2. Lucca Enrico

1.1K 119 4
                                    

Part 2 Lucca Enrico

Hujan yang deras dan malam yang gelap, menjadi pemandangan di tengah sesapan kopi pahitnya yang masih mengepulkan asap. Kedua kakinya saling bersilang, punggung bersandar dengan posisi yang nyaman.

Tak banyak yang ia pikirkan. Semua selalu berjalan seperti yang diinginkan dan harapkan. Selalu.

Kepuasan tersirat di kedua manik biru dan senyum yang tersungging datar di ujung bibir. Siap menghadapi hari baru untuk esok. 

Cairan hitam pekat dicangkirnya sudah tandas. Ketika seorang pelayan berjalan dengan langkah yang pelan, berhenti beberapa meter dari kursi santai yang didudukinya.

“Tuan, ada tamu.”

Kepala pria itu bergerak ke samping, menatap si pelayan dengan kerutan tersamar di antara alisnya. Pergelangan tangannya terangkat, sekilas melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan jam setengah satu pagi. Tamu? Sepagi ini?

“Selena.”

Pupil mata pria itu melebar meski tak terlalu terkejut dengan kedatangan gadis itu. Ia sudah menduga, cepat atau lambat gadis muda itu akan mendatanginya. Pun tak mengira akan secepat ini.

*** 

Gadis muda dengan tubuh mungil yang bergetar hebat itu berdiri menaiki undakan teras rumahnya. Berjalan dengan tanpa alas kaki dan lingerie yang compang camping, basah, dan kotor oleh lumpur. Nyaris menampilkan ketelanjangan, yang dihiasi lebam di beberapa bagian tubuh. Paha, pinggang, lengan atas dan pergelangan tangan. Wajah yang dibingkai rambut hitam dan basah, juga tak luput dari  lecet. Mulai di ujung bibir, pipi yang tampak memedah oleh tamparan keras, samping mata dan bahkan bekas cekikan di leher.

“Lucca?” Bibir Selena bergetar hebat. Meski bibirnya yang perih terasa kebas oleh rasa dingin yang begitu menusuk, tetap saja ia masih bisa merasakan semua rasa sakit tersebut di tengah keputus asaannya. Hanya Lucca Enrico, satu-satunya uluran tangan yang akan membebaskannya dirinya dari semua penderitaan ini. Dari paman b*adabnya.

“Aku akan melakukannya,” lanjutnya. Wajahnya yang basah oleh air hujan, tak bercampur dengan air matanya. Ia sudah berjanji, tak akan meneteskan air matanya. Untuk nasib buruk dan kesialannya. Juga untuk keb*adaban pamannya. “Seperti yang kau katakan.”

Lucca mengangguk singkat. Wajahnya terlihat datar dan terkendali dengan baik ketika memberikan satu isyarat pada pelayan untuk mengambil sesuatu. Lalu berjalan mendekati Selena. “Kau tahu tak ada jalan mundur saat kau memutuskan datang ke tempat ini, kan?”

Selena memberikan satu anggukan. Apa pun itu resiko yang mengikuti langkahnya begitu ia memasuki gerbang kediaman seorang Lucca Enrico, ia sudah membulatkan tekad untuk mundur. Dan hanya kematianlah pilihan lain tersebut.

Langkah pelayan yang kembali datang mendekati Lucca. Memberikan handuk kering kepada sang tuan dengan wajah tertunduk. Lucca mengambil handuk tersebut dan maju satu langkah lagi untuk menyelimutkan kain itu di tubuh Selena. “Panggil dokter Julian,” perintahnya lagi pada pelayan, lalu membawa tubuh Selena masuk ke dalam rumah.

*** 

Tubuh Selena sedikit terasa lebih baik setelah membersihkan diri dengan air hangat. Menyelimuti ketelanjangannya dengan jubah mandi dan membungkus rambutnya yang basah dengan handuk. Kemudian melangkah keluar dari kamar mandi.

Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang lebih luas dari kamar mandi. Yang tentu saja tak bisa dibandingkan dengan kamar tidurnya, -yang luasnya bahkan tak lebih dari seperempat kamar mandi di belakangnya-.

Sepotong gaun berpotongan sederhana dan berwarna polos digeletakkan di tepi ranjang. Tanpa pakaian dalam dan ia memang tak berharap lebih. Setidaknya sepotong kain itu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan telanjang.

Selena mengenakannya, selesai menarik resleting di punggung ketika Lucca melangkah masuk tanpa mengetuk pintu. Dan Selena tak bisa memprotes kelancangan pria itu karena ruangan ini memang milik pria itu.

“Kau sudah selesai?” Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arah Selena yang berdiri di samping ranjang dan memberikan sebuah anggukan.

Lucca pun menoleh keluar, setelah memastikan tubuh Selena tertutup dengan rapi meski ia bisa melihat bayang-bayang tubuh gadis itu di balik kain yang tipis. Ada kepuasan dengan kemolekan yang dihidangkan di hadapannya. Yang akan segera ia miliki dengan seluruh penyerahan diri gadis itu. Untuk bayaran yang masih tertunggak.

Setelah satu anggukan singkat, Lucca melangkah masuk lebih dulu, menarik lengan Selena untuk naik ke tempat tidur. Diikuti pria muda dengan kemeja putih yang membawa sebuah tas hitam di tangan kanan. Dokter muda yang akan memeriksa Selena.

Setelah memeriksa dan mengoleskan salep serta memasang plester di bagian luka-luka tertentu yang cukup berat, juga meresepkan obat pereda nyeri. Dokter Julian menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan di rumah sakit. Akan kemungkinan kerusakan di bagian dalam tubuh yang tidak terlihat secara langsung.

“Aku tak ingin ke rumah sakit,” gumam Selena lirih setelah dokter Julian berpamit pulang. Teringat pria yang nyaris dibunuhnya pasti masih ada di sana. Dan berada dengan pria hidung belang di satu gedung yang sama, tentu saja menciptakan ketakutan yang cukup serius pada dirinya.

Lucca terdiam, menatap sejenak kepucatan di wajah Selena sebelum memberikan satu anggukan singkat. Kemudian mengangkat nampan berisi sup hangat dan secangkir teh dari atas nakas dan meletakkannya di pangkuan gadis itu. “Habiskan. Setelah minum obatmu dan istirahatlah. Aku tak akan menganggumu. Kita bicara besok pagi.”

Selena mengangguk pelan. Menatap Lucca yang beranjak dari tepi ranjang dan menuju pintu keluar.

Helaan napas panjang lepas dari celah bibirnya. Sekarang ia sudah aman. Berada di tempat yang aman. Yang tak akan ditemukan oleh pamannua. Hanya itu satu-satunya pemikiran yang berhasil menenangkannya. Membuatnya mengambil satu suapan sup, yang perlahan menghangatkan tubuhnya dan memberinya kenyamanan saat beristirahat.

*** 

“Kirim bayarannya. Dia melakukan tugasnya dengan sangat baik dan memuaskanku,” jawab Lucca dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Ujung bibirnya menyeringai, mendengarkan kepatuhan dari seberang.

“Tidak ada. Apa yang kuinginkan sudah berada dalam genggamanku. Kau urus Rooney, sisanya aku yang akan mengurusnya,” pungkasnya kemudian. Tubuhnya berputar ke samping, dan sepersekian detik terpaku menemukan Selena yang sudah berdiri di ambang pintu kamar tamu yang setengah terbuka. Pandangan keduanya bertemu, membeku di tengah keheningan yang tercipta.

“Rooney?” Selena yang pertama kali bersuara di tengah keterkejutan tersebut. Berjalan mendekati Lucca. “Apa yang terjadi dengan pamanku?”

Lucca mengerjap sekali, berhasil menguasai ekspresi wajahnya dengan melengkungkan seulas senyum dan mengangkat tangan ke wajah Selena. Merangkum wajah gadis itu yang sudah terlihat lebih segar dibandingkan tadi malam. “Rooney yang lain. Dan urusan yang lain yang tidak ada hubungannya denganmu.”

Selena bernapas dengan lega. Ya, memangnya nama Rooney hanyalah pamannya yang berengsek itu. “Maaf, aku salah paham.”

Lucca kembali memberikan seulas senyum. Kemudian membawa tubuh mungil Selena ke dalam pelukannya. Dan senyum tersebut berubah menjadi seringai, dengan kilat kelicikan yang melintasi kedua mata gelapnya saat berkata, “Sekarang saatnya kita bicara.”



Mafia Boss's BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang