lun?"penasaran Luna menoleh dan menemukan Rio yang berdiri di depannya kini tengah menatapnya penasaran. Pertanyaan itu rupanya juga menarik perhatian Nathan yang tengah berdiri di sampingnya, membuat pria itu ikut berbalik. "Lo kelihatan lagi banyak pikiran."

Luna menggeleng kecil. Dia tidak ingin bercerita di sini dan semakin memperkeruh suasana. Apa yang terjadi di kantor saja sudah cukup untuk menghancurkan suasana hatinya.

"Lo masih kepikiran omongan Dion tadi?"

Mendengar pertanyaan Rio membuat Luna refleks melirik pria yang disebut namanya. Pria bersuara cempreng itu memang terlihat tidak menyukai Luna sejak awal mereka bertemu. Luna masih ingat betul ketika awal dia masuk, pria itu telah memberikan tatapan permusuhan kepadanya. Tanpa sadar Luna menghela napas lelah. Apa memang semua orang di divisi ini anti perempuan?

"Kalau lo nggak tahan, mending resign aja. Atau minta pindah divisi ke Juni sana," celetuk Nathan. Sontak Rio dan Luna menoleh, sementara yang dipandang hanya memasang ekspresi acuh. "Memang salah omongan gue?"

"Nggak seharusnya lo ngomong gitu, Nath. Punya empati dikit, lah. Ada cewek lagi down malah lo bilangin ..."

"Lo juga seneng kan, kalau Luna resign?"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang