EMD : 08 Enemy in the Blanket

99 20 13
                                    

Selamat membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca

*****

Saat pagi tiba-bukan lagi sinar matahari yang mengusik tidurnya. Melainkan presensi Eras yang sudah berdiri tepat di samping ranjangnya dengan membawa sepucuk senapan api. Emili menatap bingung pada pria yang tengah menggiringnya ke sebuah tempat.

Dengan sigap, Eras mensejajarkan Emili dengan para anak buahnya yang sudah bersimpuh. Emili memutar otaknya kembali dan mengira dia melakukan sebuah kesalahan.

"Bukankah kalian tau, aku benci penghianat?" Terdengar suara Eras yang terasa menusuk di indera pendengarannya. Sialnya, tak ada dari mereka yang berani menyahut, terdiam dan lemah.

"Kalian lihat ini?" Semua mata tertuju pada secarik kertas yang tengah di pegang oleh Eras. Sontak, Emili menelan salivanya cukup kasar.

Emili memejamkan matanya sejenak untuk mengingat kembali, semalam ia sudah merobek habis kertas dan membuangnya di tempat sampah. Namun, pandangan Emili kembali jatuh pada pria yang bernama Ramos yang tengah duduk santai di sebuah kursi.

"Katakan, ini milik siapa?" ucap Eras dengan wajah datarnya, hampir seperti dinding yang rata. Tanpa ekspresi, tapi terlihat sangat berbahaya.

"Maafkan saya, tuan. Itu berada di kantong celana saya. Ta-"

"Berdiri kau!" Perintah Eras pada pria yang bertubuh gempal itu.

"Kami tak menyangka, kalau kau yang melakukan ini, Cruz." Kali ini Ramos yang berucap dengan wajah angkuhnya.

"Demi Tuhan, bukan saya yang mel-" ucapan pria gempal bernama Cruz itu kembali terpotong, karena Eras langsung meminta anak buahnya yang lain membawa Cruz ke tempat eksekusi.

Emili sontak melebarkan kedua matanya dengan sempurna. "Tunggu, Eras. Mungkin saja itu seseorang yang melakukannya," sergah Emili begitu saja. Tanpa memikirkan apa yang akan di dapatkan setelahnya.

"Apa maksudmu?" tanya Eras berbalik menatap Emili.

"Gadis itu tak tau apapun. Lebih baik kau diam saja, cantik," ucap Ramos sembari jemarinya menyisir wajah Emili di hadapan Eras.

"Eras, stop. Mungkin saja ada orang yang sengaja menjebaknya." Kali ini ucapan Emili sama sekali tak di dengar. Justru menyuruh seseorang untuk membawa Emili menjauh.

"Lepaskan aku, dia tidak bersalah!" teriak Emili dengan mencoba melepaskan pautan pria di lengannya.

DOR!

"Aaaaaa..."

Hanya sekali tembakan berhasil membunuh pria bernama Cruz tepat mengenai kepalanya. Emili mendadak merasakan seluruh badannya bergetar dan tungkainya terasa lemas, hingga sulit menopang tubuhnya sendiri.

Eras yang melihat langsung berlari dengan sigap merebut Emili dari genggaman anak buahnya. Lantas membopongnya menuju kamar Emili yang berada di lantai dua.

Ketidakadilan dan kejam sudah menjadi hidangan yang selalu tersaji di lingkungan tanpa aturan dan berjalan oleh beberapa orang yang mampu menaklukkan nya. Tentu hal tersebut tak membuat siapapun merasa mendapatkan perlindungan, justru sebaliknya.

Ancaman, ancaman dan ancaman adalah sesuatu yang harus dipersiapkan oleh sebagian orang karena sifatnya yang tidak dapat diketahui dan begitu cepat.

Menatap langit-langit kamar di malam hari sama halnya menatap masa depan yang begitu kusut. Seiring dengan semua pikiran negatif yang melintas tanpa ragu. Menghantui dan terus berputar seperti kaset rusak.

Mengalami guncangan pada mentalnya memang hal yang sulit untuk ditangani. Sama halnya yang dilakukan Emili, ia merasa dirinya membutuhkan seorang psikiater sekarang juga. Belum tepat seminggu bersama dengan Eras, tetapi sudah membuat perubahan besar dalam dirinya.

Derap kaki terdengar kembali saat netra yang penuh kilat tajam itu mengarah pada punggung yang terbalut piyama tidur. Dengan lembut dan perlahan, telapak tangan besarnya menari indah di sana.

"Kau bisa menangani semua ini," ucap pria yang tak membuat reaksi apapun bagi Emili yang setia dengan tatapan kosongnya. "Aku harap kau bertahan dengan misi kita. Bukankah itu harapanmu juga?"

'Itu harapanmu, bukan harapanku.' dalam hati Emili menggerutu tak terima dengan kalimat yang dilontarkan Eras padanya. Yah, biarpun Emili tak munafik- menginginkan Patricia kembali, tetapi bukan jalan seperti ini yang ia inginkan.

"Persiapan dirimu untuk besok, karena kau akan ke Tijuana bersamaku." Setelah mengatakan hal keramat bagi Emili, pria dengan manik hitam itu menyingkirkan dirinya dari sana dengan santai.

Bahkan tanpa meminta persetujuan lagi pada Emili-yang artinya siap tak siap si gadis harus menuruti perintahnya.

Di balik selimut yang membungkusnya dengan erat, terlihat sepasang jemari yang saling bertaut dengan tekanan kuat. Yah, kalian pasti sudah paham dengan maksudnya.

---------

Emili berusaha menyelaraskan hatinya dengan Eras yang kali ini sudah berada di ruangan pribadinya. Sesaat sebelumnya, Matilda memberikan interupsi pada Emili untuk segera menemui Eras.

"Kau terlihat tak berkharisma hari ini," sindir Eras ketika menatap wajah Emili yang terlihat kurang baik.

Tentu saja Emili mengedikkan bahunya begitu saja, ia tak begitu minat dengan segala pujian dari Eras. Menurutnya akan sangat mengganggu pendengarannya.

"Oke, baiklah. Aku tak akan mengatakan banyak hal padamu. Namun, kau harus mendengar dan mencatat dengan baik di otakmu," ucap Eras dengan menekankan kalimat terakhirnya.

Simpati Emili menitik pada jari-jemari Eras yang bergerak lincah sembari menyelaraskan dengan ucapannya. Entahlah, Emili sedikit tak paham. Namun, ia tak peduli. Toh, Eras pun akan tetap mengawasinya.

Bersama dengan hal tersebut, seorang pria masuk ke dalam ruangan Eras begitu saja dan melakukan bisikan pada pria yang tengah menatap Emili dengan datar.

"Apa kau sudah paham dengan penjelasanku? Aku harap kau mendengarkan," ucap Eras.

'Sangat memuakkan.' jawab Emili dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

"Katakan kau paham. Tak perlu mengecamku." Lagi-lagi Eras berhasil menebak isi hatinya. Sepertinya memang benar cenayang.

"Aku mengerti dan sangat memahaminya, tuan." Balas Emili dengan menekankan pada setiap katanya. Namun, masih dengan menujukkan wajah naturalnya.

Lantas, Eras membidik Emili menuju sebuah mobil-Toyota Century berwarna gelap dengan desain canggih di dalamnya. Emili mendudukkan dirinya di kursi kemudi atas arahan Eras pastinya.

"Kau akan melakukan perjalanan sendiri, karena aku sedang ada urusan lain." Emili menolehkan wajahnya pada Eras yang tengah mengusap dagunya singkat.

Rasanya Emili ingin memakinya tepat di depan wajah sialan itu. Tapi, itu hanya bayangan saja.

"Kau dengar saja interupsi dariku dan hubungi aku kalau kau sudah sampai di Del Rocio." Emili mengangguk, tetapi tidak dengan tangannya yang meremat stir kemudi dengan kesal. "Tunjukkan bahwa dirimu layak melakukan tugas apapun, Nona," lanjut Eras.

Emili sengaja memejamkan kedua matanya untuk menetralisir kegugupan di dalam dirinya. Sesaat setelahnya, mobil melaju meninggalkan pelataran rumah Eras dengan kecepatan standar.

"Apapun keadaannya, Tuhan akan selalu bersamaku," ucap Emili meyakinkan dirinya sendiri. Mengingat, mengikuti misi Eras bukanlah hal yang mudah. Pasti akan ada tantangan atau rintangan yang harus dihadapi.

*****

See you next part

Erasmo Mexican DelincuenteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang