BAB 1

224 18 7
                                    

Jangan lupa vote dan comment, ya. Selamat membaca

Luna memandang sekelilingnya dengan kilat penuh semangat. Ruangan berkapasitas sepuluh orang itu tampak lengang, tidak seorang pun selain dirinya di dalam sini. Potret berbagai sampul buku terpajang di tembok. Tak lupa hiasan kayu bertuliskan "Daisy Publisher" diletakkan di tengah meja rapat.

Hari ini Luna memiliki jadwal interview. Untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan berjuang mengirimkan kesana kemari, ada perusahaan yang bersedia memberinya kesempatan sejauh ini. Karena itu, semalam dia sudah mempersiapkan segalanya; membaca ulang materi pemrograman, membaca tips-tips menghadapi interview, bahkan menyetrika kembali pakaian yang dikenakannya hari ini. Lihat saja, hari ini dia memakai blus semiformal berwarna putih yang dilengkapi dengan rok merah muda selutut serta ransel berwarna merah muda. Rambut panjangnya dia biarkan terurai, hanya diberi jepit di beberapa tempat.

Luna melirik jam di sudut ruangan. Sudah hampir tiga puluh menit sejak jadwal interviu yang ditentukan. Kenapa belum ada seorang pun yang datang? Apa interviunya dibatalkan? Apa mereka membuat kesalahan dengan mengundang Luna dalam tes interviu ini?

Perempuan bermata bulat itu menoleh cepat ketika mendengar pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang perempuan berbadan mungil diikuti dua pria jangkung di belakangnya. Si perempuan mungil dan pria yang berbadan besar tersenyum, menyapa Luna dalam diam. Kontras dengan keduanya, pria yang berjalan paling belakang hanya menatap Luna dengan wajah datar, cenderung mengintimidasi. Ketiganya mengambil tempat di hadapan Luna sebelum si perempuan membagikan beberapa lembar kertas kepada keduanya.

"Mbak Luna nunggu lama? Maaf ya, karena tadi mas-mas IT ini masih ada meeting, jadinya agak mundur dari jadwal yang di email," ucap si perempuan dengan tatapan menyesal.

"Nggak pa-pa kok, saya mengerti," balas Luna disertai senyuman simpul. Setidaknya dia tidak perlu pulang dengan perasaan kecewa, itu sudah cukup.

"Kalau gitu kita mulai saja, ya. Perkenalkan saya Juni, HR Daisy Publisher. Kita biasanya cuma bisa chatting, akhirnya bisa ngobrol langsung, ya. Di sebelah saya ini mas-mas IT yang akan bekerja bersama Mbak Luna kalau nantinya diterima di sini. Silahkan perkenalkan diri, Mas."

Si pria berbadan besar berdehem sejenak. Senyum tidak luntur dari wajahnya, meskipun matanya jelas tengah menilai. "Perkenalkan, saya Rama, manager tim IT. Bisa dibilang saya pimpinan tertinggi untuk tim IT. Silahkan ..."

"Saya Nathan, salah satu leader tim IT," ucap si wajah datar singkat, menimbulkan keheningan sesaat di ruangan itu.

"Nah, karena kami bertiga sudah memperkenalkan diri, silahkan Mbak Luna bergantian memperkenalkan diri."

Luna tersenyum, berusaha menyembunyikan debaran jantungnya yang kian menggila. Kedua tangannya mulai terasa dingin. Perutnya pun terasa seperti diperas, efek kegugupan pada dirinya. Perempuan itu perlahan menarik nafas dalam untuk menenangkan diri. "Perkenalkan, saya Luna Wijaya Putri. Saya lulusan Jurusan Ekonomi di Universitas Kartika Agung. Di waktu liburan kuliah saya sering mengikuti kursus dan pelatihan, salah satunya bootcamp software developer terkemuka di Jakarta." Perempuan itu tak lupa menyebutkan berbagai penghargaan dalam bidang IT yang dia dapatkan selama kuliah, menghadirkan binar antusias di mata Rama.

***

"Mbak Luna pengalamannya nggak main-main, ya. Kenapa nggak kuliah IT aja sih, sekalian?" tanya Rama dengan nada bercanda. Ketegangan yang awalnya menyelimuti ruangan kini telah hilang tak berbekas. Ketiganya—minus Nathan yang masih memasang wajah serius—asik bercakap-cakap dengan diselipi candaan di antaranya.

"Saya awalnya belajar IT juga cuma coba-coba kok, Mas. Soalnya ..."

"Kamu coba-coba terus berharap bisa jadi karir yang menjanjikan?" sela Nathan, membuat perhatian semua orang beralih kepadanya. "Kalau suatu saat kamu ketemu masalah di sini, kamu bakal langsung banting setir, gitu?"

Luna tergagap mendengar pertanyaan Nathan. Sungguh, Luna tidak menyangka kalimatnya akan diartikan seperti itu oleh pria di hadapannya. "Bukan gitu maksud saya, Mas," cicit Luna pada akhirnya. "Saya masuk bidang IT memang tanpa sengaja, tapi bukan berarti saya berniat hanya coba-coba untuk melamar di sini."

"Kalau gitu saya akan menjelaskan gimana di divisi IT nantinya. Kita semua laki-laki. Bisa dibilang kamu perempuan satu-satunya kalau diterima di sini. Saya yakin kamu perempuan yang feminim. Tapi seperti laki-laki umumnya, kita suka bicara kasar, mengumpat, dan saling hujat. Kamu yakin bisa bertahan dengan lingkungan seperti itu?"

Luna terdiam mendengar penuturan Nathan. Pandangannya terkunci pada pria itu namun pikirannya berkelana membayangkan apa yang baru saja dituturkan. Terkunci di tengah-tengah banyak pria tanpa rekan perempuan satu pun tentu bukan bayangan yang menyenangkan bagi Luna. Dia tidak pernah sekolah di lingkungan yang mayoritas pria sejak kecil. Hanya sesekali saat mengikuti kompetisi dan pelatihanlah Luna merasakan pengalaman seperti itu. Tetapi itu hanya dalam rentang waktu singkat, berbeda dengan apa yang mungkin terjadi nantinya.

"Kamu ragu?"

Luna kembali memfokuskan pandangan pada Nathan yang kini tersenyum meremehkan. Perlahan senyuman terpatri di bibir perempuan itu. Baiklah, kalau pria itu ingin meremehkannya, maka Luna akan membuktikan kalau dia bisa lebih dari itu.

"Meskipun berkuliah di jurusan yang didominasi perempuan, saya sering berada di kondisi seperti itu. Jadi, ya, saya yakin bisa bertahan di sini."

***

Luna menatap kalender di hadapannya lesu. Sudah lebih dari seminggu sejak dia melakukan wawancara di Daisy Publisher, tetapi tidak satupun email yang diterimanya. Apa itu berarti dia gagal dalam interviu kali ini? Dengan lemas Luna bangkit dan menyeret tubuhnya ke kasur. Diraihnya salah satu boneka ke dalam pelukan. Pikirannya sibuk menerawang, menerka-nerka apa yang salah dari wawancaranya kemarin.

Lamunan Luna terhenti ketika mendengar suara notifikasi dari ponselnya. Dengan malas dia meraba sekitarnya, mencari keberadaan ponselnya. Kesal tidak berhasil menemukan sumber suara, Luna mengangkat kepala dan memandang sekelilingnya. Dengusan lolos ketika dia menyadari ponselnya berada di meja rias tepat di samping kasur. Luna menyalakan ponsel disusul pekikan beberapa detik kemudian.

"Ini serius aku keterima? Beneran jadi anak IT?" Dengan semangat Luna berlari kecil, membuka pintu kamarnya, sebelum berteriak kencang, "Mama, Luna keterima jadi anak IT! Mama bakal punya anak sekeren James Bond!"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang