BAB VIII

143 12 3
                                    

Luna sama Nathan balik lagi, nih. 

Selamat membaca. Jangan lupa vote dan comment, ya!

***

"Satu, dua, tiga, empat, lima. Belum masuk jam kantor tapi udah lima task yang di-assign ke aku?"

Luna menatap komputernya malas. Hari ini dia resmi menjadi anggota tim mobile dan berpindah tempat duduk membelakangi Andra. Entah nasibnya sial atau bagaimana, tetapi kini dia bersebelahan dengan Dion, pria yang senang sekali menyindirnya. Sejak dia tiba saja pria itu telah melayangkan berbagai sindiran untuk Luna.

"Bilang aja nggak mampu."

Tuh kan! Luna mengerucutkan bibirnya kesal, namun urung menjawab ucapan pria di sampingnya itu. Perempuan itu sibuk membaca detail satu-persatu tugas yang diberikan kepadanya. Masih cukup dasar, mengingat proyek ini juga baru dimulai. Sepertinya Luna akan punya cukup waktu untuk beradaptasi.

"Lun," panggil sebuah suara yang Luna kenali. Perempuan itu menoleh dan menemukan Rama berdiri dengan senyuman lebarnya. Di belakangnya berdiri Nathan dengan wajah sinis andalannya. "Tugas lo di tim Rio sudah beres, kan?" Luna mengangguk mendengar ucapan pria berbadan kekar itu. "Selanjutnya task-task lo bakal dipegang sama Andra. Mungkin sesekali dia bakal nanya kalau ada yang dibingungin. Buat sekarang lo fokus dulu aja, ya." Luna kembali mengangguk. Pria itu mengacak puncak kepala Luna sebelum berlalu ke tempat duduknya sendiri.

"Lun," panggil Nathan. Entah kenapa, suara pria itu kini terdengar berkali lipat lebih menakutkan. "Lo tahu kan, gue duduk di mana?"

Diam-diam Luna merutuki ucapan Nathan. Yang benar saja, bagaimana mungkin dia tidak tahu. Pria itu duduk di sampingnya. Berbisik saja sudah pasti pria itu bisa mendengarnya. Dengan malas Luna kembali menganggukkan kepala.

Nathan menarik kursinya dan menatap Luna serius. "Gue orangnya perfectionist, Lun. Gue nggak nerima kerjaan yang kurang dari standar gue. Lo boleh tanya sama semua yang di meja ini, dan gue nggak akan ngelak itu. Kasih tahu aja kalau kerjaan dari gue terlalu berat buat lo. Oke?" Puas dengan anggukan Luna, Nathan pun menghadap komputernya, melanjutkan pekerjaan.

***

Luna menghela napas panjang setelah Nathan bangkit untuk makan siang. Jam sudah menunjukan pukul dua belas, yang itu berarti semua orang kini bisa beristirahat sejenak untuk salat dan makan siang. Luna yang kebetulan hari ini membawa bekal memutuskan untuk menghabiskan waktu sejenak lebih lama di mejanya. Perempuan itu sibuk membaca kembali tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Tugas yang tadi pagi hanya berjumlah lima, kini telah bertambah berkali lipat. Syukurlah sebagian tugas itu hanya berupa tugas-tugas dasar untuk mempersiapkan aplikasi yang akan dibuatnya nanti.

Setelah dipikir-pikir, aplikasi yang diminta tim marketing cukup sederhana. Mereka menginginkan aplikasi untuk memantau stok serta pembelian produk-produk mereka. Sebenarnya data-data yang dibutuhkan telah ada di sistem yang telah dibuat selama ini. Tugas Luna hanyalah menyatukan data-data tersebut dan menampilkannya pada aplikasi yang dia buat nanti.

"Gimana hari pertama di tim mobile, Luna?"

Luna menoleh dan menemukan Andra tersenyum hangat. Sebagian rambut pria itu basah, menandakan dia baru saja kembali selepas salat. Luna tersenyum masam mendengar pertanyaan itu. "So-so. Tugasnya nggak masalah, sih. Yang ngasih tugas masalahnya," keluh Luna, mengundang kekehan Andra. "Diajakin ngomong jutek banget. Ditanyain juga jawabannya suruh nyari di google mulu. Repot kan, Mas."

Andra terkekeh mendengar keluhan Luna. Posisi duduknya yang tepat di belakang Luna membuat pria itu sedikit banyak dapat mendengar percakapan Luna dengan Nathan. Memang Nathan hanya menjawab seadanya saat ditanya oleh Luna. Tidak heran perempuan itu merasa kesal.

"Nggak usah diperhatikan lah orangnya. Nanti Luna jadi suka, lho," canda Andra. "Dikerjakan aja pelan-pelan sebisanya. Kalau bingung kan nanti bisa tanya saya." Pipi Luna memerah mendengar ucapan Andra. Perlahan perempuan itu mengangguk. "Semoga betah ya, Luna. Yang akur!" canda Andra seraya mengacak rambut Luna. "Makan siang, yuk!"

"Mas Andra yang traktir, kan?" teriak Luna sebelum berlari kecil menyusul Andra.

***

"Lo sudah lihat cara penulisan variabel waktu gabung di proyek Rio? Jangan asal lah ngasih namanya. Lo nggak mikirin kalo ntar resign terus perlu handover proyek?"

"Udah empat kali lo bikin function yang mirip. Nggak pingin disederhanain, gitu?"

"Lo bikin code nggak efektif amat sih, Lun? Waktu bootcamp dulu nggak pernah diajarin?"

"Kalau nggak ngerti itu tanya! Jangan buang-buang waktu gue buat baca code sampah lo!"

"Mas Nathan sialan!" pekik Luna di depan cermin toilet. Emosinya sudah tidak terbendung atas banyaknya komentar yang dia terima dari Nathan. Bayangkan saja, setiap kali Luna meminta reviu pekerjaannya, pria itu selalu memiliki alasan untuk menolak. Kalau begini terus rasanya Luna mau meminta tukar posisi saja dengan Andra.

Luna tidak mengerti, memang apa lagi sih yang salah? Oke, kalau misal dia memang salah, apa tidak ada cara bicara yang lebih sopan? Dia ini manusia, lho. Manusia asli. Kenapa Nathan tidak bicara lebih sopan?

Luna membasuh wajahnya dengan air sekali lagi. Pikirannya masih dipenuhi berbagai tingkah Nathan yang membuatnya tidak habis pikir. Menolak pekerjaannya dengan kasar, mengabaikan saran Luna, bahkan memotong ucapan Luna dengan ucapan 'berhenti membuang-buang waktuku'. Kurang ajar!

Sekali lagi Luna membasuh wajah, berusaha menghilangkan kekesalannya. Dia sudah tidak peduli dengan makeup-nya yang luntur bersama air. Wajah polosnya juga cukup enak dipandang, kok. Lagipula siapa yang mau peduli dengan penampilannya? Pria di divisinya semua lebih tertarik dengan komputer dibanding perempuan.

Luna mengeringkan wajahnya sebelum keluar dari kamar mandi. Perempuan itu terlonjak kecil ketika menemukan pria yang baru saja dia umpat tengah bersandar di depan pintu kamar mandi. Wajahnya yang biasanya sudah menyeramkan, kini kian mengeruh.

"Kalau lo ada masalah, kenapa nggak ngomong sama gue? Lebih gampang teriak-teriak di kamar mandi, ya?"

Luna menundukkan kepala. Keberaniannya menciut hingga ke titik terendah. Dia hanya menggeleng dalam diam. Mas Nathan aja nggak pernah dengerin aku ngomong!

Nathan melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan Luna. Perlahan pria itu menunduk dan berbisik, "Lain kali, kalau lo ada masalah, ngomong langsung. Nggak usah sok-sokan diam tapi teriak-teriak di tempat lain."

Luna memejamkan mata erat. Posisinya kini seperti rusa yang tengah diintai singa. Bedanya, pria di hadapannya cukup menggunakan tatapan dan ucapannya untuk mencabik-cabik Luna. Tanpa sadar Luna melangkah mundur ketika merasakan gerakan dari pria di hadapannya.

"Gue nggak suka urusan sama cewek, Lun. Apalagi yang gampang baper," ucap Nathan dengan suara rendah. "Kalau memang tingkah gue bikin lo kesel, gue minta maaf. Sebisa mungkin gue bakal berusaha ngomong lebih halus."

Luna mengangkat wajahnya tidak percaya. Apa tadi? Nathan minta maaf? Semudah itu membuat pria di hadapannya minta maaf? Perempuan itu mengerjap, masih tidak tahu bagaimana memproses tindakan Nathan kali ini.

"Gue punya standar kerja yang tinggi. Nggak cuma berlaku ke orang lain, tapi juga ke diri sendiri. Makanya jangan heran gue juga nuntut lo yang sama, karena lo kerja cuma berdua sama gue di proyek ini. Apes lo, Lun." Nathan mengendikan kepala ke arah meja divisi mereka, "Balik sana! Jangan ngintip, lo!"

Luna masih terdiam, bahkan setelah Nathan melewatinya. Kesadaran perempuan itu kembali tepat setelah pintu kamar mandi ditutup. Umpatan pelan lolos dari bibirnya. "Nggak ada yang minat ngintip!"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang