BAB VII

128 15 5
                                    

Hai hai... Aku kembali

Di daerah kalian sudah rutin hujan?

Jangan lupa jaga kesehatan, ya!

Selamat membaca

***

"Asu!"

Luna menoleh dan menemukan Nathan tengah melempar asal ponselnya ke meja. Satu tangannya mengacak rambut, sementara wajahnya tampak frustasi. Dia menatap semua anak buahnya sebelum menoleh, menatap tajam ke arah Luna dan Andra. Entah apa yang pria itu alami saat rapat tadi, karena Luna hanya mengetahui bahwa semua manager dan team leader tengah membicarakan progres bulanan.

"Guys, gue mohon perhatiannya sebentar," ucap Rama di tengah anak buahnya. "Proyek tim mobile yang rencana masuk bulan depan mendadak dimajuin. Kita bakal start minggu ini. Dari tim mobile yang luang ada berapa orang?"

Nathan melotot mendengar pertanyaan Rama. "Gila lo Ram! Lo tahu task di tim gue sudah numpuk-numpuk. Belum persiapan versi baru aplikasi buat reseller sama dropshipper. Nggak nutut lah!" Dengan kesal pria itu menarik kursinya sebelum membanting tubuhnya ke sana.

"Luna, Andra, kalian belum dapet banyak task, kan?"

Luna menggaruk kepalanya bingung. Dia memahami maksud pertanyaan Rama adalah untuk memintanya bergabung dengan tim mobile. Masalahnya, satu-satunya pengalaman Luna dalam pemrograman aplikasi ponsel terbatas pada PWA. Tentu Luna khawatir akan lebih banyak menjadi beban dibanding membantu dalam tim. Belum lagi di tim itu ada Nathan—sosok yang masih cukup ditakuti Luna—serta Dion—orang yang dengan senang hati menertawakan kegagalan Luna. Tentu Luna tidak berani mengambil resiko untuk menjawab pertanyaan Rama.

"Andra masih lumayan banyak sih, kerjaannya," ucap Rio, tampak serius mengoperasikan komputernya. "Lagi OTW riset juga. Jelas nggak mungkin dia dipindah sekarang."

Nathan menggeram frustasi mendengar jawaban Rio. Dengan kasar dia kembali bangkit dan menghampiri pria berkacamata itu. "Butuhnya, sekarang ..."

"Luna nganggur sih."

"Ha?" Luna mengerjap bingung mendengar jawaban Rio. Menganggur? Dia masih punya deretan tugas yang sedang dikerjakan tetapi malah dibilang menganggur?

"At least Luna nggak lagi riset. Jadi dia bisa nyelesaikan task-nya yang kecil-kecil. Nanti sisanya gue sama Andra yang handle." Rio menyandarkan tubuh ke kursi sebelum menatap Nathan dengan sebelah alis terangkat, "Gimana?"

"Lo pernah pegang apa aja di mobile?" tanya Nathan. Tatapannya menusuk, membuat Luna merasakan gentar dalam hatinya.

"Aku cuma pernah ngerjakan backend sama PWA aja, Mas." Jemari Luna saling bertaut, bergerak-gerak gugup. Diam-diam perempuan itu menilai bagaimana reaksi Nathan mendengar jawabannya. Tidak ada. Pria itu tampak datar, seolah telah siap dengan jawaban Luna.

"Gue kasih satu hari untuk ngelarin kerjaan lo di sana. Besok lo pindah ke meja sini." Nathan beranjak ke kursinya sebelum kembali menatap Luna tajam. "Ngerti?"

"Nge-ngerti, Mas," gagap Luna.

"Lo jangan coba-coba bertingkah kalau nggak mau gue kasih reviu negatif buat masa probation. Gue nggak suka karyawan yang lemot." Puas dengan anggukan cepat Luna, Nathan pun menarik kursi dan kembali fokus dengan komputernya.

***

Luna menghela napas untuk kesekian kalinya dalam lima menit terakhir. Perempuan itu benar-benar tidak bisa memahami semua yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota tim mobile? Bagaimana kalau nanti kinerjanya tidak sebaik yang diharapkan? Apa itu akan menjadi akhir karirnya di perusahaan ini?

"Luna kenapa?" tanya Andra, membuat si pemilik nama menoleh dengan wajah lesu. Senyum Andra yang biasanya cukup untuk menghibur Luna, kini terasa hambar.

"Mas Andra kalau mendadak dipindah gini bakal gimana?" tanya Luna, masih merasa lemas.

