Thanks for the bouquet and also the gift.
Si Demit Bercepol is calling..
Baru banget sedetik lalu aku mengirimkan pesan ucapan terima kasihku, ponselku langsung berdering dengan namanya muncul di layar ponselku.
"Demi Tuhan, Arizaparas! Dari sekian banyak chat yang aku kirim dan panggilanku yang selalu nggak kamu jawab, akhirnya kamu chat aku duluan. You drive me crazy, Za!"
Belum juga aku mengucap halo, si demit di seberang sana sudah berceloteh dengan suara kerasnya. Mentang-mentang suaranya bagus.
"Halo?"
Aku berdeham pelan sebelum menjawabnya, "Yaa."
"Congraduation ya, Za." ucapnya kemudian.
"Thank you. Makasih juga buat bunga dan hadiahnya. Actually, you don't need to do this. But once again, thank you."
"With my pleasure, Za. Kalau aja aku lagi libur, aku malah akan antar bunga dan hadiahnya langsung ke tempat wisudamu atau ke rumahmu."
"Thank God that didn't happen."
Suara tawa si demit langsung terdengar. Aku rasa dia sudah gila beneran deh.
"Begitu kerjaanku selesai, aku pasti akan datengin kamu. Itu janjiku."
Aku refleks berdecih, "Janji sama siapa? Gue nggak butuh dan nggak mengharapkan janji apapun dari lo."
Lagi si demit itu tertawa.
"Itu janjiku sama diriku sendiri." ucapnya setelah tawanya mereda.
Beneran sudah gila si demit ini. Apa aku blokir lagi aja kali ya?
"Please jangan block aku lagi. Aku udah cukup menderita karena hilang kontak sama kamu, Za."
"Talk to my hand."
"God damn it! Kamu mode begini bikin aku makin tergila-gila sama kamu, Za. Ah jantungku."
"Demi Tuhan muak banget dengernya, Jame. Mendingan lo cari mangsa lain deh. Pasti banyak cewe-cewe yang rela melemparkan diri ke lo. Termasuk temen-temen cewe lo yang tak terhitung itu."
Suara tawa itu terdengar lagi.
"Jealousy?"
"Ngimpi!"
"Lho kamu kan memang impianku."
"Muak banget, Jame. Sumpah. Daripada buang-buang waktu lo, mendingan sama yang jelas-jelas mau sama lo aja sana."
"Peduli amat sama yang mau sama aku. Kan aku maunya sama kamu, Arizaparas."
"You better go to the hell, Jamaikaa Syailendra!"
Aku langsung memutuskan panggilan tak berfaedah itu. Udah buang-buang waktuku, buang-buang energiku pula karena ngeladenin si demit bercepol itu.
"Kak Ayas! Udahan dulu sayang-sayangannya sama si Jame Jame itu. Udah ditungguin nih buat foto bareng. Dasar bucin sok jual mahal."
For the God's sake! Baru aja mengkesal sama si demit, ini si Kyiv malah nambah-nambahin kekesalanku aja. Bucin sok jual mahal katanya?!
"Aku tarik ya jambang kamu!" seruku sambil berlari mengejar Kyiv yang sudah lebih dulu berlari meninggalkanku.
---//---
"Perasaan baru kemarin Papa beresin aquarium Mas Cio yang sering kamu obok-obok. Perasaan baru kemarin juga Papa selalu dapet curhatan Mama tentang gadis kecil Papa yang selalu ada aja kelakuannya yang bikin Mama darah tinggi." ucap Papa sambil mengeratkan rangkulan tangannya di bahuku.
Saat ini, aku sedang manja-manjaan sama Papa di ruang keluarga. Aku bersandar manja di pelukkan Papa yang lagi asyik menonton televisi.
"Rasanya baru kemarin Papa ajarin kamu pakai kaos kaki dan sepatu kamu sendiri." sambungnya.
"Kaos kaki yang ada pitanya sama sepatu karet Minnie Mouse warna merah ya, Pa?"
"Hm'mm. Papa juga masih inget banget cerita Mama pas kamu masukin bunga-bunga yang Mama rawat dengan sepenuh hati itu ke dalam kolam ikan Mas Cio."
Kali ini aku dan Papa kompak tertawa.
"Terus kamu masih inget nggak waktu kamu petik bunga Mama dan bikin Aero yang masih bayi banget itu digigit semut?"
Aku semakin terbahak, "Kayaknya aku udah bar-bar sejak dini ya, Pap?" tanyaku sambil melepaskan pelukanku dari Papa.
"Wah udah mutlak kayaknya kalau itu, Kak. Apalagi semenjak ada Aero. Setiap hari ada aja ulah kamu yang bikin Mama naik darah dan Papa jadi ikutan mumet."
Aku menepuk lengan atas Papa pelan, "Enak aja masa mutlak sih, Paaa. Aku kan kalem lho, Pa."
"Apanya kalem? Drama banget gitu kamu tuh tiap hari. Apalagi kalau udah ngerasa tersaingi sama Aero. Untung anak gadis Papa satu-satunya."
Aku kembali merangsek ke dekapan Papa, "Ayas sayang Papa selamanyaaaa!" ucapku sambil mengeratkan pelukanku.
"Harus dong, Kak. Papa aja sayang kamu selamanya. Walau sekarang sudah sebesar ini, sudah jadi sarjana, you'll be my forever little girl."
"And you will be my forever king, Paparga! You are my first love."
Papa lantas mencium kepalaku.
"Tapi, Kak. Beneran yang dibilang sama Kyiv? Kok Papa baru denger ya?"
"Hm? Yang mana, Pa?"
"Itu lho yang kasih kamu bunga sama hadiah itu. Yang katanya penyanyi itu."
"Nggak usah ditanggepin, Pa. Kyiv kan emang rese."
"Tapi kan memang si penyanyi itu yang kirim bunga dan hadiahnya buat kamu lho, Kak."
Kali ini aku cuma terdiam.
"Nggak masalah kalau dia memang orang yang spesial buat kamu. Yang terpenting, Papa harus memastikan kalau dia laki-laki yang baik dan pantas untuk kamu, anak gadis Papa satu-satunya. Anak perempuan berharga Papa, yang sudah Papa didik dan Papa jaga dengan sepenuh hati Papa."
Kok mataku tiba-tiba berair gini sih? Tuhan, terima kasih sudah menakdirkanku menjadi anak dari laki-laki super hebat di pelukanku ini. Papa adalah laki-laki pertama yang mengisi semestaku, Semestanya Ayas.
"Papa tau nggak? Dulu Ayas pernah punya keinginan."
"Apa?"
"Bisa menikah sama Papa."
Papa langsung terbahak.
"Dulu lho, Paaa. Waktu Ayas masih TK."
Papa mengacak rambutku pelan, "You will find your own beloved prince, Kakak Ayas."
Aku mengangguk.
"Tapi serius ya, Kak. Kalau memang si penyanyi ini orangnya, bawa dia ketemu Papa. Biar Papa gembleng dulu dia. Supaya dia kuat mental dan siap lahir batin jiwa dan raga. Siapa tadi namanya? Jamaikaa? Setelah ada ibu kota Ukraina, sekarang ada salah satu negara di Amerika Utara nih di keluarga kita."
Idih. Sama sekali nggak ada dalam impianku sih bawa si demit bercepol itu masuk dalam keluargaku. Karena sejak saat itu, sosoknya sudah masuk dalam blacklist Semesta Ayas..