BAB IX

122 13 2
                                    

Hai hai, Coleen di sini. Maaf semingguan menghilang. Kondisi di rumah benar-benar nggak memungkinkan buat update. Semoga kedepannya bisa lebih rutin. Makasih banyak buat semua yang mau nungguin cerita ini.

Happy reading :)

***

Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, nyatanya Luna tetap harus lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Nathan mengatakan bahwa Luna harus menyelesaikan empat tugas setiap harinya. Sedikit, kan? Tentu sedikit kalau leader-nya bukan pria perfectionist seperti itu!

Segelas cokelat panas yang Luna pesan kini telah menjadi dingin, tetapi dia masih sibuk mengerjakan tugas keempatnya untuk hari ini. Perempuan itu bekerja dengan hati-hati, berusaha tidak membuat kesalahan yang membuat pekerjaannya kembali ditolak. Tetapi karena kelewat hati-hati itulah dia jadi membutuhkan waktu lebih lama untuk setiap tugasnya.

Luna menutup laptopnya asal. Dia menggigit bibir sebelum menggeram, menyalurkan rasa frustasinya. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Otaknya pun seperti enggan diajak berpikir. Sadar memaksakan diri dalam kondisi seperti itu tak ada gunanya, Luna pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Luna meraih gelas minumannya yang sejak tadi diabaikan. Masih dengan sibuk memikirkan pekerjaannya, perempuan itu mengaduk perlahan cokelatnya. "Tahu gini mending nggak usah kerja aja. Nyari cowok kaya sepuluh turunan terus nikah, siapa tahu aku masih dapat jatah hoki. Tinggal tidur sama travelling kayak selebgram-selebgram itu, kan."

Luna tengah menyesap minumannya ketika sepiring croissant yang masih mengeluarkan asap diletakkan di samping laptopnya. Perempuan itu menoleh dan menemukan Adam dengan senyuman menenangkan tengah berdiri di hadapannya. Dilihat dari baunya, sepertinya gelas yang pria itu bawa berisi kopi.

"Kamu masih belum pulang, Lun?" tanya Adam sembari mengambil tempat di samping Luna. Dengan tenang dia mengeluarkan tablet dan keyboard dari dalam tas.

"Masih ada kerjaan yang belum selesai, Mas," jawab Luna apa adanya. Luna mengernyit menyadari Adam membuka naskahnya. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Masih banyak orang. Di sini juga cukup ramai dengan suara percakapan pengunjung lainnya. "Mas suka kerja di sini? Aku kira penulis itu kerjanya tengah malem pas lagi sepi gitu."

"Kamu mengira saya suka menulis di kuburan?"

Luna tergagap mendengar pertanyaan Adam. Dengan panik dia menjawab, "Nggak gitu, Mas. Ya mungkin di kamar atau tempat yang lebih tertutup."

Luna terperangah ketika pria di hadapannya justru terbahak. "Saya tidak menyangka kalau kamu benar-benar berpikir serius seperti itu," ucap pria itu di akhir tawanya. "Saya memang lebih suka menulis di tempat seperti ini. Melihat interaksi orang lain memberikan inspirasi tersendiri bagi saya."

Adam menempelkan telunjuk ke kaca, menunjuk pantulan pasangan yang tengah berbincang serius. "Mereka sedang merencanakan pernikahan. Sayangnya masih ada ketidaksetujuan dari salah satu orang tua. Cocok untuk menulis drama keluarga."

Pria itu beralih menunjuk ke arah perempuan yang tengah menelungkupkan kepala ke meja. "Dia baru putus cinta. Diam-diam sedang menangisi perpisahannya."

"Sementara kamu," Adam menunjuk Luna, "cocok untuk menulis cerita bingung mencari pasangan karena terlalu sibuk bekerja."

Luna melotot mendengar ucapan Adam. "Untuk ukuran orang yang baru kenal, Mas nggak sopan, ya?"

Berkebalikan dengan Luna, orang yang dia marahi justru terbahak melihat reaksi itu. "Saya hanya bercanda, Luna."

"Lagian Mas sok tahu banget. Memangnya Mas Adam punya kemampuan baca pikiran orang?"

"Saya nggak sengaja mendengar ucapan mereka saat menunggu pesanan siap. Bertahun-tahun menjadi penulis membuat saya lebih jeli dalam mengamati sekelililing saya. Termasuk mengamati seberapa kerasnya usahamu untuk beradaptasi di sini."

Luna terdiam mendengar ucapan Adam. Sejujurnya dia merasa cukup senang ada yang menyadari usahanya itu. Lihat saja, pipinya tampak memerah meskipun berusaha dia tutupi. Perempuan itu mengangguk dalam diam sebelum memutar tubuh, kembali fokus dengan laptopnya.

***

"Akhirnya balas juga."

Luna mendesah kesal melihat hujan turun dengan derasnya sejak dia selesai dengan pekerjaannya. Kalau begini dia harus naik apa? Luna tidak merasa aman untuk naik ojek online dalam kondisi begini. Mau tidak mau dia harus menghubungi Ronald, kakak satu-satunya. Sialnya, Ronald sepertinya sedang sibuk sehingga dia perlu menunggu cukup lama sebelum mendapat balasan.

"Kakakmu bisa menjemput? Kalau tidak bisa saya antar saja," tawar Adam untuk kesekian kalinya.

Luna tersenyum sungkan. Dia paham bahwa pria di sampingnya itu berniat baik. Tetapi Luna merasa tidak enak harus menyusahkan disaat cuaca buruk seperti ini. "Mas Ronald sudah OTW, kok. Mungkin lima belas menit lagi sampai."

"Mau saya pesankan mie rebus sembari menunggu, ya?" tawar Adam. Tanpa menunggu jawaban pria itu berdiri dan melangkah ke memesan mie instan rebus.

Luna lagi-lagi terperangah dengan sikap Adam. Mereka masih cukup baru berkenalan, tetapi sepertinya pria itu sudah bersikap seolah mereka adalah teman akrab. Apa pria itu memang semudah itu mengakrabkan diri dengan orang baru?

"Aku harus ganti berapa?" todong Luna, menghadirkan kerutan di dahi Adam. "Mie-nya. Aku harus ganti berapa?"

"Saya traktir, Luna. Tidak perlu diganti. Kamu pasti belum makan malam, kan?" jawab Adam santai. "Berkendara di malam hari dalam kondisi perut kosong bisa membuat kamu sakit."

Luna terdiam, tidak tahu harus membalas bagaimana. Sejujurnya dia jadi merasa serba salah. Mau menerima dia tidak enak, pun mau menolak dia merasa tidak tahu terima kasih. Karena itu dia hanya makan dalam diam setelah mie miliknya dan Adam diantarkan. Setidaknya pria itu memesan dua porsi, sehingga perasaan bersalahnya tidak menjadi lebih besar lagi.

Luna melirik Adam yang kini kembali sibuk dengan naskahnya. Sejak tadi pria itu benar-benar hanya menemani sembari bekerja tanpa mengajak bicara terlalu banyak. Hanya sesekali dia menanyakan hal-hal remeh sepada Luna. Perempuan itu pun tidak keberatan karena menurutnya Adam tidak membuatnya kesulitan dalam berkonsentrasi.

Tak lama kemudian Luna melihat sebuah motor mendekat dan berhenti di depan pintu cafebook. Luna mengenali motor itu, milik kakaknya. "Aku pamit dulu, Mas. Makasih makan malamnya," ucap Luna sopan. Adam mengangguk tanpa menghentikan kesibukannya menulis naskah. Merasa khawatir mengganggu, Luna pun memutuskan pergi.

***

Nathan keluar dari lift sembari memainkan ponselnya. Dia mengangguk singkat, menyapa resepsionis yang sepertinya juga bersiap pulang. Sebelah alisnya terangkat ketika menyadari seorang yang dia kenali tengah sibuk bekerja.

"Lo ngapain malam-malam masih di sini?" tanya Nathan sembari menghampiri Adam yang tengah sibuk mengetik. Pria berwajah sinis itu berhenti di samping Adam sembari berkacak pinggang.

"Saya tadi menemani anak buahmu yang baru. Dia barusan pulang. Mangkok mie rebusnya saja masih ada di sini."

Nathan mengedarkan pandangan dan menemukan Luna, si anak baru, tengah kerepotan memakai jas hujan. Di depannya berdiri seorang pria yang membawakan helm merah muda, warna khas perempuan itu. Tanpa sadar Nathan mendengus. Dia sibuk dengan berbagai pekerjaan di atas, sementara anak buahnya pacaran saat hujan begini?

"Kata Luna itu kakaknya," ucap Adam yang kini memandang lurus ke arahnya. Matanya menyipit, tampak menahan tawa yang siap meledak. "Kamu barusan mengatakan pikiranmu."

Nathan mengumpat mendengar itu. "Nggak ada yang peduli sih, siapa yang jemput dia." Dia meletakkan tas dan ponselnya di meja sebelum melangkah ke kasir, memesan minum untuknya sendiri. Sembari menunggu pesanannya dibuatkan, dia menoleh ke arah motor yang kini telah bersiap membelah jalan raya. Diam-diam dia merasa sangsi dengan ucapan Adam tadi.

"Adam gampang dikibuli, nggak sih?"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang