Happy Reading
*****
Emili merasakan sinar matahari yang menerpa wajah lesunya dengan begitu tajam. Hingga membuat empunya reflek menutup wajahnya dengan bantal cukup kasar. Saat menyadari ada pergerakan di samping tempat tidurnya, sontak membuat Emili menjerit hingga melempar bantalnya asal ke arah pria yang tengah bergelung di dalam selimut.
"Eras, apa yang kau lakukan?" protes Emili sungguh membuat telinga Eras terasa berdengung. Lantas Eras menyingkap selimut yang menutup seluruh tubuhnya dengan sekali tarikan.
"Apa kau tak lihat aku sedang tidur," balasnya asal saja. Emili geram hingga naik kembali ke atas ranjang dan memukul Eras dengan brutal.
"Kau benar-benar kurang ajar. Semalam kau berkata tidak mau denganku. Tapi sekarang kau berbuat gila."
Eras berhasil menangkap kedua lengan Emili yang sebelumnya memukulnya asal. Eras pun menatap tajam kearah Emili yang sudah menangis. Padahal ia tak melakukan apapun hanya sekedar tidur saja.
"Kau sangat berlebihan. Aku hanya tidur dan tidak menyentuhmu. Lagi pula ini kamar milikku." ucap Eras sembari melepas genggamannya pada Emili.
Eras memilih untuk keluar dari kamar dan tidak ingin menggangu paginya hanya dengan bertingkah konyol. Sedangkan Emili menangis sembari menggenggam telapak tangannya cukup kuat. Ia membayangkan, hal apa yang akan terjadi selanjutnya jika terus seperti ini.
Lain waktu Emili akan mengatakan 'bodoh' pada sahabatnya karena telah menerima iblis dalam hidupnya. Yah, Eras benar-benar iblis berwujud manusia. Hanya saja Tuhan memberinya rupa yang baik, sehingga tak banyak orang mengetahuinya.
Menangis memang bukan solusi yang baik jika tidak ada tindakan yang dilakukan. Sama halnya dengan yang dilakukan Emili. Bahkan tenggorokannya terasa sakit dan tercekat karena terlalu meluapkan perasaan hingga lupa bahwa tubuhnya membutuhkan makanan dan juga minum.
Jemarinya memegang segelas air yang memang sudah tersedia di sana. Meneguknya hingga tak tersisa adalah cara yang dilakukan sekarang. Tak perlu memikirkan orang melihatmu, nyatanya tidak ada orang lain selain dirinya sendiri.
Kali ini Emili tak membutuhkan dia di mana dengan siapa. Ia hanya ingin makan sekarang juga, ia tak peduli dengan Eras yang mungkin menilainya gadis bodoh dan tak tau malu.
Sibuk mencari makanan di dapur adalah hal yang tepat. Tapi apa? Tak menemukan apapun di sana. Emili bahkan membiarkan jemarinya mengobrak-abrik isi dalam kulkas yang masih ada beberapa sayuran di sana.
Memasak mungkin salah satu kecintaan Emili semenjak ia tinggal di mention sendiri. Ia akan mencoba beberapa resep melalui internet, dengan kebiasaannya itu hingga kini Emili dapat melakukannya sendiri.
Dari jarak lima meter sepasang mata tengah memperhatikan dengan bersidekap. Terlampau asik berkutat dengan peralatan memasak, hingga tak membuatnya sadar. Namun, tak berselang lama Eras pun menyingkir karena tak mau di cap tengah memperhatikan seorang gadis memasak. Itu sangat memalukan.
"Selamat pagi." Emili menoleh ke sumber suara yang ternyata menampilkan presensi wanita tengah berjalan kearahnya.
"Pagi." Jawabnya dengan menghentikan sejenak kegiatannya. "Maaf, aku menggunakan dapurmu."
"Tak masalah, kau bisa menggunakannya kapan saja." Wanita berambut pirang diikat itu kemudian menaruh beberapa belanjanya ke dalam kulkas.
Emili melanjutkan kembali kegiatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan burrito. Kebetulan sekali, di dapur masih ada stok tortilla dan juga daging.
"Kita belum berkenalan. Siapa namamu?" Wanita pirang itu bertanya dan berinisiatif untuk membantu Emili memasak. Akan terasa menyenangkan kalau ada teman seperti ini. Mungkin seperti itu batin Emili.
"Kau bisa memanggilku, Emili." jawab Emili. Setelahnya ia mengulum bibir tipis.
"Nama yang cantik. Namaku Matilda."
"Gracias. Salam kenal, Matilda."
Hari sudah cukup Emili melakukan peran yang baik di hadapan semua orang. Termasuk Matilda, seseorang yang ia temui beberapa jam yang lalu. Mereka bercerita mengenai hal yang membuatnya ada di sini.
Sungguh Emili tak ingin mendengar hal positif apapun dari kehidupan Eras, bahkan otaknya sudah mendoktrin Eras adalah bajingan.
Jemari yang saling bertaut pun ikut merasakan remasan kuat hingga buku-bukunya memutih. Pikirannya sudah terselip tentang ujaran kebencian seperti badai yang menerjang isi kepala dan membuyarkannya.
Ketakutan memang gunanya untuk dilawan, tetapi jika dihadapkan dengan hal tersebut terkadang membuat pikiran dan juga hatimu melemah. Hal yang seharusnya dilakukan yaitu dengan tidak memikirkan bahwa ketakutanmu adalah beban.
Tidak usah berbicara tentang omong kosong semata, nyatanya ketakutan membuat sebagian orang tak bisa melakukan apapun.
Kerap yang dirasakan Emili atas berandalan yang ia temui melalui perantara sahabatnya itu. Hanya mendengar suara maskulin itu sudah membuat dirinya mati kutu. Pada intinya, apapun kata-kata terbaikmu tak cukup meyakinkan seorang Emili.
Ia sendiri benci terlahir dengan rasa takut yang tinggi. Oh, andai Tuhan masih memberinya kesempatan, mungkin Emili lebih memilih untuk tidak lahir dan tidak berusaha lebih keras seperti ini. Pikirannya berkelana memastikan apa yang ia renungkan tak akan pernah terjadi.
Sialnya yang ia renungkan hanya hal-hal buruk saja. Benar-benar efek doktrin menghilangkan pikiran baiknya. Ya sudahlah, sepertinya Tuhan memberikan kesempatan Emili untuk belajar lebih banyak pada Eras.
"Aku tidak seburuk seperti yang kau pikirkan." Emili meledakkan bola matanya saat mendengar protesan Eras yang seolah tengah menebak isi kepalanya.
Pria bernama Eras itu lantas terduduk di seberang meja tempat Emili mendudukkan dirinya. Sesekali Emili melirikan matanya kearah Eras yang juga tengah memperhatikan dirinya dengan wajah datarnya.
"Kau pernah ke Piedrilla?" tanya Eras tanpa menghentikan tatapannya pada Emili.
"Piedrilla, Veracruz?"
"Tepat sekali dan kau harus ikut denganku sekarang juga." Eras beranjak dari tempat duduknya, lalu menarik lengan Emili agar mengikutinya.
"Kau akan membawaku kemana lagi?" tanya Emili yang sudah diarahkan ke kursi kemudi, sementara Eras mendudukkan dirinya di samping Emili.
Satu hal yang membuat Emili gemetar, yaitu saat Eras mengeluarkan senapan dan mengarahkan tepat di kepala Emili.
"Nyalakan sekarang juga." perintah Eras agar Emili cepat menghidupkan mesin mobilnya. Kemudian dengan rasa takutnya ia dapat mengemudi dengan baik meski pria di sampingnya masih melakukan hal yang sama.
"Aku pernah melihatmu di rumah Patricia, apa kalian bersaudara?" tanya Eras hanya untuk menghilangkan rasa canggung saja. Mengingat tidak ada obrolan pun selama perjalanan.
"Kami bersahabat, tapi orang tuanya sudah menganggapku sebagai keluarga." Jelas Emili tanpa berbohong.
"Kau harus berhati-hati, karena musuh dari keluarga sahabatmu itu sangat banyak. Orang-orang bisa saja menyerang kalian kapan saja," ucap Eras yang membuat Emili langsung teringat dengan kejadian dirinya yang hampir diculik dua orang yang tidak dikenalnya. Untunglah Eras berhasil menyelamatkan.
"Apa penyebab semua itu? Aku rasa tidak ada hal buruk yang dilakukan keluarga kami sebelumnya?" protes Emili yang hanya ditanggapi kekehan singkat dari Eras.
Emili yang kesal pun seketika menghentikan mobilnya dan hampir keluar begitu saja. Namun, Eras langsung menarik kembali Emili yang hampir meloloskan dirinya.
"Jangan macam-macam atau aku akan mencari sahabatmu dan menembaknya."
*****
See you next part❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Erasmo Mexican Delincuente
RomanceEmili harus kehilangan sahabatnya yang bernama Patricia, karena ledakan bom yang terjadi di sebuah club malam. Semua bermula karena Erasmo, sang kekasih Patricia yang mengajaknya berkencan. Tentu Emili meminta pertanggungjawaban kepada Erasmo. Namu...