21. Bayaran Untuk Sebuah Keinginan

529 68 3
                                    

Part 21 Bayaran Untuk Sebuah Keinginan

“Janin dalam kandungan pasien tidak terselamatkan.”

Kata-kata yang diucapkan sang dokter bergema di kepala Lucca. Kedua kaki pria itu melemah. Matanya mengerjap beberapa kali, menyingkirkan pusing yang mulai muncul di kepalanya. Kemarahan yang bergemuruh di dadanya terasa begitu besar. Membuatnya kewalahan mengendalikan amarah tersebut dan menghantamkan satu pukulan di dinding.

Rahangnya mengeras, kedua matanya memerah oleh bara amarah yang menggelapi kedua manik biru tersebut. Gemeletuk gigi geraham Lucca terdengar, hingga membuat dokter dan dua perawat yang berdiri di depan pria itu beringsut menjauh. Lari terbirit-birit setelah menginformasikan bahwa pasien sedang berada di ruang pemulihan dan akan segera dipindahkan di ruang perawatan setelah semua administrasi diselesaikan dengan suara yang bergetar hebat.

Lucca terduduk di kursi panjang. Kepalanya tertunduk dalam, matanya terpejam dan kedua tangan yang saling bertaut tampak dihiasi darah yang berceceran ke lantai. Di antara kedua kakinya.

Butuh belasan kali ia menghela napas hingga emosi di dadanya berhasil teredam dengan baik.

‘Lebih baik aku mengakhiri hidupku dan anak ini dengan tanganku sendiri.’

‘Kau menginginkannya, kan?’

Kata-kata Selena kembali berputar di benaknya. Keinginannya terhadap anak itu memang begitu besar. Dan inilah yang ia dapatkan ketika menginginkan sesuatu yang lebih besar dibandingkan seseorang menginginkannya. Sekali lagi ia dihajar habis-habisan oleh kenyataan yang berada di luar kendalinya.

‘Lebih baik aku mengakhiri hidupku dan anak ini dengan tanganku sendiri, Lucca. Aku tidak menginginkannya. Aku membencinya.’

Kata-kata yang mirip dengan suara yang berbeda itu kembali naik ke permukaan. Memenuhi ingatannya. Suara decit ban mobil yang beradu dengan jalanan beraspal. Permintaan tolong yang terdengar begitu lemah.

‘Selamatkan anakku.’

Permintaan terakhir yang tak pernah mampu ia kabulkan. Sementara ia lebih dari sekadar mampu untuk mengulurkan tangan pada wanita lemah itu. Ingatan itu kembali menyisakan penyesalan yang teramat dalam di dasar hatinya. Begitu besar, lebih besar dari amarahnya saat ini pada Selena. Pun begitu, ia akan membuat Selena membayar mahal untuk nyawa yang sudah gadis tolol itu lenyapkan.

*** 

Rasa pusing yang teramat menusuk kepala Selena di tengah kesadaran yang perlahan membangunkannya. Erangan lolos dari celah bibirnya yang terasa kering. Tubuhnya terasa lemah, begitu pun dengan rasa haus yang terasa mencekik tenggorokannya. Ia butuh minum. Sangat butuh air untuk membasahi tenggorokannya saat kesadarannya kembali sepenuhnya.

Ia berada di ruangan yang serba putih dengan bau antiseptik yang begitu khas. Ketika menelaah ingatan terakhirnya, ia tahu saat ini tengah berada di salah satu ruang perawatan di rumah sakit.

Suasana begitu hening. Dan senyap. Membuat ketidak nyamanan yang ia rasakan di seluruh tubuh, juga merambati dadanya.

‘Lebih baik aku mengakhiri hidupku dan anak ini dengan tanganku sendiri.’

Kata-kata yang ia ucapkan sebelum kegelapan memenuhi pandangannya kembali bergema di kepalanya. Telapak tangannya bergerak menyentuh perutnya dengan sendirinya. Merasakan perutnya yang rata. Terasa sama rata, tetapi ia tahu ada sesuatu yang telah hilang di dalam sana. Menyisakan lubang menganga yang entah bagaimana ada di hatinya.

Kehilangan.

Kehilangan yang teramat dan bercampur penyesalan yang ia tahu tak akan mengembalikan apa pun. Ia tahu janin itu sudah tidak tumbuh di dalam perutnya. Dan ia sendirilah yang membunuhnya. Dengan tangannya sendiri.

Mafia Boss's BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang