1. Paman B*adab

2.7K 151 4
                                    

Part 1 Paman B*adab

Kepalanya terasa pening oleh pengaruh alkohol yang dicekokkan ke dalam mulutnya satu jam yang lalu. Meski begitu, Selena berusaha menggapai kesadarannya ketika tubuhnya direbahkan di tengah ranjang. mendorong tubuh pria yang berusaha menindihnya dengan napas yang semakin menggebu.

Kedua telapak tangan pria itu mulai bergerak melepaskan tali spaghetti di pundak,mengendus kulit telanjangnya dengan rakus. Dengan membisikkan kata-kata yang menjijikkan. Napas pria itu yang berhembus di sekitar rahang Selena, membuat gadis itu mual dan hendak muntah.

Tubuh Selena memberontak, dengan seluruh tenaga dan kesadaran yang masih dimilikinya. Ia diuntungkan dengan kondisi pria itu yang juga setengah mabuk, memudahkannya untuk menyingkirkan tubuh besar itu dari atas tubuhnya hingga berguling ke tepi ranjang. Nyaris terjungkal ke lantai jika salah satu kaki si pria tidak berpijak tepat pada waktunya.

“Mau ke mana, Manis?” Tangan pria itu berusaha meraih Selena yang sudah bergerak turun dari ranjang. Hampir berhasil, karena Selena bergerak lebih cepat. Berlari menuju pintu yang dikunci rapat. Tangan Selena menggedor-gedor pintu. Meneriakkan kata tolong yang tak mungkin didengar dari balik ruangan kedap suara tersebut.

“Aarrgghhh …” pekik Selena ketika rambutnya dijambak dari belakang. Tubuhnya melengkung, nyaris mematahkan tulung punggungnya karena saking kuatnya jambakan tersebut.

“Kau berani menolakku?”desis pria itu. “Apa kau tahu berapa banyak uang yang sudah kubayarkan pada Rooney untuk gadis manis sepertimu? Aku membayarnya bukan untuk mendapatkan kerepotan semacam ini.”

Tubuh Selena diseret beberapa langkah dan dibanting ke lantai. Tepat di samping meja, Selena meringis kesakitan karena lututnya yang mendarat keras di lantai.Langkah pria yang semakin mendekat di belakang segera mengalihkan perhatiannya. Pada sesuatu yang ada di atas meja. Terselip di antara buah-buahan di keranjang kecil tersebut.

“Argghh …” pekik Selena ketika bagian belakang kepalanya berhasil ditangkap oleh pria itu dengan cengkeraman yang kuat.

“Sekarang aku ingin mendengarmu mengerang untukku,” bisik pria itu tepat di depan telinga Selena. Menggigit daun telinga Selena.

Tangan Selena berusaha meraih apa pun yang ada di meja secepat tangannya bisa ketika perhatian pria itu teralih. Dengan tubuh yang merangkak di lantai dan rambut yang dijambak ke belakang. Benda panjang dan pendek berhasil jatuh dari tempat buah, tergenggam kuat di telapak tangannya. Tubuhnya disentak ke belakang, lengan kekar pria itu melingkari pinggangnya yang ramping. Membawanya kembali ke arah ranjang dan membantingnya dengan keras. Saat tubuh pria itu menindihnya, Selena mengacungkan ujung benda tajam itu ke tubuh besar pria itu.

Napas Selena tertahan dengan keras, ketika seluruh berat badan pria itu menindih tubuh mungilnya.Tak bergerak dan tak bersuara lagi.Tangannya yang masih menggenggam pisau buah itu mulai dibasahi oleh cairan hangat. Yang tak berani ia bayangkan.

Dengan isak tertahannya, Selena menyingkirkan tubuh pria itu dari atasnya. Membekap mulutnya dengan tangan yang dilumuri darah melihat banyaknya warna merah yang memenuhi ranjang dan perut pria itu.

‘Ia telah membunuhnya.’

‘Sekarang ia telah menjadi seorang pembunuh,’ ratapnya dengan isakan yang semakin menjadi. Sebelum kemudian kegelapan menyelimuti seluruh pandangannya dan tubuhnya jatuh terlunglai ke lantai.

*** 

Saat perlahan kesadaran mulai membangunkan Selena, rasa pening menusuk di tengah kepalanya. Erangan lolos dari celah bibirnya yang kering dan tenggorokannya yang dicekik rasa haus.Ia berusaha  bangun terduduk dari lantai yang dingin, mengenali tempatnya berada adalah kamar tidurnya yang hancur berantakan. Dengan berbagai barang dan pakaian, juga pecahan kaca berserakan di mana-mana.

“Kau sudah bangun?” Suara familiar itu menyambut kesadarannya yang belum sepenuhnya kembali.

“P-paman … arrgghhh.” Dan kesadaran Selena kembali sepenuhnya ketika rambutnya dijambak dengan keras, menyusul tamparan dan tendangan yang membuat gadis mungil itu tersungkur kesakitan di lantai.

“Kau sadar berapa banyak kerugian yang harus kutanggung karena kebodohanmu, hah?” Rooney kembali mengangkat kepala sang keponakan dengan cengkeraman di kepala. Tak memedulikan rintih kesakitan yang keluar tanpa daya dari celah bibir Selena. “Kau membuat pelanggan pertamamu masuk ke rumah sakit? Dan apa kau tahu berapa biaya yang harus kukeluarkan untuk mengganti rugi ketololanmu, hah?”

Hanya rintihan lemah yang terdengar. Kedua tangan gadis itu memegang perutnya yang terasa sakit karena tendangan kuat sang paman. Ditambah rasa pusing dan kulit kepala yang seperti dikelupas karena cengkeraman kuat pria paruh baya tersebut.

Berbagai macam umpatan diluapkan sang paman kepadanya ketika kepalanya disentakkan ke samping. Pelipis yang membentur pinggiran ranjang menyempurnakan semua siksaan yang didera oleh tubuh tak berdaya Selena.

Tubuh gadis itu kembali tersungkur di lantai, meringkuk seperti bola. Semua tak berhenti sampai di situ. Ketika satu tendangan kembali menghantam punggung. Dua, tiga, dan Selena tak bisa menghitungnya lagi karena kesadarannya yang kembali terangkat. Meredam semua rasa sakit di seluruh tubuhnya.

*** 

Suara hujan dari balik jendela yang gordennya tak ditutup, perlahan mata bergerak perlahan dengan erang kesakitannya yang teredam suara hujan dari luar. Seluruh tubuhnya terasa remuk redam. Dengan tulang-tulang punggung yang rasanya patah semua. Atau memang patah. Bahkan setelah pingsan, Selena yakin pamannya pasti tak berhenti menendangnya hingga merasa puas dengan amarah yang diluapkan padanya.

Menahan semua rasa sakit tersebut, Selena berusaha bangun terduduk. Menggigit bibir bagian dalamnya demi menyamarkan jeritan yang hendak lolos setiap kali ia menggerakkan tubuhnya. 

Ia berhasil berdiri, satu lengan memeluk perut dan tangannya yang lain menjadi penopang tubuh. Pintu kamarnya dikunci dari luar melihat kunci yang tidak menggantung di lubangnya. Tetapi … pamannya tak tahu kalau kali ini tekad Selena untuk kabur dari paman b*adabnya sudah bulat. Naik ke tempat tidur yang kasurnya sudah miring ke lantai. Ia membuka jendela kamar, membiarkan hempasan air hujan dan udara dingin menerpa wajahnya. Lalu memanjat naik dan jatuh di tanah berlumpur karena terpeleset.

Berusaha bangkit, dengan langkah tertatih dan tubuh menggigil, semua itu tak menghentikannya untuk menerobos hujan yang semakin deras. Semakin menjauh dari rumah kumuh yang sudah belasan tahun ia tempati. Menuju satu-satunya tempat yang ada di kepalanya.

Satu jam kemudian, dengan tanpa alas kaki dan lingerie yang sudah basah dan dikotori air lumpur. Selena berdiri di depan pintu gerbang tinggi berwarna abu tua tersebut. Tangan yang bergetar hebat bergerak menyentuh bel di dinding batu bata. Menunggu jawaban dari seberang.

“Selena.” Selena menyebutkan namanya dengan bibir yang gemetar. “Beritahu namaku pada Lucca.”

***

Seperti biasa. Ceritanya on going dan update daily di Karyakarsa, ya. Dengan judul yang sama.

Mafia Boss's BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang