4. Masih Perawan

1.5K 114 3
                                    

Part 4 Masih Perawan

Selena menatap seluruh ruangan yang luas di hadapannya. Dengan dinding kaca yang menampilkan hamparan keindahan kota di siang hari. Ia berdiri tertegun dengan semua kemewahan yang menakjubkan tersebut. Tak hanya pemandangan tersebut, tetapi juga seluruh perabot yang melengkapi apartemen ini.

Gadis itu berdiri di tengah ruang tidur yang luas, ranjang yang empuk, lemari pakaian yang dipenuhi pakaian, tas, sepatu, dan berbagai macam perhiasan. Lalu dari balik sekat kaca yang ada di sisi kanannya, sebuah kamar mandi yang dilengkapi dengan bath up besar, wastafel dan toilet.

Semua ini adalah fasilitas yang diberikan oleh Lucca Enrico sebagai seorang suami. Lebih banyak dan besar dari yang Selena perkirakan akan ia dapatkan. Dan ini adalah sebuah apartemen mewah di kawasan elit, tetapi pria itu hanya mengatakan sebagai pembayaran awal baginya sebagai istri simpanan.

Selena mendaratkan pantatnya di ujung ranjang yang empuk. Menyadarkan diri dari ketakjubannya dan menghadapi firasat buruk yang kembali naik ke permukaan. Matanya terpejam dan satu helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Ia mendapatkan apartemen dengan harga yang di luar nalar ini hanya untuk tidak melakukan apa pun. Lucca bahkan bilang, ia bisa melakukan apa pun yang diinginkannya seperti kegiatan sehari-hari yang dilakukannya. Kecuali bekerja di klub malam –pekerjaan yang dipaksakan sang paman padanya- ia bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai pelayan di salah satu restoran mewah.

‘Karena asap rokok dan alkohol tidak baik untuk kesehatanmu?’

Meskipun ia tak mempertanyakan larangan tersebut, Lucca memberinya alasan yang konyol. Di klub malam itulah ia pertama kalinya bertemu dengan Lucca. Ketika sang paman menghajarnya karena menolak untuk menemani salah satu klien VIP yang dibawa sang paman ke klub.

Selena mengulang kalimat tersebut, tetapi tak bisa menemukan kecurigaan lainnya. Selain karena ia tidak menyukai pekerjaan yang bising terebut, Selena pikir alasan Lucca cukup masuk akal dan tak memikirkannya lebih serius.

“A-apa semua ini?” Selena membeliak melihat semua menu makanan yang terhampar di meja makan ketika masuk ke area ruang makan. Berbagai macam menu makanan memenuhi meja makan yang amat sangat besar untuk dirinya seorang. Ia sudah sengaja bangun lebih pagi untuk memasak dan sarapan seperti biasanya. Tetapi tiga orang pelayan sudah melakukan semua itu untuknya.

Wajah ketiga pelayan tersebut memucat dan tubuhnya beringsut ketakutan akan pertanyaan dan keterkejutan Selena. “M-maafkan kami, Nyonya. Menu makanan mana yang membuat Anda tidak senang?”

Selena menoleh, menyadari getaran dalam suara salah satu pelayan tersebut yang tampak berlebihan. Kepala ketiga pelayan terebut tertunduk dalam. Membuat Selena berkerut terheran oleh ketakutan berlebihan yang ditunjukkan pelayan tersebut.

Selena lekas menggelengkan kepalanya dengan cepat, menghentikan kesalah pahaman tersebut dan duduk di kursi. Mengambil salah satu menu yang ada di depannya dan gegas memakannya dengan lahap. Meski bekerja di sebuah restoran mewah berbintang lima, ia bahkan tak pernah mencicipi makanan selezat dan seenak ini.

Selena sampai di restoran lebih awal dari biasanya dan langsung menuju loker miliknya untuk berganti pakaian. Terasa aneh tapi ia akan mulai terbiasa dengan ketenangan tersebut. Hampir satu bulan sejak tinggal di dalam apartemen tersebut, dengan pelayanan dan fasilitas terbaik. Tanpa melakukan apa pun. Perlahan membuat Selena mulai terbiasa karena ketenangan hidup yang ditawarkan oleh Lucca.

Tak ada lagi teriakan amarah, jambakan, pukulan, dan juga tendangan dari sang paman. Hidupnya terlalu tenang, hingga lagi-lagi firasat buruk yang masih mendekam di dadanya mulai menunjukkan taringnya. Karena Lucca tak pernah muncul lagi sejak mengantarnya sampai di teras apartemen setelah pernikahan mereka.

Pagi itu, ia lagi-lagi melihat pelayan baru yang menunggunya di samping meja makan. Apakah Lucca memecat pelayan lama hanya karena tak sengaja menumpahkan jus jeruknya tadi malam? Atau  karena ia tak menghabiskan makan malamnya? Atau bahkan karena ia terlambat dengan jadwal makannya.

Selena berhenti mempertanyakan hal tersebut. Rasanya kesalahan sekecil apa pun akan membuat siapa pun dipecat dengan mudah dari pekerjaan yang mungkin didapatkan dengan setengah mati untuk bertahan hidup. Seperti yang selalu ia lakukan.

Ya , orang seperti Lucca memang bisa melakukan hal apa pun yang diinginkan, kan.

Selena menahan rasa bersalahnya. Menelan potongan ayam goreng yang mendadak ditolak oleh mulutnya. Ia menutup mulut dengan telapak tangannya dan berlari masuk ke dalam kamar. Melempar tasnya dan masuk ke dalam kamar mandi karena perutnya yang bergejolak mendorong isi perutnya keluar.

Kepala Selena terasa pening, keringat membasahi kening dan tubuhnya jatuh ke lantai dengan lemas.

“Apakah Nyonya baik-baik saja?” Dua orang pelayan lekas mendekat dan membantunya untuk berdiri lalu membawanya ke ranjang. Pelayan yang lain dengan sigap membawakan segelas air hangat yang membuat Selena merasa lebih baik.

“Saya akan memanggil dokter Ricky …”

“Tidak perlu,” penggal Selena dengan cepat. Menyambar ponsel di tangan wanita itu. Ia sudah muak dengan kedatangan dokter yang memeriksa kesehatannya dengan rutin dua kali dalam seminggu itu. Dan ia tak butuh tambahan kunjungan lagi.

Selena mengambil tasnya di lantai. Dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya, ia berjalan keluar kamar. Meski kepalanya masih pusing dan sejak dua hari yang lalu merasa tidak sehat, ia bisa menunggu tenaganya pulih dengan istirahat di dalam taksi.

Akan tetapi, rupanya kali ini tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Bahkan setelah tidur sepanjang perjalanan menuju restoran, tubuhnya masih terasa lemah. Dan menyerah pada keadaan ketika mengantarkan pesanan di meja 15. Pegangannya pada nampan melemah, tubuhnya terhuyung ke samping bersamaan kegelapan yang mulai menyelimuti pandangannya.

Saat terbangun dari pingsannya, Selena mendapati dirinya berbaring di salah satu bilik IGD. Dengan cairan infus yang disalurkan ke tubuhnya melalui jarum di punggung tangan.

Ia berusaha bangun terduduk. Menepis rasa pusing dan tak nyaman di perut tepat ketia gorden di depannya terbuka. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan jas berwarna putih melangkah masuk.

“Anda sudah bangun?” tanya dokter tersebut dengan ramah. Memeriksa cairan infus dan bertanya, “Apakah Anda masih merasa pusing dan mual?”

Selena menggeleng. Setengah berbohong karena sejujurnya aroma rumah sakit di sekelilingnyalah yang membuat perutnya kembali bergejolak. “Apa yang terjadi dengan saya?” tanyanya dengan napas tertahan.

Wanita paruh baya tersebut tersenyum dan menjawab, “Semua hasil tes dan pemeriksaan vital Anda normal. Pusing, mual, dan ketidak nyamanan di perut adalah gejala kehamilan yang masih berada dalam batas wajar.”

Seluruh tubuh Selena membeku. Gejala kehamilan?

“A-apa?”

“Ya, Anda hamil,”

“H-hamil?” Bibir pucat Selena bergetar hebat. Kepalanya menggeleng dengan cepat dan menatap sang dokter seolah di kepala wanita paruh baya tersebut tumbuh dua kepala lainnya yang tersenyum gila kepadanya.

Dokter itu pasti melakukan kesalahan yang sangat fatal. Bagaimana mungkin Selena bisa hamil, sementara ia yakin dengan sangat pasti dirinya masih perawan. Dan tak ada seorang pria pun yang pernah menyentuhnya.

***

Mafia Boss's BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang