BAB VI

131 12 3
                                    

Alhamdulillah bisa update lagi. Semoga nggak bosen nungguin, ya. Selamat membaca.

***

Luna melongokkan kepala melewati atas monitornya, berusaha memuaskan rasa penasarannya. Sejak tadi banyak orang sibuk berlalu-lalang membawa berbagai barang: kardus ukuran sedang, nampan berisi berbagai makanan dan minuman, serta beberapa kardus lain yang lebih besar. Semua itu dibawa ke ruang istirahat. Entah mau ada acara apa di ruangan itu. Sayang sekali, padahal Luna ingin beristirahat sejenak di sana.

Sejak kemarin, pikiran Luna penuh akan tantangan yang dilayangkan Rama. Imbasnya, perempuan itu menjadi tidak bisa fokus bekerja. Bagaimana tidak, Rama mengatakan baru bisa meloloskan probation Luna jika perempuan itu mendapatkan persetujuan kedua team leader di divisi IT. Aneh, memang. Setahu Luna, biasanya pegawai hanya perlu meminta penilaian ke atasan langsungnya, yang berarti Rio sebagai team leader-nya. Tetapi kenapa kelulusannya harus juga mendapat persetujuan dari team leader lain—yang itu berarti Nathan?

Luna merebahkan kepala di atas meja dengan berbantalkan kedua tangannya. Dia hanya sibuk menghela napas panjang tanpa benar-benar melakukan apa pun sejak pagi.

"Ada yang Luna bingungin?"

Luna mengangkat kepala dan menemukan Andra yang tengah menatapnya dengan senyuman simpul. Dengan cepat dia menggerakkan tangan di depan badan, memberi tanda tidak. "Nggak kok, Mas." Sepertinya reaksinya terlalu cepat, karena Andra justru terkekeh dengan jawaban Luna.

"Kalau ada yang dibingungi, jangan lupa tanya ya, Lun," ucap Andra sekali lagi, membuat Luna meringis. Masalahnya ini bukan bingung yang bisa dia tanyakan!

***

Luna mengintip ke dalam ruang istirahat, memastikan tidak ada orang di dalamnya. Dia menghela napas lega menemukan ruangan benar-benar kosong. Sepertinya acara apa pun itu yang akan diadakan di tempat ini belum dimulai. Dengan cepat dia menyelinap ke dalam dengan membawa laptop dan mengambil tempat di salah satu sudut.

Ruang istirahat ini seluruh lantainya dilapisi karpet tebal. Beberapa bean bag serta bantal-bantal besar yang tersedia membuat ruangan ini tampak cukup nyaman, baik untuk istirahat maupun bekerja. Di salah satu sisi juga terdapat televisi dengan sound system berukuran sedang.

Merasa mendapat tempat yang cukup nyaman, Luna pun mulai bekerja. Satu-persatu tugas yang semestinya telah dia cicil sejak pagi akhirnya terselesaikan. Ternyata mencari tempat dan suasana baru saat bekerja cukup membantu produktivitasnya hari ini.

Tak terasa sudah satu setengah jam Luna bekerja di ruang istirahat. Perempuan itu menutup laptopnya sebelum meregangkan tubuhnya yang mulai terasa kaku setelah diajak berkonsentrasi untuk waktu yang cukup lama. Dia tersentak ketika samar-samar mendengar suara tawa. Dengan cepat perempuan itu menoleh dan menemukan seorang pria berkacamata tengah tersenyum geli. Sontak mata Luna melebar. Perempuan itu menyambar bantal di dekatnya dan dengan cepat menutupi wajahnya. Suara tawa terdengar kembali, membuat Luna malu-malu mengintip dari balik bantal.

"Ya ampun, kamu lucu sekali, ya!" ucap pria itu, masih terkekeh. "Kamu serius sekali. Saya masuk ke dalam aja kamu nggak tahu."

Luna melepas earbud yang menyumpal telinganya sembari meringis. Pria berkacamata itu mengangguk paham. Berkonsentrasi sembari mendengarkan lagu melalu earbud ternyata bukan pilihan baik untuk Luna. Dia tidak akan melakukan ini kembali!

"Kamu dari divisi apa?" tanya pria itu, tampak masih tertarik untuk bercakap-cakap dengan Luna.

"Divisi IT. Mas sendiri, dari divisi apa? Kok aku kayaknya nggak belum pernah ketemu?"

"Ah, mereka ternyata sudah mulai bersedia memperkerjakan anggota perempuan," gumam pria itu dengan mata berkilat geli. "Saya sendiri ... pekerja lepas?"

"Hah?" Luna mengerjap bingung. Orang ini ngomong apa sih? Gaya banget ngomong pakai bahasa susah-susah gitu! Luna berpikir sejenak sebelum akhirnya menggumam, "freelance?" Pria itu kembali tersenyum geli sebelum menganggukkan kepala. Mendapat jawaban seperti itu, mata Luna pun berkilat penasaran. "Memang di sini divisi mana aja yang ada freelance-nya, Mas?"

Mendengar pertanyaan polos itu, sontak si pria berkacamata terbahak. "Saya nggak ngantor di sini. Saya penulis yang punya kontrak dengan penerbit ini."

Luna merasakan wajahnya memerah karena malu. Sudah satu minggu dia di sini, bisa-bisanya dia tidak tahu hal seperti ini. "Maaf Mas, saya nggak tahu."

"Nggak pa-pa." Pria itu mengulurkan tangan, mengajak Luna bersalaman. "Saya Adam."

"Saya Luna," ucap Luna sembari menjabat tangan Adam. Perempuan itu mengerjap ketika menyadari Adam terus melihat lurus ke arahnya. "Ada apa ... Mas?"

"Kamu suka bukunya?"

Luna mengerjap, bingung dengan ucapan Adam. "Buku yang mana ya, Mas?"

"Kalau nggak salah, saya beberapa hari yang lalu lihat kamu di cafe bawah," ujar Adam sebelum menyebutkan nama buku yang Luna kenali.

Ya, itu adalah buku yang diambilnya saat di cafebook beberapa hari yang lalu. Sontak Luna memandang pria di hadapannya penuh selidik, mencoba mencari tahu siapa pria itu.

"Hei, hei! Saya nggak ngapa-ngapain! Saya tahu buku itu, makanya bisa nanyain ke kamu."

"Nggak ada orang yang merhatiin orang asing sampai segitunya!" balas Luna tidak mau kalah.

"Saya bukan memperhatikan kamu. Saya cuma memperhatikan buku saya!"

"Ha?" Luna menatap pria itu, benar-benar merasa bingung. Tunggu ... jangan bilang ... "Mas itu Adam ... C?"

Mata Luna sontak melebar ketika pria di hadapannya mengangguk sembari terus tersenyum geli. Luna terdiam, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Benarkah ini? Dia bertatap muka langsung dengan penulis favoritnya?

***

Nathan mengintip ruang istirahat sejenak sebelum berbalik, melangkah menuju tangga. Di belakangnya, Rio bersama beberapa anggota divisi lainnya memandang bingung. Mereka sibuk berbisik, membicarakan Nathan yang naik ke atas—berbeda dengan rencana mereka sebenarnya.

"Katanya mau nonton film, Nath?" seru Rio, tidak bisa menahan rasa herannya.

"Masih dipakai ruangannya. Nyebat dulu aja, sorean nontonnya."

"Mentang-mentang besok libur ya, lo puas-puasin nge-gabut di kantor!"

Tanpa seorang pun sadari, Rio yang berjalan paling akhir berbelok untuk mengintip ruang istirahat. Sebelah alisnya terangkat saat dia menyadari apa yang terjadi.

***

"Jadi kamu sebenarnya baru kenal sama dunia IT di sini?" tanya Adam setelah mendengar cerita Luna dengan antusias.

"Nggak juga. Tapi waktu di bootcamp kan tahunya masih yang dasar aja."

Entah bagaimana, pikiran negatif Luna tentang pria di depannya perlahan memudar. Apakah efek pria itu merupakan penulis favoritnya, atau karena pembawaannya yang tenang? Yang jelas, Luna kini telah hanyut dalam percakapan bersama Adam. Dari pria itu juga Luna mengetahui lebih dalam mengenai profesi ghost writer. Profesi itu dijalani Adam di luar waktu menulis karyanya sendiri.

"Berarti sebenarnya jadi penulis di Indonesia itu belum bisa ngasih penghasilan yang stabil, ya? Syukurlah masih bisa kerja jadi ghost writer gitu."

"Makanya, dalam mencari pekerjaan, selain harus melihat passion, kita juga perlu mempertimbangkan lapangan kerja yang ada. Sebenarnya nggak mungkin juga kalau cuma lihat satu arah, kan," ucap Adam sembari merogoh salah satu buku di kardus dan menandatanganinya. "Passion tanpa lapangan pekerjaan nggak akan memberi kita uang, lapangan pekerjaan tanpa ada passion sama sekali tidak akan bertahan lama."

Luna mengangguk mendengar penjelasan pria itu. Tangannya menerima buku yang Adam ulurkan kepadanya. Pria itu masih tersenyum misterius ke arah Luna.

"Jadi, apa kamu memiliki alasan untuk bertahan di sini?"

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang