Part 18 Teka Teki Yang Semakin Rumit
“A-aku … ponselku tertinggal di hotel tempat kau dan Pamela merayakan ulang tahunmu.”
“Aku memang sudah membuangnya.” Jawab Lucca dengan santainya.
Mata Selena melebar. “K-kenapa?”
“Tak ada barang apa pun yang berguna di dalam tasmu. Dan aku tidak suka kau membawa sampah ke rumah ini.”
“Bukankah di matamu aku juga tak lebih dari sebuah sampah tak berguna?”
“Belum.” Lucca tersenyum. “Sekarang, tubuhmu masih berguna.”
Kekesalan seketika memekati kedua mata Selena. Genggamannya pada garpu di tangannya mengetat. Menahan diri untuk tidak melemparkan besi tersebut ke wajah Lucca demi melampiaskan emosinya.
Tangan Lucca terulur. Merangkum isi wajah Selena dan meyapukan ibu jarinya di sepanjang bibir bagian bawah gadis muda tersebut. “Lagipula, untuk apa kau menggunakan benda itu? Untuk menghubungi pamanmu? Mengatakan bahwa kau sangat merindukannya?”
Lucca tertawa mengejek. Melepaskan pegangannya pada wajah Selena, kemudian menggunakan telunjuknya untuk mengetuk-ngetuk pelan pelipis gadis itu. “Hentikan kekonyolan dan kebodohanmu di kepalamu yang mungil ini, istriku. Apa pun itu, aku selalu sepuluh langkah lebih di depanmu. Jadi, jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan menunjukkan ketololanmu sejelas ini.”
Buku-buku jari Selena hingga memutih merasakan pegangannya yang semakin kuat. Dan sebelum tangannya melayang untuk menusukkan garpu tersebut ke wajah atau bagian manapun tubuh Lucca, pria itu dengan mudah membaca pergerakannya dan menahan tangannya tetap berada di atas meja.
“Tidak, istriku.” Kepala Lucca menggeleng dua kali. Seperti memperingatkan anak kecil dengan gemas. Kemudian dengan senyum yang lebih lebar, pria itu melepaskan pegangannya sambil beranjak dari duduknya. “Hari ini, kau tidak boleh keluar dari dalam kamar sampai aku pulang. Itu hukuman untuk niat buruk yang muncul di kepalamu.”
***
Selena sama sekali tak terpengaruh dengan hukuman tersebut. Toh dia memang lebih sering menghabiskan waktu di kamar ketimbang di mana pun ruangan dan fasilitas yang ada di rumah ini. Kolam renang, perpustakaan, halaman belakang, dan berbagai macam ruangan yang menawarkan kesenangan dan pemandangan yang memanjakan. Tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.
Selama lebih dari sebulan tinggal di rumah, ini, berbaring di ranjang adalah hobi yang sering ia geluti. Kehamilan yang terkadang membuat tubuhnya lebih lemah dan malas dari biasanya mendukung hobi barunya tersebut.
Selena sudah dibuat putus asa. Menyerah memikirkan cara untuk keluar dari rumah megah ini. Bertaruh dengan nasib dan keberuntungan yang mungkin akan sedikit iba padanya.
Dan satu lagi yang menguntungkannya, dengan tidak berkeliaran di rumah ini. Setidaknya ia tak perlu melihat Pamela bekerja di rumah ini. Beberapa kali ia melihat wanita itu benar-benar mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Yang tidak pernah wanita itu lakukan sebelumnya, sehingga tak jarang Pamela mendapatkan cecaran karena tak becus melakukan pekerjaan. Dan bohong jika Selena tak merasa bersalah pada wanita itu.
“Malam ini kita keluar,” pintah Lucca tiba-tiba pada suatu malam ketika pulang dari kantor lebih awal dari biasanya. Pria itu membungkuk di samping sofa, menarik dagu Selena dan mendaratkan satu lumatan di bibir. “Bersihkan dirimu. Sebentar lagi ada orang yang akan membantumu bersiap.”
Selena tak perlu mengangguk, apalagi mengeleng untuk memberikan jawaban. Titah pria itu hanya berjalan satu arah. Pandangannya mengikuti punggung Lucca yang menghilang di ruang ganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mafia Boss's Bed
RomanceSelena Eileen, dijual sang paman biadabnya pada pria hidung belang. Akhirnya berhasil melarikan diri, menemui Lucca Enrico. Menerima penawaran yang pernah diberikan padanya demi dilindungi dari sang paman. Namun, setelah ia menerima kesepakatan Lucc...