"Ya nggak gimana-gimana, Lun," jawab Andra sembari tersenyum geli. "Lagian ngapain ngerasa khawatir sih, Lun? Ada banyak temennya, kan."

"Ye, Mas Andra sih enak, udah pinter ngoding dari kecil," balas Luna sewot. Perempuan itu menumpukan kepala di atas meja. "Aku tuh takut sama Mas Nathan lho, sebenarnya."

Andra tersenyum kecil. Dengan tenang pria itu mendengarkan semua keluh kesah perempuan di sampingnya itu. Sesekali dia tertawa ketika Luna menampilkan ekspresi-ekspresi aneh dalam bercerita.

"Kalau kataku sih Lun, jalani aja dulu."

"Ih, Mas!" balas Luna emosi, "Mas Andra enak bisa bilang gitu. Mas kan sudah pintar. Lha aku, masih gini-gini aja."

"Ya kayak yang kamu bilang, Lun. Aku sudah pintar. Berarti aku pernah belum pintar, kan? Semua orang mulai dari belum pintar, belum tahu, dan belum bisa. Kalau kamu takut berproses, ya nggak bakal berubah jadi bisa, apalagi pintar, dong."

Luna terdiam, mau tidak mau mengiyakan ucapan Andra. Perempuan itu masih menatap Andra ragu, sangsi dengan kemampuannya sendiri. Meski begitu, tekad yang semua hilang, perlahan mulai tumbuh kembali.

"Dicoba dulu ya, Lun?"

***

Rio menarik kasar bahu Rama, membuat pria berbalik cepat dan menumpahkan gula di sendoknya. "Lo apa-apaan sih, Ram!"

"Lo yang apa-apaan, gila!" balas Rama kesal. Pria itu mengambil sapu di sudut ruangan dan membersihkan gula yang tumpah. Dia tidak ingin mereka mendapat masalah dengan HR hanya karena hal absurd seperti ini. Setelah membersihkan kekacauan akibat tingkah mendadak Rio, pria itu kembali memberikan gula ke minumannya sebelum menatap Rio tenang. "Nggak usah sok serius, lo. Gue tahu lo mau ngamuk gara-gara Luna dipindah, kan?" tanya Rama dengan senyuman geli. Sesuatu yang mengundang pelototan kesal Rio.

"Lo gila, Ram. Perjanjiannya nggak gini, lho." Rio mengacak rambutnya kesal, bingung bagaimana harus mengutarakan kekesalannya.

"Lo kesal karena nggak bisa deket sama Luna lagi atau karena kuatir?" tanya Rama tanpa basa-basi. Matanya berkilat geli meskipun bertanya dengan nada serius. "Lo beneran mau ngelanggar perjanjian kita, Yo?"

"Lo lebih dari mampu buat minta tim marketing buat nunda aplikasi yang mereka mau itu, Ram. Kenapa nggak lo lakuin?"

Rama mengambil cangkirnya dan mengaduk dengan senyuman kecil. "Karena cepat atau lambat, kita harus jalanin perjanjian itu. Lo nggak mendadak amnesia kan, Yo?"

***

"Lo beneran mau ngelanggar perjanjian kita, Yo?"

Jantung Luna terasa berhenti memompa mendengar percakapan di balik pintu dapur. Tangannya terkepal erat mengetahui lagi-lagi dirinya dibicarakan di belakang. Lalu apa itu tadi? Perjanjian? Tanpa diberitahu pun Luna mengetahui siapa orang di balik pintu ini.

Luna menghela napas perlahan, meredakan gelombang emosi dalam dirinya. Perempuan itu berbalik perlahan. Dia tersentak ketika menyadari Nathan telah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam khasnya.

"Lo habis ngapain? Nyuri kopi?"

Luna tergagap, panik karena khawatir Nathan telah berpikir yang salah. "Nggak kok, Mas. Aku nggak ngapa-ngapain." Perempuan itu mengangguk—isyarat berpamitan—sebelum melangkah dengan kepala tertunduk.

"Jangan kebiasaan nguping."

Luna tersentak dan menatap Nathan penuh tanya.

"Gue tahu siapa yang di dalam. Nggak semua persepsi lo itu benar."

Luna tersenyum getir. Kedua tangannya terkepal, menahan kesal dalam dirinya. Kalau percakapannya seperti itu, siapa sih yang tidak berpikir seperti dirinya? Tanpa menjawab ucapan Nathan, Luna pun melanjutkan langkahnya.

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang