BAB XI

110 12 3
                                    

Halo semua, Coleen kembali lagi.

Awalnya aku sempet ragu bisa update rutin beberapa saat ini, karena memang ada beberapa hal lain yang lagi dikerjakan. Semoga aku tetep bisa konsisten nulis di sini.

Selamat membaca, teman-teman. Semoga suka. Jangan lupa vote dan comment, ya!

***

Luna melihat sekelilingnya untuk kesekian kalinya. Sesekali dia menghela napas, kesal karena yang dicari belum tiba. Pekerjaannya sebelum libur kemarin—bahkan dua tugas lain yang untuk hari ini—sudah dia selesaikan, tetapi Nathan belum tampak batang hidungnya. Sebentar lagi jam istirahat siang dimulai, namun Luna masih kesulitan dengan sisa pekerjaannya. Masalahnya satu-satunya orang yang bisa dia tanyai kini menghilang!

"Ya gitu kalau kerja nggak punya kemampuan. Kalau yang biasa bantuin ngilang, jadi bingung. Malu-maluin."

Luna menoleh dan menemukan Dion tengah mengunyah permen karet—bersikap seolah tidak baru melakukan apa-apa. Luna memutar bola matanya kesal, namun enggan menjawab. Mau bagaimana, dia memang sering mengandalkan Nathan dalam menyelesaikan pekerjaannya, berbeda dengan pria di sampingnya itu.

"Luna lagi nungguin Mas Nathan?" tanya Gian dari belakangnya. Luna menoleh dan mengangguk sembari mengerucutkan bibirnya. "Kayaknya Mas Nathan, Bang Rama, sama Bang Rio masih rapat, deh. Dari pagi masih belum ada tasnya, tuh."

Luna melirik kursi yang biasa ditempati Rio dan menemukan tempat duduk pria itu masih tampak tidak tersentuh. Bahunya semakin melemas. Kalau begini, dia terpaksa bekerja lebih keras nanti siang. Setelah mengucap terima kasih, Luna kembali berbalik, menghadap laptopnya sendiri.

Perempuan itu perlahan mengetik kode sesuai persepsinya. Namun gerakan tangannya terhenti oleh rasa ragu yang muncul. Dengan cepat dia kembali menghapus kode-kode itu, menyisakan editor yang kosong. Dia terus melakukan itu, tanpa menyadari suara jarinya menekan papan ketik yang cukup keras hingga membuat beberapa orang menoleh heran.

Dion berdecak keras sebelum bangkit dan memutar kursi Luna, memaksa perempuan itu menghadap dirinya. "Makanya kamu itu belajar biar nggak nyusahin, lah! Belajar mahami isi kerjaanmu itu apa. Jangan sedikit-sedikit nanya! Kamu bingung apa, hah? Kayaknya nanya semua orang di sini juga bisa."

Luna tergagap mendengar bentakan tiba-tiba Dion. Dengan tangan bergetar dia menunjuk layar komputer yang masih menampilkan editor kosong. "I-itu ..."

"Itu a ..."

"Balik ke tempat lo, Yon."

Untuk pertama kalinya Luna bersyukur mendengar suara dingin itu. Dengan jantung yang masih berdetak cepat, perempuan itu memutar tubuh kembali menghadap komputer. Disembunyikan kedua tangannya yang masih bergetar hebat. Dia hanya tertunduk ketika mendengar Nathan menempati kursinya.

"Cengeng!"

***

Semua anggota divisi IT kini menghadap Rama yang tengah menyampaikan hasil rapatnya. Pria berbadan kekar itu menjelaskan permintaan-permintaan mendesak untuk masing-masing proyek serta memastikaan kesediaan anggotanya. Rio dan Nathan sesekali menimpali untuk melengkapi informasi yang disampaikan.

"Nah, terakhir, untuk proyek yg dipegang Luna sama Nathan. Gimana progres kalian sekarang?"

Luna melirik Nathan, sementara pria berwajah sinis itu menjelaskan, "Kalau untuk persiapan sudah oke sih, tapi nggak on track. Nggak yakin bisa ngikuti permintaan demo MVP minggu depan."

Luna mengeratkan jemarinya. Dia ingin menyanggah kalimat Nathan, namun sadar bahwa ucapan pria itu tidak sepenuhnya salah. Kecepatan kerjanya sangat jauh dibanding teman-temannya. Tentu akan berat bagi Nathan untuk menanggung sebagian besar beban pengerjaan proyek ini.

"Kalau memang dia nggak kompeten, ya buang aja lah, Nath. Repot amat."

Luna memejamkan mata dengan kepala tertunduk. Kata-kata provokasi yang terus Dion lontarkan kepada teman-temannya seolah menguliti Luna, membuatnya semakin takut untuk bersikap. Sayangnya, diamnya Luna seolah menjadi lampu hijau bagi pria itu dengan semakin gencar melancarkan kata-kata tajamnya.

"Jadi lo ngerasa sudah selevel Rama? Atau minimal bisa submit task ke gue tanpa revisi sama sekali?" Semua anggota divisi terdiam mendengar suara pertanyaan yang dilontarkan Nathan tepat setelah Dion menyelesaikan provokasinya. Suara pria itu terasa begitu tenang, tetapi tidak lantas membuat lawan bicaranya setenang dirinya.

"Setidaknya aku ..."

"Kalau lo mau songong, minimal naikin level dulu. Lo lupa awal masuk lebih parah daripada Luna?" Tidak ada seorang pun yang berani menjawab pertanyaan Nathan. Tidak pula orang yang diajak bicara. Semua orang memilih untuk tidak ikut campur dalam pertikaian itu. Melihat tidak ada seorang pun yang berniat bicara, Nathan mengalihkan pandangan ke Luna yang masih setia tertunduk dan berkata "Apa lo kira dengan diam semua orang bakal bersedia ngelindungi? Belajar ngomong lo!"

***

"Lo bisa ngerjain tujuh task sehari?"

Luna menoleh dan menemukan Nathan tengah mengecek daftar pekerjaan untuk proyek miliknya dan Luna. Tatapannya tidak lepas dari monitor, tetapi Luna tahu pertanyaan itu ditujukan kepadanya.

"Bisa sih Mas, kayaknya," jawab Luna ragu-ragu.

"Bisa apa? Bisa tipes?"

Luna mengerutkan dahi kesal namun enggan menjawab. Nathan yang menyadari diamnya Luna hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap komputernya. Mulutnya sibuk bergumam, memastikan tidak ada pekerjaan yang terlewat dari daftar.

"Kerjaanku masih sejelek itu ya, Mas? Kok rasanya kayak salah banget aku ada di sini," keluh Luna dengan nada rendah. Perempuan itu menyandarkan tubuh ke kursi dengan kepala tertunduk.

"Lo baru sadar?" Nathan memutar kursi dan memandang perempuan itu tajam. Di balik kata-kata tajam dan sikap tak acuhnya, Nathan memahami bahwa kondisi Luna sungguh berat. Tidak mudah menjadi perempuan pertama—dan satu-satunya—di divisi itu. Ditambah ketidakmampuan perempuan itu untuk membela diri saat diserang rekan-rekan satu divisinya, tentu membuat mereka semakin semangat menjatuhkannya. "Terlambat lo sadar sekarang. Kalau sudah nyemplung, sekalian aja renang. Lo keluar lagi cuma bikin tambah kotor."

Luna mengerjap, berusaha mencerna ucapan Nathan, sementara pria itu kembali menatap komputernya. Perlahan senyuman muncul di bibirnya ketika memahami maksud pria itu. Dia tengah berusaha menyemangati Luna yang terlanjur 'kecemplung' di tempat ini. Dengan wajah berseri, perempuan itu menepuk pundak Nathan. "Enam ya, Mas?"

"Delapan."

HeartcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang