19. Argumen Afga

54 26 4
                                    

Mereka berdua sampai di taman, begitu sepi disana. Masih 20 menit lagi bel masuk berbunyi. Afga duduk tegap, menghela nafas. "Apa yang kau ingin tahu?" tanya pria itu, Mina mengodak—Afga Pria itu tinggi, tak seperti Akhtar.

Afga menunggu, menggosok tengkuk. Ia berucap kembali, "Kamu tidak perlu khawatir tentang masalah Felix, maupun Akhtar. Akar mereka berada pada penghianat, seseorang berkhianat. Jelas sekali dia lebih dari sekedar membenci. Dia dendam."

"Apa bedanya dendam dan benci?"

"Benci itu hanya emosi berupa rasa tidak suka.   Sedangkan dendam mereka ingin menghancurkan, membalas, mencabut kenikmatan hidup yang dendami." Afga menatap lurus, meresap perkataannya sendiri, ia berucap sangat bernada.

Mina tak bisa bernafas, ia baru tahu makna keduanya amat timpang jauh.

Terlepas dari pada argumen itu, ia lebih menarik bertanya apa yang terjadi sebelum ia hilang ingatan ralat sebelum Rea masuk ke dalam raga Mina.

"Kau tahu sesuatu sebelum aku hilang ingatan?"
Afga menatap Mina lekat, ia tertawa terbahak-bahak, menggeleng, "Kau ini benar bodohnya, sekarang kau mempercayai saya?"

Mina melotot, mengukir senyuman miring. "Siapa yang bilang begitu, heh?"

Afga tersedak ludah, berdiri menjelaskan argumennya, Mina heran bertemu seorang pria yang amat suka berdebat.

"Moza dia sangat mengerikan, dia pelaku bullying saat SMP, dia manusia monster. Amat angkuh, tak mau kalah dia pernah mencelakai kau Min," ucapnya masih berjalan mondar-mandir.

Mina merapatkan bibir, menatap langit yang cerah. Jika itu benar, topeng nya amat mulus. Lebih dari seseorang di dunia Rea yang mengerikan.

"Heh! Bisakah kau diam? Kayak setrika berjalan. Dasar culun."

Upss Mina salah mengucap, menutup mulut dengan tangan, terkekeh geli oleh tingkahnya sendiri. Afga hanya menatap tajam, ingin menendang sang empu, tapi ia tahu didepannya seorang wanita.

Afga melanjutkan, "Kau dan Moza sudah berteman dari SD. Tapi tidak dengan Mona di baru berteman dengan kau saat kelas 8, aku tak berbohong. Aku sekolah ditempat yang sama seperti kau."

"Apa? Lalu mengapa kau baru masuk kesini saat ini?"

"Itu tentu karena Ibuku pergi ke luar kota. Saya sempat sekolah di kota besar."

"Lalu untuk apa kau kembali?"

"Usaha ibuku bangkrut, dan kami kembali. Apa itu penting untukmu?" Afga merasa Mina terlalu bertanya hal tak berkepentingan.

Mina memutar bola mata malas. "Saya adalah orang yang amat teliti." Menyilang tangan didepan dada menatap sombong.

"Ceritakan kembali hal yang kau tahu," titah Mina kesal.

"Saya pernah melihat Moza mengikuti kau di kelas Akhtar. Kedua dikantin sekolah Moza menyebarkan rumor kau cari muka dengan menolong anggota Pramuka yang kesurupan. Ketiga, Moza tertawa terbahak-bahak ketika kau hilang di hutan. Banyak sekali saat kau di rumah sakit dia bahkan mengucapkan 'bagus' ketika di ajak Alzera menjenguk mu, tapi sayangnya Alzera keburu pergi. Tak mendengar, saat Moza bersamamu  saya menguntit dari kejauhan, dia selalu menatap tajam kala kau berbalik badan. Kau selalu tidak sadar."

Afga menarik nafas perlahan, baru ingin melanjutkan, dari semak-semak terdengar suara langkah kaki orang.

Mina melirik, mengacungkan telapak tangan, pertanda jangan lanjutkan perbincangan.

Mina melangkah pelan, mengamati sekitar, tidak ada jejak yang aneh. Tapi di semak-semak, siapa yang berani mengintip?

Mina mendekat, makin dekat, dekat dan dekat. Lalu....

Transmigrasi Indigo [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang